“Vi, ada gossip baru!”
“Oh ya? Apaan?”
“Renald ma Titi deket banget akhir-akhir ini. Mungkin mereka…”
“Jadian??”
“Mungkin.”
“Baguslah.”
“Oh ya? Apaan?”
“Renald ma Titi deket banget akhir-akhir ini. Mungkin mereka…”
“Jadian??”
“Mungkin.”
“Baguslah.”
Ada sedikit nyeri di hati ketika aku mendengar kabar burung itu. Ketika aku membahas hal itu. Titi, sahabat senasib seperjuanganku di bangku kuliah. Kami selalu se-iya sekata dalam hal apapun. Begitu juga Nindy yang juga seperjuangan denganku dan Titi. Kami memang datang dengan latar belakang yang berbeda, sangaaat berbeda. Tapi, aku merasa ada sesuatu hal yang aku sendiri tidak tahu apa hal itu hingga mampu menyatukan kami bertiga dalam perasaan dan pikiran yang sejalan.
Akhir semester ini kelas kami mengadakan kunjungan di instansi untuk melihat implementasi ilmu-ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah. Kami, sekelas sekitar 30 orang mengunjungi sebuah instansi kesehatan yang cukup bagus dan belajar langsung dari sana. Menakjubkan! Dunia kerja ternyata sangat jauh berbeda dari yang selama ini aku bayangkan. Lebih menantang. Lebih berat. Begitulah kenyatannya. Perjalanan itu tak akan terlupakan! The best moment!
“Nindy, Titi beneran lagi deket ama Renald kah?” ucapku pelan.
“Nggak sih! Mereka nggak jadian tapi lucu aja ngelihat mereka deket. Apalagi jadian, ya nggak?”
“Hmm..”
“Kenapa? Kamu nggak setuju kalau mereka jadian?”
“Mm… Nggak! Aku setuju aja kalau mereka jadian,” jawabku ragu.
“Eh, liat tuh ada Titi! Dia lagi jalan ama Renald. Samperin yuk?”
“Aku tunggu di sini aja deh Nin,” kataku sambil bersandar pada sebuah bangku.
“Nggak sih! Mereka nggak jadian tapi lucu aja ngelihat mereka deket. Apalagi jadian, ya nggak?”
“Hmm..”
“Kenapa? Kamu nggak setuju kalau mereka jadian?”
“Mm… Nggak! Aku setuju aja kalau mereka jadian,” jawabku ragu.
“Eh, liat tuh ada Titi! Dia lagi jalan ama Renald. Samperin yuk?”
“Aku tunggu di sini aja deh Nin,” kataku sambil bersandar pada sebuah bangku.
Entah kenapa aku merasa tak sanggup untuk menyaksikan Titi terlalu dekat dengan Renald. Ada sesuatu yang membuatku tidak menyukai kedekatan mereka. Nindy pun mengurungkan niatnya dan menemaniku bersandar di bangku itu. Waktu terasa berhenti sejenak. Ketika aku tersadar, ada dua sosok makhluk yang sangat familiar berdiri di depanku. Percikan-percikan api terjatuh di lubuk hati dan aku merasakan nyeri mendalam.
“Vi, jalan ke sana yuk! Kita bisa foto-foto di sana. Tuh lihat! Pemandangannya bagus banget. Yuk!” ajak Renald yang masih berdiri di depanku.
“Mm… Aku…” ucapku tak terselesaikan.
“Udahlah, ikut aja!” kata Renald sambil menarikku ke arah yang dia tunjuk.
“Mm… Aku…” ucapku tak terselesaikan.
“Udahlah, ikut aja!” kata Renald sambil menarikku ke arah yang dia tunjuk.
Aku tak sanggup menolaknya. Aku hanya bisa mengikuti langkahnya. Nindy dan Titi pun mengikuti kami di belakang. Aku masih bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa yang tengah terjadi padaku? Apa arti perasaan ini? Aku tidak mungkin suka sama Renald. HE IS NOT MY TYPE! (Perhatikan tulisannya! Huruf kapital, tebal, dan bergaris bawah. Jadi, sangat jelas.) Yupz! Renald bukan tipeku. Aku suka cowok yang berpenampilan rapi, pinter, cakep, dan nggak malu-maluin pokoknya.
Sedangkan Renald tuh orang yang nggak punya malu, gila, sense of humor-nya melebihi ambang batas. Apalagi ya? Cakep? Nggak banget! Pinter? Jauh! Jauh! Intinya adalah ciri-ciri Renald nggak ada yang masuk kriteriaku. Inilah yang membuatku bingung. Kalau dia memang bukan tipeku, kenapa aku nggak suka kalau dia deket ama Titi? Mungkinkah tipeku berubah? No! No! Berubah menjadi selevel Renald? Tidak mungkin!!!
“Vi, aku suka sama cewek sekelas kita,” kata Renald suatu pagi.
“Oh ya? Baguslah. Kamu normal suka sama cewek,” jawabku ngasal.
“Aku serius, Vi! Tapi kayaknya aku gak mungkin dapetin dia. Lagi pula aku cuma nge-fans dan aku gak berharap untuk ngedapetin dia.”
“Oh ya?” jawabku masih dengan setengah hati nanggepin Renald.
“Kamu kenapa sih hari ini? Lagi ada masalah?” Tanya Renald setelah menyadari ketidaktertarikanku tentang curhat ataupun ceritanya.
“Gak ada masalah. Biasa aja,” kataku sambil pergi meninggalkan Renald begitu saja.
“Oh ya? Baguslah. Kamu normal suka sama cewek,” jawabku ngasal.
“Aku serius, Vi! Tapi kayaknya aku gak mungkin dapetin dia. Lagi pula aku cuma nge-fans dan aku gak berharap untuk ngedapetin dia.”
“Oh ya?” jawabku masih dengan setengah hati nanggepin Renald.
“Kamu kenapa sih hari ini? Lagi ada masalah?” Tanya Renald setelah menyadari ketidaktertarikanku tentang curhat ataupun ceritanya.
“Gak ada masalah. Biasa aja,” kataku sambil pergi meninggalkan Renald begitu saja.
Sebenarnya aku tertarik dengan cerita Renald. Aku ingin tahu siapa cewek yang disukai Renald yang tentu saja aku berharap bukan aku. Namun, perasaanku yang belum aku mengerti menutupi ketertarikanku tentang hal itu. Aku memilih pergi dan menghindari Renald dan aku berharap aku tidak sedang jatuh hati pada Renald yang 100% bukan tipeku. Aku yakin, seyakin-yakinnya, he is not my type!
“Vi, barusan Renald bilang dia suka sama cewek sekelas kita.”
“Iya. Aku udah tahu. Renald juga bilang ke aku,” kata Nindy.
“Kamu tahu siapa cewek itu?”
“Titi. Dia suka sama Titi. Kayaknya bakal seru kalau mereka jadian, ya gak?” tanya Titi dengan wajah secerah mentari bersinar mendengar kabar itu.
“Iya. Seru juga,” jawabku singkat.
“Iya. Aku udah tahu. Renald juga bilang ke aku,” kata Nindy.
“Kamu tahu siapa cewek itu?”
“Titi. Dia suka sama Titi. Kayaknya bakal seru kalau mereka jadian, ya gak?” tanya Titi dengan wajah secerah mentari bersinar mendengar kabar itu.
“Iya. Seru juga,” jawabku singkat.
Masih ada sedikit rasa tak enak di hati. Eentah senang. Entah sedih. Aku tak tahu harus menyebutnya apa. Yang pasti aku takut jika aku jatuh cinta pada Renald. Aku takut untuk mendapatkan unrequited love lagi. Aku takut cinta tak berbalas menyapaku kembali. Aku takut ketika orang yang aku cinta ternyata memilih orang lain, sahabatku sendiri. Tiba-tiba handphone-ku berdering.
“Hallo!”
“Hallo! Vi, sore ini ada waktu gak?” tanya suara dari seberang.
“Ada. Kenapa, Tomy?”
“Keluar yuk? Mau gak?”
“Ke mana?”
“Ke mana aja. Mumpung aku masih di rumah nih!”
“Okay.”
“Kalau gitu, aku samperin satu jam lagi.”
“Okay. See ya!”
“Hallo! Vi, sore ini ada waktu gak?” tanya suara dari seberang.
“Ada. Kenapa, Tomy?”
“Keluar yuk? Mau gak?”
“Ke mana?”
“Ke mana aja. Mumpung aku masih di rumah nih!”
“Okay.”
“Kalau gitu, aku samperin satu jam lagi.”
“Okay. See ya!”
Sore itu aku pun pergi dengan Tomy dan melupakan Renald, segala sesuatu tentang Renald. Aku bersama Tomy, cinta pertamaku, unrequited love-ku. Orang yang pernah sangat aku cinta bertahun-tahun. Orang yang membuatku memendam perasaanku bertahun-tahun karena aku tak sanggup menyatakannya pada Tomy.
“Tomy…”
“Kenapa Vi?”
“Aku seneng masih bisa ketemu kamu.”
“Aku juga seneng,” kata Tomy.
“Kenapa Vi?”
“Aku seneng masih bisa ketemu kamu.”
“Aku juga seneng,” kata Tomy.
Malam pun datang menggantikan sore yang menemani kebersamaanku dengan Tomy. Kebersaman yang menyadarkanku bahwa he (Renald) is not my type. Kebersamaan yang menyadarkanku untuk tak pernah memilih yang lain. Kebersamaan yang membuatku tak pernah berhenti mencintainya. Kebersamaan yang menumbuhkan harapanku pada seseorang meski harus menunggu, menunggu dan menunggu entah sampai kapan. Menunggu hingga datang suatu masa untukku mendapatkan cintanya. Penantianku pun akan selalu indah karena ketulusan mengiringinya, karena cinta tak harus memiliki.
* Ku persembahkan untuk orang-orang yang mungkin tak pernah menyadari bahwa seseorang yang di dekatnya telah mencintainya sejak lama,
bahwa seseorang yang dekat itu tak mampu menyatakan cintanya,
menyatakan perasaan yang dalam karena kau tak pernah menyadarinya.
Dan untuk orang-orang yang masih memendam perasaan,
Tetaplah menikmati penantian itu
Sampai kau sanggup mengungkapkannya,
Dan jangan pernah menyesal
ketika kau memiliki cinta yang tak berbalas
karena semua itu hanya akan jadi masa lalu pada akhirnya
bahwa seseorang yang dekat itu tak mampu menyatakan cintanya,
menyatakan perasaan yang dalam karena kau tak pernah menyadarinya.
Dan untuk orang-orang yang masih memendam perasaan,
Tetaplah menikmati penantian itu
Sampai kau sanggup mengungkapkannya,
Dan jangan pernah menyesal
ketika kau memiliki cinta yang tak berbalas
karena semua itu hanya akan jadi masa lalu pada akhirnya
Cerpen Karangan: Fa Adzkiya
0 komentar:
Posting Komentar