“Kita telah salah.” Binar memulai percakapan antara kami. “Kau tahu ini seharusnya tidak terjadi?” lanjut Binar yang sedang duduk di sampingku.
Aku hanya bisa menatap debur ombak air laut di dermaga ini. Sebenarnya aku tahu bahwa itu adalah pertanyaan sederhana. Tapi entahlah bibirku membeku tak bisa sedikitpun menjawabnya.
“Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Tapi tidak seharusnya kita melakukan ini.” katanya lagi dengan nada sedikit lirih.
Tergambar di wajahnya sebuah garis-garis kecemasan dan penyesalan. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Sorot matanya menunjukkan sebuah ketakutan.
Aku hanya bisa menatap debur ombak air laut di dermaga ini. Sebenarnya aku tahu bahwa itu adalah pertanyaan sederhana. Tapi entahlah bibirku membeku tak bisa sedikitpun menjawabnya.
“Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Tapi tidak seharusnya kita melakukan ini.” katanya lagi dengan nada sedikit lirih.
Tergambar di wajahnya sebuah garis-garis kecemasan dan penyesalan. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Sorot matanya menunjukkan sebuah ketakutan.
Aku juga mengakui memang tidak seharusnya lagi hal ini terjadi di antara kami. Tapi entahlah aku merasa seperti tidak bisa menghindar dari itu. Setiap kali ingin menghindar ada tatapan yang seolah menarikku kembali agar kembali mendekat. Tatapan yang selalu aku cintai.
“Sudah ada cincin yang melingkar di jari manisku.” kata Binar sembari menunjukkan cincinnya padaku. Cincin yang dipasangkan oleh Ito, calon suaminya. Dua bulan lalu Binar bertunangan dengan Ito. Ito adalah lelaki pilihan orang tuanya.
Binar adalah kekasihku sebelum akhirnya dia memilih bertunangan dengan Ito. Aku dan Binar kenal ketika kami bertemu sebagai relawan membantu korban bencana di daerah kami dulu. Sejak itu kami membangun kedekatan hingga akhirnya kami saling jatuh cinta. Dan kamipun menjalin hubungan selama hampir 4 tahun. Namun, orang tua menganggap aku dan Binar beda kasta sehingga sangat tidak mungkin untuk bersatu. Orang tuanya menentang hubungan kami dan berusaha menjodohkan Binar dengan lelaki lain agar Binar tidak lagi bersamaku.
Sebenarnya aku sudah bisa melupakan Binar. Perlahan aku sudah mencoba membunuh rasa pada Binar. Perlahan pula aku mencoba membangun kesiapan hati untuk menyaksikan Binar bersama orang lain. Namun, satu minggu yang lalu aku mendapati sebuah undangan pernikahan. Dan kulihat itu adalah surat undangan Binar dan Ito. Aku mengajaknya ke dermaga ini hanya untuk sekedar bertemu dan mengucapkan selamat padanya.
“Ini salahku, Binar. Aku telah salah menempatkan diriku di hadapan kamu. Aku membuatmu mengkhianati banyak orang. Jujur aku tidak bisa mengendalikan diriku.” ucapku yang sejak tadi diam mematung.
“Apa maksudmu tidak bisa mengendalikan dirimu?” tanya Binar dengan nada agak tinggi.
“Kau menatapku dan aku menatapmu. Tatapanmu. Tatapan yang selalu aku cintai, membuat aku hilang kendali. Membuat pikiranku susah untuk dikontrol. Tatapanmu yang menarikku dan jatuh. Dan aku tidak berpikir bahwa akan membawamu ikut terjatuh.” jelasku.
Binar terdiam setelah mendengar ucapanku itu. Dia memandangku, mungkin dia sedang memahami maksud dari kata-kataku. Lalu kulihat matanya mulai berkaca-kaca kemudian ada yang menetes di pipinya. Perlahan air itu membasahi pipi lembutnya. Aku menghapusnya tapi Binar menurunkan tanganku.
“Kau dan aku sudah terlalu jauh berlari di jalan ini. Hingga akhirnya kita tiba di persimpangan jalan. Kau mengajakku untuk terus berlari sampai menemukan ujung jalan ini. Tentu aku masih ingin terus berlari bersamamu. Tapi kau tahu, aku harus memilih berbelok untuk mencari jalan lain.” ucap dengan lirih Binar sambil air matanya tetap menetes.
“Cinta kita sudah terlampau jauh. Hati kita sudah terlanjur berpegangan erat dan tak mau saling melepas.” lanjutnya sembari mengenggam tanganku. Aku menatapnya. Air matanya belum juga berhenti. Kupeluk dia lalu kusandarkan kepalanya di bahuku. Aku selalu melakukannya bila Binar sedang menangis. Ya, selalu.
“Kau harus bisa berlari sendiri. Tanpa aku. Mungkin di jalan kau akan bertemu dengan wanita yang mau kau genggam tangannya, lalu berlari bersama menemukan ujung jalanmu. Suatu saat jika memang takdir kita, kita akan menemukan ujung jalan yang sama.” lanjutnya. Binar menghapus air mata di pipinya. Kemudian dia berdiri dan mendaratkan kecupannya di pipiku. Kecupan yang lain. Kecupan yang amat tulus yang pernah mendarat di pipiku.
“Apa maksudmu tidak bisa mengendalikan dirimu?” tanya Binar dengan nada agak tinggi.
“Kau menatapku dan aku menatapmu. Tatapanmu. Tatapan yang selalu aku cintai, membuat aku hilang kendali. Membuat pikiranku susah untuk dikontrol. Tatapanmu yang menarikku dan jatuh. Dan aku tidak berpikir bahwa akan membawamu ikut terjatuh.” jelasku.
Binar terdiam setelah mendengar ucapanku itu. Dia memandangku, mungkin dia sedang memahami maksud dari kata-kataku. Lalu kulihat matanya mulai berkaca-kaca kemudian ada yang menetes di pipinya. Perlahan air itu membasahi pipi lembutnya. Aku menghapusnya tapi Binar menurunkan tanganku.
“Kau dan aku sudah terlalu jauh berlari di jalan ini. Hingga akhirnya kita tiba di persimpangan jalan. Kau mengajakku untuk terus berlari sampai menemukan ujung jalan ini. Tentu aku masih ingin terus berlari bersamamu. Tapi kau tahu, aku harus memilih berbelok untuk mencari jalan lain.” ucap dengan lirih Binar sambil air matanya tetap menetes.
“Cinta kita sudah terlampau jauh. Hati kita sudah terlanjur berpegangan erat dan tak mau saling melepas.” lanjutnya sembari mengenggam tanganku. Aku menatapnya. Air matanya belum juga berhenti. Kupeluk dia lalu kusandarkan kepalanya di bahuku. Aku selalu melakukannya bila Binar sedang menangis. Ya, selalu.
“Kau harus bisa berlari sendiri. Tanpa aku. Mungkin di jalan kau akan bertemu dengan wanita yang mau kau genggam tangannya, lalu berlari bersama menemukan ujung jalanmu. Suatu saat jika memang takdir kita, kita akan menemukan ujung jalan yang sama.” lanjutnya. Binar menghapus air mata di pipinya. Kemudian dia berdiri dan mendaratkan kecupannya di pipiku. Kecupan yang lain. Kecupan yang amat tulus yang pernah mendarat di pipiku.
Binar memakai tasnya lalu pergi meninggalkanku yang masih terduduk di pinggir dermaga ini. Kini aku hanya menikmati deburan ombak yang menghantam pinggiran dermaga. Laut saat itu sedang cerah dengan sinar bulan penuh sempurna. Kemudian pikiranku kembali menuju pada satu jam yang lalu. Saat-saat dimana aku dan dia saling menatap. Tatapan yang berakhir pada pertemuan bibir kami.
Cerpen Karangan: Yudik Wergiyanto
0 komentar:
Posting Komentar