Dua orang sahabat. Perempuan dan laki-laki saling menyayangi. Mereka berdua banyak perbedaan, namun mereka lah yang bisa menutupi perbedaan itu satu sama lain. Mungkin keyakinan mereka membisikan napas-napas cinta persahabatan. Yang membuat kedua senyuman indah mereka berpadu menjadi satu jalinan kasih sayang, namun tak ubahnya seperti dua persahabatan. Dua hati di antara mereka saling mengerti, memahami dan mengajarkan kasih sayang dengan lembut. Lidia dan Kevin.
Bertemu di suatu surau tepat saat tanggal 25 Desember 2003. Saat perayaan hari Natal bagi umat beragama kristen, tak terkecuali Kevin dan para sahabatnya menikmati keyakinan dan perayaan yang indah hari itu, sejuk sesejuk jiwa yang bermetamorfosa dengan indahnya bunga melati atau yang lain di sekitar surau dekat gerejanya. Sejak saat itu terjalin ikatan persahabatan antara Lidia dan Kevin. Mereka mulai bermain bersama, bersepeda, bahkan jika satu tetesan terlihat di antara satu sahabat, akan ada yang melengkapi dengan senyum. Senyum seorang sahabat yang sejati, yang tak pernah lelah mengajarkan kebaikan dan ketabahan hati saat semua orang menjauhi meskipun diri sahabatnya itu salah sekalipun. selalu bersama. Tak heran bila mereka di katakan seperti orang berpacaran.. iya lebih tepat jika sepasang saudara, maklumlah kebersamaan itu sejak mereka berumur 6 tahun, sudah 9 tahun sekarang. Selalu sama, selalu terjadi kenangan-kenangan sederhaana canda tawa atau permainan layangan yang dulu mereka mainkan.
“Li ingat waktu kecil kita bermain seperti ini?”
“jangan ngaco Kev kalau ngomong, kaya baru aja kita sahabatan haha”
“jangan ngaco Kev kalau ngomong, kaya baru aja kita sahabatan haha”
Saat ini Lidia mendidik otak nya, mengasah dirinya di SMP 3 Kenanga Raya, sedangkan Kevin bersekolah di SMP Citra Raya. Meskipun adat dan keyakinan yang berbeda, mereka selalu yakin jika salah seorang dari mereka tidak mungkin meninggalkan persahabatan walaupun tidak ada persamaan adat. Merekalah yang akan menyampaikan lentera persahabatan yang sejati, sehingga mereka merasakan betapa mulianya kisah mereka dengan perbedaan yang abadi.
Suatu hari, mereka janji pulang sekolah bersama. Kevin menunggu Lidia di depan sekolah, rencananya mereka mau pergi ke kantin sekedar minum air fanta. Di situ ternyata Lidia bertemu dengan teman-temannya, lalu dia bergabung dan mengajak Kevin berkenalan. Lidia memang agak tomboy, seperti tidak berkesan sebagai seorang wanita, keindahan tubuhnya saja terlihat, itu pun teramat sayang bagi Tuhannya yang melihat. sikap nya saja saat sedang minum waktu itu kurang sopan. Celana dalam Lidia terlihat dan Kevin juga sempat melihatnya sekilas. Dengan perasaan geli, Kevin berdehem dan berkata
“em… siapa ya yang celana dalamnya keliatan, warna merah lagi.. wow… hehehehe”. Spontan saja Lidia kaget dan menyadari bahwa dirinya yang dimaksud Kevin. Lidia menyeret Kevin keluar kantin sekolah dan berkata
“Kamu nih apa-apaan sih vin! gak tau perasaan orang banget! gue tuh malu!”.
“Maaf Lidia sayang, aku kan bercanda, lagian kamu juga gak tau sopan santun banget! Cewek harusnya feminim dikit kenapa, keindahan kamu bukan diliat dari cantiknya kamu berdandan atau cara berpakaian yang gak nutup aurat. Bunda kamu sendiri kan pernah bilang itu, aku aja gak lupa?”.
Lidia sedikit mengerti apa yang Kevin maksud, dia terdiam, terlintas di benaknya merangkum beberapa kata yang agung didengarnya.
“makna yang kamu katakan akan aku indahkan kok, aku udah salah. Maaf ya sayang? kita pulang yuk!” sambil menggandeng tangan Kevin.
“Li ntar gue main ke rumah lo boleh? Tante mau mbikin kue katanya?”
“Iya main aja. Aku ngerasa sepi kalau kamu pergi”
Sungguh tatapan Kevin setelah Lidia mengatakan itu terasa berbeda.
“em… siapa ya yang celana dalamnya keliatan, warna merah lagi.. wow… hehehehe”. Spontan saja Lidia kaget dan menyadari bahwa dirinya yang dimaksud Kevin. Lidia menyeret Kevin keluar kantin sekolah dan berkata
“Kamu nih apa-apaan sih vin! gak tau perasaan orang banget! gue tuh malu!”.
“Maaf Lidia sayang, aku kan bercanda, lagian kamu juga gak tau sopan santun banget! Cewek harusnya feminim dikit kenapa, keindahan kamu bukan diliat dari cantiknya kamu berdandan atau cara berpakaian yang gak nutup aurat. Bunda kamu sendiri kan pernah bilang itu, aku aja gak lupa?”.
Lidia sedikit mengerti apa yang Kevin maksud, dia terdiam, terlintas di benaknya merangkum beberapa kata yang agung didengarnya.
“makna yang kamu katakan akan aku indahkan kok, aku udah salah. Maaf ya sayang? kita pulang yuk!” sambil menggandeng tangan Kevin.
“Li ntar gue main ke rumah lo boleh? Tante mau mbikin kue katanya?”
“Iya main aja. Aku ngerasa sepi kalau kamu pergi”
Sungguh tatapan Kevin setelah Lidia mengatakan itu terasa berbeda.
Sore harinya, Kevin mengajak Llidia untuk bersantai di taman dekat rumah sambil makan kue.
“Vin?”
“hem?”
“gitu amat, ngliat aku kek kalau lagi ngomong, aku kan gak suka dicuekin sama kamu”
“hem”
“gak peka!”
“Vin?”
“hem?”
“gitu amat, ngliat aku kek kalau lagi ngomong, aku kan gak suka dicuekin sama kamu”
“hem”
“gak peka!”
Beberapa menit Lidia mendiamkan sahabatnya itu, perutnya terasa geli dari belakang, Kevin pasti sengaja nih, pikirnya. Lidia bangkit lalu berlari mengkuti alur bumi memutar taman dan Kevin mengejarnya. Sungguh itu mengingatkan peri kecil yang dulu saling bercanda tawa dengan pangerannya. Enam tahun yang lalu.
Setelah agak lama bermain kejar-kejaran, Kevin mengajak Lidia ngobrol di taman itu.
“Li? Lo diem aja? Aku barusan salah?”.
“Cape doang, cubitan kamu keras banget tadi, sakit Vin”
“Iya, kok kamu pake baju kayak gitu sih? gak biasanya mamerin aurat. Kamu lebih indah berjilbab. Aku mengingatkan kamu dalam kebaikan, itu petunjuk Tuhan mu kan? Kamu lupa lagi kata bunda?”. Kata Kevin menatap mata sahabat kecilnya.
“Eh em cuacanya panas banget”
“Sepanas apapun juga aku bakal bikin kamu nyaman, tapi kamu jangan gini lagi ya? Janji?”
Ya Tuhan, ini belaian Kevin? Jangan putuskan cinta persaudaraan kita, aku tak ingin telapak tangan yang kekar ini berhenti membelai dan memelukku dengan lembut. Biarlah setiap jengkalnya senantiasa menawarkan keindahan.
Setelah agak lama bermain kejar-kejaran, Kevin mengajak Lidia ngobrol di taman itu.
“Li? Lo diem aja? Aku barusan salah?”.
“Cape doang, cubitan kamu keras banget tadi, sakit Vin”
“Iya, kok kamu pake baju kayak gitu sih? gak biasanya mamerin aurat. Kamu lebih indah berjilbab. Aku mengingatkan kamu dalam kebaikan, itu petunjuk Tuhan mu kan? Kamu lupa lagi kata bunda?”. Kata Kevin menatap mata sahabat kecilnya.
“Eh em cuacanya panas banget”
“Sepanas apapun juga aku bakal bikin kamu nyaman, tapi kamu jangan gini lagi ya? Janji?”
Ya Tuhan, ini belaian Kevin? Jangan putuskan cinta persaudaraan kita, aku tak ingin telapak tangan yang kekar ini berhenti membelai dan memelukku dengan lembut. Biarlah setiap jengkalnya senantiasa menawarkan keindahan.
Hari terus berlanjut, lentera mentari siang itu mungkin agak membakar keluhan orang-orang yang merasakannya. Sehingga mereka hanya bersantai menunggu senja menampakan diri untuk beradu dengan wajah sang malam.
Waktu menunjukan pukul 01.00 siang. Lidia merasa sangat pusing, dia tidak bisa menemani Kevin les basket di tempat Pak Dian. Jadi dia menemui Kevin di sekolah untuk ijin pulang dulu. Waktu sedang ngobrol sebentar dengan Kevin, tiba-tiba ada tetesan darah dari hidung Lidia.
“Iya Vin jadi aku kesini mau…”
“Memperlihatkan tetasan darah itu keluar dari hidung mungil kamu?” Kevin merasa dibohongi. Dia khawatir, dia kaget, dia merasa dinomer duakan tentang kepercayaan Lidia kepadanya.
Waktu menunjukan pukul 01.00 siang. Lidia merasa sangat pusing, dia tidak bisa menemani Kevin les basket di tempat Pak Dian. Jadi dia menemui Kevin di sekolah untuk ijin pulang dulu. Waktu sedang ngobrol sebentar dengan Kevin, tiba-tiba ada tetesan darah dari hidung Lidia.
“Iya Vin jadi aku kesini mau…”
“Memperlihatkan tetasan darah itu keluar dari hidung mungil kamu?” Kevin merasa dibohongi. Dia khawatir, dia kaget, dia merasa dinomer duakan tentang kepercayaan Lidia kepadanya.
Lidia sudah khawatir, jangan-jangan penyakit nakal ini akan memperlihatkan kebesarannya mengganggu kehidupanku di depan sahabatku sendiri. Sejenak mengamati, Kevin membersihkan darah yang terus bertambah banyak dari hidungku, terasa sangat lembut sentuhan kapasnya.
“mengapa Lidia tidak pernah bercerita tentang penyakitnya. Mengapa dia tega merahasiakan ini pada sahabtnya sendiri” Itu percakapan Kevin dengan mata hatinya.
“Jadi apa yang kamu sembunyikan dariku?”
“Hanya pusing”
“Pusing memikirkanku? Makanya kamu gak pernah cerita sama aku?”
“Enggak tapi aku gak papa, bener Vin”
Lidia menyembunyikannya di pelukan Kevin. Dia tak ingin Kevin menghancurkan rahasianya. Dia tak ingin bicara saat itu. Dia hanya ingin menikmati saat-saat indah dengan sahabatnya.
“mengapa Lidia tidak pernah bercerita tentang penyakitnya. Mengapa dia tega merahasiakan ini pada sahabtnya sendiri” Itu percakapan Kevin dengan mata hatinya.
“Jadi apa yang kamu sembunyikan dariku?”
“Hanya pusing”
“Pusing memikirkanku? Makanya kamu gak pernah cerita sama aku?”
“Enggak tapi aku gak papa, bener Vin”
Lidia menyembunyikannya di pelukan Kevin. Dia tak ingin Kevin menghancurkan rahasianya. Dia tak ingin bicara saat itu. Dia hanya ingin menikmati saat-saat indah dengan sahabatnya.
Semenjak Kevin mengetahui penyakit Lidia dari Bunda, Kevin tak pernah lagi mengajak Lidia bermain seperti dulu. Dia takut terjadi apa-apa jika Lidia terus kecapaian dan penyakitnya kumat lagi. Menembus kebahagiaan Lidia. Kini Kevin juga harus fokus kepada pacar barunya. Via.
Hampir setiap hari Kevin selalu bersama Via, entah itu pulang sekolah, makan bareng, belajar sampai ke gereja pun mereka selalu bersma. Pernah Lidia melihat sahabatnya itu bersama dengan Via ketika dia hendak pergi ke masjid, entah mengapa perasaan Lidia sangat sakit, perasaan ini tak berbunga, tidak juga benuansa melati yang setiap saat Kevin berikan padanya. Rasanya Lidia seperti menanti keajaiban bila dia harus meninggalkan kedamaian kota dan kegundahan hatinya. Lidia cemburu. Ya bagaimana dengan kisah manis dan segala kesedihan yang mereka lewati selama 15 tahun harus terpisah hanya karena setetes darah sebagai buktinya? Lidia menganggp bahwa Kevin telah melupakannya dan karena Kevin sudah tau penyakitnya, Lidia merasa sahabatnya itu jijik untuk dekat dengannya. Lidia selalu mengurung diri di rumah. Dia selalu menangis. Tapi di dalam lubuk hatinya, dia akan tetap bersikap seperti dulu, saat kanker itu belum menyerang otaknya.
Suatu hari, Lidia bertekad menemui Kevin saat pengumuman lulusan di umumkan. Dia ingin melihat kilasan senyum yang menawan, yang membuat pandangan matanya hanya tertuju pada senyuman itu. Atau belaian lembut yang dia nantikan 2 tahun ini. Dia melihat Kevin sedang mencari-cari namanya di urutan lulus atau tidak. Saat itu Kevin sedang bersama Via. Dari belakang, Lidia menepuk pundak Kevin.
“Dooorrr! lagi ngapain kalian berdua?”, tanya Lidia dengan senyum terpaksa.
“eh Lidia, ngagetin aja,! dasar anak kecil ya… gak tau orang lagi bingung nyari nama” dia melanjutkan, melihat wanita yang ada di sampingnya. Dirangkulnya dia, lalu,
“oh ya Vi ini sahabat ku dari kecil, Lidia”
“Hay, seneng bisa kenal kamu”
“Iya sama-sama, Vin aku nyariin kamu, aku berusaha pengen deket kamu terus, tapi rasanya gak bisa. Kamu kaya sunyi banget buat aku?” Lidia tiba-tiba mengumbarkan semua gejolak yang terus menekannya.
Kevin bingung apa yang harus dia lakukan. Dia harus pertahankan siapa, sahabatnya atau satu gadis yang mengganggu persahabatannya dengan Lidia. Gadis yang sebenarnya sangat licik itu.
“Lidia denger! kamu itu terlalu muda dan terlalu resah buat nyari kesunyianku, aku udah punya cewek dan kamu masih aja perduliin aku? Aku gak bakal bisa balik sama aku, aku mohon pengertiannya. Hapuskan aku dari bayangan-bayanganmu setiap hari juga hapus aku dari hidupmu”
“Aku sangat..” Lidia tak bisa melanjutkannya karena terpotong.
“Tolong pergi, sekarang Lidia, bukan satu detik lagi atau berjam-jam kamu berdiri disini” bentak Kevin.
“Ketika Tuhan memberikan satu kebahagiaan untukku, maka aku memilih memberikan kebahagiaan itu untukmu Vin”
“Plis pergi..”
Lidia merasa tertekan saat itu, dia menahan air mata, namun dia masih bisa menggerakkan matanya tanpa setetes air mata. Hanya tersenyum. “Aku pulang dulu ya, tadi cuman liat terus mampir” kata Lidia.
“Dooorrr! lagi ngapain kalian berdua?”, tanya Lidia dengan senyum terpaksa.
“eh Lidia, ngagetin aja,! dasar anak kecil ya… gak tau orang lagi bingung nyari nama” dia melanjutkan, melihat wanita yang ada di sampingnya. Dirangkulnya dia, lalu,
“oh ya Vi ini sahabat ku dari kecil, Lidia”
“Hay, seneng bisa kenal kamu”
“Iya sama-sama, Vin aku nyariin kamu, aku berusaha pengen deket kamu terus, tapi rasanya gak bisa. Kamu kaya sunyi banget buat aku?” Lidia tiba-tiba mengumbarkan semua gejolak yang terus menekannya.
Kevin bingung apa yang harus dia lakukan. Dia harus pertahankan siapa, sahabatnya atau satu gadis yang mengganggu persahabatannya dengan Lidia. Gadis yang sebenarnya sangat licik itu.
“Lidia denger! kamu itu terlalu muda dan terlalu resah buat nyari kesunyianku, aku udah punya cewek dan kamu masih aja perduliin aku? Aku gak bakal bisa balik sama aku, aku mohon pengertiannya. Hapuskan aku dari bayangan-bayanganmu setiap hari juga hapus aku dari hidupmu”
“Aku sangat..” Lidia tak bisa melanjutkannya karena terpotong.
“Tolong pergi, sekarang Lidia, bukan satu detik lagi atau berjam-jam kamu berdiri disini” bentak Kevin.
“Ketika Tuhan memberikan satu kebahagiaan untukku, maka aku memilih memberikan kebahagiaan itu untukmu Vin”
“Plis pergi..”
Lidia merasa tertekan saat itu, dia menahan air mata, namun dia masih bisa menggerakkan matanya tanpa setetes air mata. Hanya tersenyum. “Aku pulang dulu ya, tadi cuman liat terus mampir” kata Lidia.
Kevin sempat ingin mengejar peri kecilnya itu, dia merasa salah berkata yang tak penting dia katakan pada sahabatnya. Tapi dia ingat disitu juga ada Via. Gadis berpegang teguh pada pelukan Kevin agar Kevin tak bisa lari mengerjar Lidia. Dia memutuskan untuk tidak mengejarnya, mungkin Lidia merasa kurang diperhatikan. Tapi, bagi Kevin itu semua hanya kenangan. Dia ingin kembali menjumpai masa lalunya, meneruskannya dengan akhir yang bahagia. Rasanya sulit, di sampingnya berdiri gadis yang akan menjadi permaisuri di hatinya. Mungkin. Atau sekedar pura-pura.
Satu minggu berlalu, Kevin dan Lidia tidak pernah berhubungan lagi. Sampai saatnya tiba, Kevin datang ke rumah Lidia dan melihat Lidia terbaring lemas di kamar. Lidia meneteskan air mata saat Kevin berjalan menuju tempat tidurnya. Dia berusaha bangkit dari ketidakmampuannya berdiri menyambut pangeran terindah yang dulu dia miliki.
“Berikan kemudahan kepadaku yang serba kekurangan ini Ya Allah untuk merasakan kebahagiaan dalam kesederhanaanku, jika cinta itu indah tolong labuhkan hati ini kepada lelaki itu” Lidia berangan beberapa saat.
“Sayang, aku minta maaf untuk segala kesalahanku, kamu sahabat terindah yang gak bisa aku lupain gitu aja. sini sandarkan badan kamu di tubuh aku, inget ya, aku yang bakal menopang tubuh kamu waktu kamu kehilangan semua tenagamu. Aku yang berusaha ada di belakang jejak langkah kesedihanmu, cuma aku yang ingin ngebahagiain kamu tapi aku mau bilang sesuatu…”
“Iya itu sekedar kata-kata kamu, pada kenyataan kamu gak pernah ada buat ngehibur aku kan pas aku sakit kaya gini? sekarang aku ngerasa apa yang aku punya itu balik lagi termasuk semangatku.
“Lidia, aku rindu sama kamu, aku ingin kamu selalu ada buat aku, menjadi sahabat aku selamanya, seutuhnya, aku pengen meyakini satu rasa yang gak akan pernah berubah dari diri kamu buat aku, tapi aku harus pergi. Ayah menyuruhku pindah ke Malaysia. Aku harus sekolah disana. Karena ayah tak bisa meninggalakan pekerjaannya, aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku akan ada di setiap senyum dan tangisanmu, aku gak akan pergi, aku selalu di hatimu, meskipun ribuan atau bahkan milyaran kilo jejakmu terpisah denganku, hubungan kita jangan sampai putus ya?, kamu janji bakal hubungi aku, sayang ya sama kesehatanmu? Seperti kamu sayang sama aku” kata Kevin dengan nada sedih.
“Aku juga minta kalau aku pergi, kamu gak boleh nangis… aku selalu ada di mimpi-mimpi kamu buat kamu senyum kayak dulu lagi..”, jawab Lidia dengan pelan.
“Pergi kemana? Ke sini? Di hati aku?”
“Enggak, kan Tuhan sayang sama kita, kalau Tuhan pengen minta ditemenin sama aku kan aku harus pergi?”
“Loh kenapa ngaco gitu ngomongnya?”
“Bapa kamu pernah bilang kan kalau dia sayang sama anak-anaknya, dia mengistimewakan kita, mengistimewakan kamu juga, itu tergantung waktu, kalau kita boleh milih juga kita maunya tetep kaya dulu lagi kan”
“Lidia, aku sayang sama kamu, kamu besok anter aku ke bandara ya? Yang mau aku liat terakhir itu kamu sama senyuman indah kamu.
Gejolak rasaku sepertinya mulai tumbuh berbeda jauh dengan beberapa minggu sebelumnya. Ini rasanya berat, satu elektron menancap kuat di dadaku, berputar-putar memilih antara senyuman terakhir untuk dia atau tetap tidur demi kesehatannya.
“Bagaimana dengan Via?”
“Aku cuma liat masa depan Li, bukan masa lalu, masa depan sama kamu nantinya”
“Jadi kamu?”
“Udah putus sama Via”
Lega. Hanya itu satu rasa yang aku paparkan di sebelah kesedihan yang bergejolak sangat kuat.
“Berikan kemudahan kepadaku yang serba kekurangan ini Ya Allah untuk merasakan kebahagiaan dalam kesederhanaanku, jika cinta itu indah tolong labuhkan hati ini kepada lelaki itu” Lidia berangan beberapa saat.
“Sayang, aku minta maaf untuk segala kesalahanku, kamu sahabat terindah yang gak bisa aku lupain gitu aja. sini sandarkan badan kamu di tubuh aku, inget ya, aku yang bakal menopang tubuh kamu waktu kamu kehilangan semua tenagamu. Aku yang berusaha ada di belakang jejak langkah kesedihanmu, cuma aku yang ingin ngebahagiain kamu tapi aku mau bilang sesuatu…”
“Iya itu sekedar kata-kata kamu, pada kenyataan kamu gak pernah ada buat ngehibur aku kan pas aku sakit kaya gini? sekarang aku ngerasa apa yang aku punya itu balik lagi termasuk semangatku.
“Lidia, aku rindu sama kamu, aku ingin kamu selalu ada buat aku, menjadi sahabat aku selamanya, seutuhnya, aku pengen meyakini satu rasa yang gak akan pernah berubah dari diri kamu buat aku, tapi aku harus pergi. Ayah menyuruhku pindah ke Malaysia. Aku harus sekolah disana. Karena ayah tak bisa meninggalakan pekerjaannya, aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku akan ada di setiap senyum dan tangisanmu, aku gak akan pergi, aku selalu di hatimu, meskipun ribuan atau bahkan milyaran kilo jejakmu terpisah denganku, hubungan kita jangan sampai putus ya?, kamu janji bakal hubungi aku, sayang ya sama kesehatanmu? Seperti kamu sayang sama aku” kata Kevin dengan nada sedih.
“Aku juga minta kalau aku pergi, kamu gak boleh nangis… aku selalu ada di mimpi-mimpi kamu buat kamu senyum kayak dulu lagi..”, jawab Lidia dengan pelan.
“Pergi kemana? Ke sini? Di hati aku?”
“Enggak, kan Tuhan sayang sama kita, kalau Tuhan pengen minta ditemenin sama aku kan aku harus pergi?”
“Loh kenapa ngaco gitu ngomongnya?”
“Bapa kamu pernah bilang kan kalau dia sayang sama anak-anaknya, dia mengistimewakan kita, mengistimewakan kamu juga, itu tergantung waktu, kalau kita boleh milih juga kita maunya tetep kaya dulu lagi kan”
“Lidia, aku sayang sama kamu, kamu besok anter aku ke bandara ya? Yang mau aku liat terakhir itu kamu sama senyuman indah kamu.
Gejolak rasaku sepertinya mulai tumbuh berbeda jauh dengan beberapa minggu sebelumnya. Ini rasanya berat, satu elektron menancap kuat di dadaku, berputar-putar memilih antara senyuman terakhir untuk dia atau tetap tidur demi kesehatannya.
“Bagaimana dengan Via?”
“Aku cuma liat masa depan Li, bukan masa lalu, masa depan sama kamu nantinya”
“Jadi kamu?”
“Udah putus sama Via”
Lega. Hanya itu satu rasa yang aku paparkan di sebelah kesedihan yang bergejolak sangat kuat.
Esok harinya di bandara. Terakhir kali sebelum mereka berpisah, Lidia sempat bepesan, hanya beberapa kalimat dan itu akan selalu Kevin simpan di hatinya
“Kevin, kamu sahabatku, aku sayang banget sama kamu. Misalnya aku jadi pergi, lebih jauh dari kamu, kamu janji harus selalu inget kenangan kita selama ini, kamu gak boleh sedih, kamu gak boleh lupain aku. Aku bakal liat kamu disana, dari mata hati aku meskipun aku cuma sahabat yang selalu nyusahin kamu, buang-buang duit kamu, sering emosian gara-gara aku tertekan sama penyakit aku, aku minta maaf?”.
“Enggak Lidia, itu salah. kalau aku mikir kaya gitu, gak mungkin aku mau sahabatan sama kamu selama ini, kamu itu peri kecil yang Tuhan kasih buat aku. Kamu itu anugerah, aku sayang kamu kok. Udah ini air matanya jangan pernah dikeluarin lagi ya? Kamu cantik kalau senyum. Kamu sahabat paling cantik yang pernah aku kenal”
Sejenak mereka bertatap muka. Memperhatikan raut wajah yang sudah berganti, mungkin sudah semakin dewasa, angan yang tak pernah mereka lupa, kisah jenaka dan suka cita mereka.
Walau pun kedua planet cinta itu berjarak jauh, setiap hari mereka selalu berhubungan lewat e-mail. Kevin selalu mengirimkan support untuk Lidia disaat selagi Lidia masih bisa menikmati indah dunia. Penyakit kanker yang menyerang otak Lidia tak selamanya bertahan.
“Kevin, kamu sahabatku, aku sayang banget sama kamu. Misalnya aku jadi pergi, lebih jauh dari kamu, kamu janji harus selalu inget kenangan kita selama ini, kamu gak boleh sedih, kamu gak boleh lupain aku. Aku bakal liat kamu disana, dari mata hati aku meskipun aku cuma sahabat yang selalu nyusahin kamu, buang-buang duit kamu, sering emosian gara-gara aku tertekan sama penyakit aku, aku minta maaf?”.
“Enggak Lidia, itu salah. kalau aku mikir kaya gitu, gak mungkin aku mau sahabatan sama kamu selama ini, kamu itu peri kecil yang Tuhan kasih buat aku. Kamu itu anugerah, aku sayang kamu kok. Udah ini air matanya jangan pernah dikeluarin lagi ya? Kamu cantik kalau senyum. Kamu sahabat paling cantik yang pernah aku kenal”
Sejenak mereka bertatap muka. Memperhatikan raut wajah yang sudah berganti, mungkin sudah semakin dewasa, angan yang tak pernah mereka lupa, kisah jenaka dan suka cita mereka.
Walau pun kedua planet cinta itu berjarak jauh, setiap hari mereka selalu berhubungan lewat e-mail. Kevin selalu mengirimkan support untuk Lidia disaat selagi Lidia masih bisa menikmati indah dunia. Penyakit kanker yang menyerang otak Lidia tak selamanya bertahan.
Semakin hari Tuhan memberi pertanda untuk Lidia. Tuhan kasihan melihatnya kesakitan. Bunda berusaha mencari dokter dan dimanapun dokter itu berada, tapi mereka semua berputus asa. Lidia menerima kenyataan ini bila dia harus berakhir, tanpa sosok Kevin disaat terakhir dia hidup. Dia hanya berharap Kevin selalu datang ke dalam mimpi indahnya, malam itu di sebuah rumah sakit Pelita, Jakarta Utara. Untuk semua kisah yang selama ini dia kenang dalam memory kecilnya. Dan semangat yang tak pernah redup karena sahabatnya, sahabat yang sangat mulia.
1 Juli 2012. Saat pertama kali masuk SMA, sekolah yang diidamkan semua siswa di dunia setelah lulus SMP dan disitulah detik terakhir sebelum Lidia pergi, dia sempat membuka e-mail terkhirnya yang mungkin esok hari dia tidak dapat membukanya. Dia terhenyak dan mengalirkan begitu deras air matanya karena yang dibacanya ini..
From: kevinsaputra@gmail.co.id
To: lidiayuda@gmail.com
Hal: Makna Di hatiku
To: lidiayuda@gmail.com
Hal: Makna Di hatiku
Lidia, aku tahu tentang perasaanmu waktu kamu bertemu aku saat aku sedang bersama pacarku, via. Aku tahu dari sorot matamu kalau kau rindu kasih sayangku. Aku udah lama banget mendam perasaan ke kamu. Aku sayang banget sama kamu, mungkin aku mencintaimu. Aku sadar dunia kita memang berbeda. Aku melampiaskan cintaku ke via biar aku bisa lupain kamu, tapi aku gak bisa. aku rindu akan senyumanmu, keceriaanmu waktu bareng sama aku. kamu harus ada kalau nanti kau kembali ke Jakarta… aku yakin kamu bisa sembuh meskipun aku Cuma bisa support kamu dari sini.. aku takut kalau dari dulu aku bilang tentang perasaanku ke kamu, itu Cuma ngerusak persahabtan kita. Aku gak pengen kehilangan kamu Lidia.. kamu harus bisa, untuk aku, aku tau kamu juga cinta sama aku. Cinta kita hanya terhalang perbedaan keyakinan. Dan itu sebabnya kenapa aku tidak memberitahuimu sejak dulu. Salam Kevin.
Tangan lidia bergetar saat hendak membelas kiriman Kevin. Darah dari hidungnya terus keluar, namun dia harus bisa menulis sesuatu. Entah apa itu, tetapi harus.
From: lidiayuda@gmail.com
To: kevinsaputra@gmail.co.id
Hal: Makna Cintaku
To: kevinsaputra@gmail.co.id
Hal: Makna Cintaku
Aku gak tahu aku harus ngomong apa. Aku cinta sama kamu Vin… aku tahu kecocokan jiwaku udah ada buat kamu sejak dulu, itu mungkin akan abadi dalam hitungan tahun abad atau setelah aku pergi nanti. Walaupun berbeda cintaku sepenuh hati. Cinta ini yang mengurus air mataku menjadi rasa yang abadi buat kamwebf. Maaf akuffj susah menulis katwe-kata ini. Aku lelah dengan jemari ini. Hanya untuk bersamamu, aku rela menerobos rasa sakit yang kian djkeno. andai waktu bisa terulang, setidaknya aku masih bisa mengungkapkan perasaanku langsung tanpa darah di hidungku yang kian m…
Belum sempat lidia mengirim balasannya ke Kevin, dia jatuh. Tertidur pulas. Untuk selamanya. Untuk menemui sang Khaliq, menemani Tuhan disana. Namun tuhan punya rencana lain. Tuhan sayang dengan Lidia, dia ingin Lidia kembali kepada-Nya.
“Bunda tau nak, kamu bisa setegar ini karena Kevin, bunda ikhlas nak, bunda sayang sama anak bunda. Bunda gak ingin kamu sedih karena liat bunda nangis kayak gini. Kamu yang bahagia ya nak disana, nanti Lidia hadir kalau bunda lagi tidur, Lidia cerita ya sama bunda kalau disana tempatnya nyaman buat anak Bunda ini”
Kini lidia telah bisa tegar, bukan tegar, dia tak kan pernah merasakan sakit apapun. Tuhan telah memepersiapkan takdirnya untuk kita. Lidia anak yang kuat. Dia selalu tersenyum meski fisik dan hatinya sangat terluka. Bu Eva melihat e-mail yang belum terkirim, segera dia kirimkan kepada Kevin. Bu Eva juga menghubungi Kevin kalau Lidia sudah pergi. Sudah menemui Kuasa-Nya. Cinta mereka tak kan bersatu. Kevin pulang ke Jakarta saat Lidia baru saja dikuburkan. Dia hanya bisa memberi senyuman pada bunga-bunga melati dan tanah yang kini menutupi sosok tegar yang dia cintai segala kekurangannya. Dia berjanji, suatu saat nanti.. Dia akan menyambut cintanya, di dunia yang lain. hal yang tidak berubah itu indah, tapi hal yang indah pasti berubah. Dia ingat kalimat itu sebelum Lidia meninggalkannya.
End.
Cerpen Karangan: Alifa Zuhroh Maulida
0 komentar:
Posting Komentar