Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Pengagum Rahasia


“Jangan kau katakan aku lemah jika kau hanya melihatku ketika aku sedang menangis tersedu-sedu” kalimat itu ku katakan kepada sahabatku, Maryam. Maryam kerap kali disapa Mary oleh orang-orang sekampung. Aku dan Maryam sudah bersahabat selama 8 tahun lamanya, ia tinggal dengan keluarga sederhana dengan jarak yang tidak begitu jauh dari rumahku. meskipun umurku sangat berbeda jauh dengannya, dia tetap menjadi pendengar yang baik di saat aku sedang mengalami kegagalan, kegelisahan bahkan selagi aku sedang putus cinta dan jatuh cinta sekalipun.
Sore ini aku duduk bersama Mary di teras depan rumahku, dan terasa ia tengah mengelus-elus bahuku “sudahlah El, jangan kau tangisi itu. Mungkin ini adalah jalan terbaik untukmu. Ayolah tersenyum, kau terlihat manis saat tersenyum” katanya. Segera ku usap air mata memalukan ini dan aku berkata dalam hati “untuk apa aku menangis?” tapi rasanya begitu sulit bagiku tuk menahannya, sungguh bodoh kali ini aku menangis karena pria itu. Sudahlah esok hari aku akan menjalani lembaran baruku, esok adalah hari pertamaku menjalani masa orientasi siswa di salah satu SMA yang asing bagiku.
Malam ini terasa sunyi, yang terdengar di tengah malam kini hanyalah beberapa suara jangkrik yang tengah asyik bermain hujan. Gerimis air hujan pun turun perlahan, membuat situasi semakin syahdu. Bergegas aku pergi ke kamar kecil dan mencuci muka, karena aku lupa atas apa yang harus ku bawa esok hari.
Suara gerimis air hujan membuatku tertidur lelap di atas tas yang akan ku bawa untuk bekal esok hari. Suaranya merdu sekali. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang amat keras, aku takut akan hal ini sungguh tidak mungkin jika aku harus membangunkan seisi rumah untuk menemaniku membukakan pintu dan menyambut tamu di tengah malam hujan seperti ini. Dengan penuh keberanian perlahan aku mulai menuruni satu anak tangga kayu yang suaranya mungkin bisa membangunkan orangtuaku “kkrekk” ku pelankan langkah kaki ini satu demi satu anak tangga ku lalui dan akhirnya menuju anak tangga yang terakhir. Sungguh lega rasanya, tetapi rasa lega ini belum sepenuhnya merdeka karena aku masih harus menyambut tamu di tengah malam seperti ini. Lalu aku berjalan menuju pintu ruang tamu yang semakin dekat ternyata ketukan pintu itu smakin keras dan aku semakin gugup, dengan penuh percaya diri lalu ku buka pinti itu “kkkreeekkk”.
Lantas aku terdiam, menatapi wajah pria itu dengan lengan yang Nampak sedang memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil kedinginan. Pantas saja ia kedinginan di tengah malam gerimis ini ia masih menyempatkan diri untuk mengganggu orang lain yang sedang tertidur lelap dan sedang menikmati mimpinya ke alam lain.
Segera aku mengambilkan handuk tebal dan ku berikan ia secangkir teh hangat untuk mengembalikan suhu tubuhnya semula. “terimakasih” jawabnya. tak sempat ku ucapkan kembali kasih kepadanya ia pun mengambil pembicaraanku dahulu sambil brusaha untuk mengambil jabat tanganku “terimakasih atas kebaikanmu di malam ini,” lalu ia bergegas berdiri dan berusaha meraih gagang pintu rumahku, lalu kutarik kerah bajunya yang lepek “eeiitt.. maksudmu apa datang kemari tuan?” dan ia sepertinya berpura-pura tak mendengar ucapanku ia menghiraukanya dan ia hilang ditelan malam yang kelam tanpa menghilangkan jejak sedikit pun.
Aku berjalan setelah menutup pintu dengan sangat hati-hati aku menaiki anak tangga lagi, 5 menit kemudian tepi aku di anak tangga yang paling akhir, lalu aku berjalan menuju tempat tidur dan menyembunyikan mataku di bawah selimut tebal sambil bertanya-tanya “siapakah pria itu? Untuk apa ia datang kemari?”. Yang jelas aku masih mengingat wajahnya, tak lama kemudian aku dibangunkan oleh ibuku dan ia menyuruhku untuk cepat bergegas pergi mandi karena semakin siang keadaan kamar mandi di rumahku semakin panjang antriannya. “ternyata kejadian semalam itu mimpi”.
Pertama kali kini aku menginjakkan kaki di tempat seperti ini tempat yang lumayan asing bagiku, dalam hatiku tertawa kecil melihat diriku sendiri, “aku pikir aku adalah orang yang paling norak dengan wajah semerawut dan dengan gembolan besar di punggungku,” wajar sajalah, karena malam ini aku akan menginap disini. Aku duduk di depan ruangan perpustakaan sekolah, lalu kulihat segerombolan anak perempuan dan laki-laki yang menatap tajam ke arahku, pandangan matanya pun tak luput dari diri ini yang sedang duduk manis seolah-olah menunggu bis di halte. Aku semakin gemetar, sorotan mata mereka begitu tajam, dan perlahan mereka pun mencoba untuk mendekati aku, kali ini keringat dingin yang hadir di setiap kegugupanku. Tapi kucoba untuk bertahan disini, “tetap berpikir positif, tetap berpikir positif El!” semakin lama semakin dekat kulihat bayangan mereka yang hitam kini mentupi sebagian tubuhku, lalu salah seorang di antara mereka tersenyum “halo? Siapa namamu” katanya. Fiuhh lega rasanya ternyata dengan berpikir positif kita akan mendapat balasan yang positif pula “um.. uhm. na.. na namaku Eldhys” sedikit terkekeh-kekeh untuk menyebut namaku sendiri. Lalu mereka menarik tanganku ke sebuah ruangan hampa di pojok sekolah, dan mereka menyuruhku untuk menyimpan barang bawaan yang menyerupai gembolan maling ini. Dan ternyata mereka mengajakku untuk berkelompok dengannya, mereka adalah teman pertamaku di tempat yang asing ini, yang beranggotakan 9 orang.
Para senior pun mengetuk pintu ruangan kami, dan mereka mengecek peralatan serta jumlah kelompok kami yang kini bertambah 1 manjadi 10 dengan aku. 10 menit lagi aku harus kumpul di lapangan dengan pakaian olahraga dari asal sekolah, aku pun bergegas berganti pakaianku. “ayo cepat cepat cepat! Biasakan hidup cepat kalian ini, sudah dewasa harus cekatan!” kata salah satu senior yang belum diketahui namanya itu, wajahnya bengas dengan sepatu yang lebih bisa dimiripkan dengan perahu, berpostur pendek dan berparas standard. Aku baris di barisan yang paling depan dan berhadapan dengan wajah-wajah senior yang menakutkan ini, tapi biarkanlah santai saja toh mereka juga manusia sama sepertiku.
Di sore yang cerah itu aku duduk dilapangan di bawah sinar mentari yang sudah mulai terbenam. Dan aku disini sedang mendengar celotehan-celotehan para senior yang justru terdengar tidak jelas karena suara mereka terkalahkan dengan suara-suara angin sore yang lembut dan menenangkan suasana hati, pikiran dan jiwa.
Ternyata para senior-senior itu telah memberikan peraturan-peraturan yang harus kami taati dan laksanakan selama masa orientasi ini. Suara adzan telah berkumandang aku dan calon siswa yang lainnya segera membawa alat sholat dan yasiin untuk mengaji bersama, saat diperjalanan menuju mushola seseorang tengah menepuk punggungku “brukk”.. dan ia pun tersenyum dan memasang wajah tanpa dosa di hadapanku, “siapa namamu gadis?” “aku Eldhys” dan ia tersenyum kembali sambil menodongkan jabat tangan padaku, tak sempat ku berjabat tangan dengannya terdengar teriakan keras dari senior yang sudah menunggu kami di depan pintu mushola “woyy bisa cepetaan gak? Waktunya solat nih.. bukan pacaran!” teriaknya, lagi-lagi senior itu lagi yang meneriaki ku. Dengan cepat pria itu pun tampak terlihat kebingungan dengan telapak tangan yang masih saja berada di hadapanku “namaku Ameer, salam kenal!” dan ia pun berlari dengan cepatnya bagaikan kuda yang kehilangan kendali.
“Malam ini kita harus melakukan jurit malam” kata Desy, salahsatu teman seruangan denganku. Lalu kami pergi keluar untuk mengobrol dengan teman di ruang lain sambil menunggu jam jurit malam.
“cepaat! Saya hitung sampai tiga, kalau tidak bisa kalian kena hukuman! Satuu.. dua..” suasana juri malam yang selalu seperti ini yang membuatku bosan mengikuti orientasi, kali ini permainan Tanya jawab di sawah yang berhasil membuat tubuhku menggigil dan bajuku basah kuyup, belum lagi wajah yang sebenarnya setengah mulus ini tak luput dari serangan lumpur sawah, aroma-aroma kotoran kerbau pak tani yang setiap hari hadir di tempat ini pun sekarang telah berpindah ke tubuhku, “tiiiggaa!! kalian tak bisa menjawab pertanyaan saya! Selamat mendapat hukuman!” sambil tersenyum lebar senior itu “blak..bluk.blak..bluk” semakin hitamlah wajah ini terkena serangan lumpur kembali “sungguh menyebalkan!” gerutuku.
Bergegas aku pergi ke kamar mandi dengan Desy, di kamar mandi ia bercerita mengenai secret admirer-nya, yang tadinya aku sedang asyik membersihkan lumpur berbau ini, aku diam sejenak mendengar pembicaraan Desy sambil aku menatap bibirnya yang berkomat-kamit membicarakan tentang pria ruangan sebelah yang akrab di sapa Ameer itu.
Waktu menunjukkan pukul 03:00 dini hari, tampaknya para senior sedang berusaha untuk menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh kami, ada pula senior wanita yang sedang sibuk mengurusi bubur kacang hijau yang aromanya tampak sudah memancing perutku, semua calon siswa pun dengan siap telah berbaris memanjang ke belakang demi segelas bubur kacang hijau yang terlihat kurang menarik di atas meja itu seperti semut-semut kecil yang sedang berantri untuk dibagikan sembako gula dari pemerintah. Tampaknya antrian ini takkan ada habisnya, jarak antara meja itu pun sekitar 32 orang lagi di depanku, aku dan Desy lebih memilih mundur dan menunggu antrian di depan tumpukan kayu bakar dan tampak 2 orang bodoh yang sedang berusaha keras untuk menyalakan api unggunnya, Desy tertawa kecil melihat 2 orang bodoh itu “mana mungkin bisa nyala api unggunnya lha wong kayune buasah kok!” Desy dengan logat jawanya yang lembut dan kental.
Terlihat wajah Ameer yang ceria dikejauhan sana yang sedang membawa 2 gelas bubur kacang hijau yang sambil senyum-senyum girang dan berjalan menuju ke arah kami, Desy pun menyambutnya dengan riang pula, semakin dekat bayangan tubuh Ameer kepada kami, semakin merah pula wajah Desy karena ia sedang mengalami salah tingkah stadium tinggi.
“Maafkanlah kesalahanku Desy, sungguh demi apapun bukan maksudku melukai hatimu, sebelumnya aku pun tak tahu bahwa sebenarnya Ameer memberikan segelas bubur kacang itu padaku, kamu tidak marah kepadaku kan Desy?, percayalah kawan” aku tak tahu harus bagaimana dan berbuat apa, kini terbukti Ameer sudah sedari awal ia mengincarku, bukan Desy, Desy hanyalah sebagai perantara di antara kita. Dan kini tangisan Desy semakin menjadi-jadi sehingga terdengar sampai ke telinga senior di ruangan berjarak 800 meter dari ruangan kami, “kreekk” seorang senior menyebalkan itu lagi datang menghampiri Desy dan berusaha untuk menenangkannya. Lalu kini sorotan mata para senior yang secara tiba-tiba datang dengan cara yang tidak sopan itu tertuju kepadaku, karena Desy tidak mau menceritakan kepada mereka mengenai masalahnya itu, jadi mereka mengintrogasikanku, aku pun bingung harus bercerita atau tidak, sungguh kejadian yang memalukan.
“Benar seperti itukah kejadiannya Desy?” seru senior itu, “iya kak! Seperti itulah kejadiannya” sambil tersengguk-sengguk menahan tangisnya ia pun mengusap air matanya dan mata itu tertuju padaku, lalu Desy tersenyum lebar, bibirnya seperti bulan sabit yang merah dan berkilauan. Lalu para senior itu pun segera keluar dari ruangan kami sambil berkomat-kamit sendiri.
Aku dan Desy kini tampak seperti biasa lagi, sepertinya Desy tidak marah kepadaku, tapi aku tak tahu perasaan ia yang sesungguhnya. Aku segera bersiap-siap untuk mengenakan baju yang membanggakan kini, baju putih-abu yang sejak 5 tahun kebelakang ku tunggu-tunggu masa-masa SMA kini, “sebentar lagi acara pengesahan siswa-siswi SMAN 1 Cisarua, diharapkan para calon siswa-siswi segera memenuhi aula sekolah” kata para senior yang sudah rapi dan tidak bengas lagi, mereka telah menunggu kami di dalam aula dengan sambutan senyuman lebar dan dengan riangnya karena acara orientasi tinggal hitungan detik lagi akan segera berakhir.
Pada saat pembacaan siswa terbaik angkatan kami, Ameer menjadi siswa terbaik kali ini, Ameer pun mendapatkan hadiah dari sekolah, tampak senyuman Desy yang tulus disampingku sambil berharap bahwa ia lah yang mendapat peserta terbaik siswi. “..dan peserta terbaik siswi dengan presentase 92% diraih oleh siswi bernama…”. Terdengar degup jantung Desy yang semakin berdebar-debar dan ia sepertinya sedang berdoa dalam hatinya “oleh.. Eldhys Shally! selamat untuk adinda dimohon untuk berdiri dan menaiki panggung” dengan wajah pucat Desy tampak kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Mungkinkah aku memberi predikat ini kepadanya? Sungguh tidak mungkin.
Sambil berdiri untuk menaiki panggung, aku berbisik pada Desy “maafkan aku Desy!” dengan penuh rasa percaya diri aku segera berjalan dengan hati-hati untuk berdiri di samping Ameer dan menerima hadiah dari sekolah. Dan ku lihat wajah Desy yang semakin lama bukannya semakin membaik, lalu kulihat ia pergi meninggalkan aula sekolah, entah kemana perginya, sungguh aku merasa aku sangat bersalah, teman macam apa aku ini menyakitkan hati temanku sendiri. Acara pengesahan ini telah berakhir, sampai saat ini aku masih belum bisa melihat batang hidung Desy, aku berjalan menuju ruanganku, niatku untuk meminta maaf kepada Desy sudah sangat bulat. Ketika ku lihat dalam ruanganku itu kosong yang ada hanya gembolan tas besarku yang tergeletak tak berdaya, seolah-olah berharap akan ada orang yang menggembolnya.
“hei.. selamat ya atas penghargaannya!” seseorang yang tiba-tiba muncul di belakangku dengan gembolan tas serupa “hai Ameer.. ya selamat juga, kau lihat Desy?” ketika ku tanyakan keberadaan Desy, wajahnya menjadi cemberut dan kisut, seperti seorang pedagang kaki lima di emperan-emperan kota. “aku tidak melihatnya, mungkin ia pulang duluan” rasa bersalah ini benar-benar membuatku tersiksa, sepertinya Desy benar-benar membenciku sehingga ia pulang tanpa memberikan pesan sepatah kata pun pada temannya sendiri, aku pikir aku dan Desy akan bertukar nomor handphone atau sekedar berfoto bersama di saat yang penuh kenangan ini. Tetapi malah seseorang yang tidak diharapkan yang meminta nomor handphoneku bahkan dengan nada memaksa ia memintanya, sebenarnya aku tak tega melihat rengekannya belum lagi aku terbayang perasaan Desy nanti ika ia tahu bahwa aku dan Ameer saling terhubung, sudahlah aku lebih memilih pulang saja hari semakin terik dan aku semakin lelah “maaf Ameer..”.
“Aku rindu pada rumah ini”, meskipun hanya satu hari aku berkemping disana tetapi rasanya sudah lama sekali, cerita disana cukup menarik untuk diceritakan kepada ibu, dan juga adikku Jeny. Tampaknya tubuhkku sudah lelah dan aku beranjak menuju kamar tidurku, disinilah tempatku melupakan sejenak masalah-masalah yang telah lalu lampau ku selesaikan maupun masalah yang sedang ku arungi, hidup memang seperti mengarungi lautan, terkadang kita menyerah dan terhempas oleh pusaran ombak lalu kita terjatuh di tengah jalan, tetapi hal itu adalah hal yang sangat tidak diinginkan sekali oleh orang kecil sekalipun. Belum sempat ku menaiki perahu untuk mengarungi dunia mimpi, adikku Jeny mengetuk pintu dengan suaranya yang lembut dan terdengar patah-patah karena ia masih berumur 4 tahun “kakak.. kakak!” tanpa dipersilahkan masuk ia pun sudah masuk kamarku dengan sendirinya, ia duduk di kursi berhadapan denganku yang sedang berbaring ditempat tidur. “kemarin ada laki-laki datang ke rumah kak, ia berambut keriting seperti Jeny” aku terkejut dan langsung duduk menatap wajahnya tajam-tajam, tetapi ia malah pergi “dasar anak-anak” gerutuku.
Aku masih penasaran dengan ucapan adikku tadi siang, tapi sudahlah mungkin yang datang adalah temannya yang mengajaknya bermain Barbie keluaran baru.
Aku berjalan menuruni anak tangga yang sudah reyot ini untuk pergi ke dapur dan mencari makanan “El, sini makan” seru ibuku yang sudah menungguku di meja makan dengan hidangan yang lezat dan nikmat buatan ibu asli. Ditengah-tengah acara makan aku dengan ibuku, ibuku bercerita “El, kemarin ada pria datang kerumah mencarimu, ia berambut keriting seperti Jeny” tiba-tiba aku tersendak, dan segera ibu memberiku air minum lalu aku menghentikan acara makanku. “Ternyata anak kecil tidak pernah bohong”, aku terkejut karena aku ingat dengan seorang pria yang tidak pernah ku kenal sebelumnya yang datang di saat hujan di tengah malam, lalu esoknya aku baru sadar ternyata semalam itu hanya mimpi, rambutnya memang sedikit terlihat mirip dengan Jeny. Lalu ibu berkata lagi “dan ia menitipkan sebuah surat untukmu, ibu belum membukanya, karena ibu pikir ini surat dari pacarmu”.
Dengan cepat aku menaiki tangga menuju lantai atas untuk menuju ke kamarku, penasaran sekali aku dengan dia. Sebenarnya aku sedikit takut, tapi rasa takut ini tergilas dengan rasa penasaranku pada benda asing yang kini telah ada digenggaman tanganku sendiri, dengan amat hati-hati aku membuka sutar berwarna merah muda itu, kertas yang beraroma parfum pria itu sdang menggelitiki hidungku, dengan cermat kubaca isi dari surat itu dalam hati.
Wajahku terbengong-bengong saat membaca surat ini, ternyata benar dugaanku surat ini adalah surat dari pria misterius itu. Tapi aku malah merasa illfeel dengan pria yang amat sangat tidak gentle ini, “untuk apa ia mengirimkan surat ini kepadaku jika ia memang benar-benar penggemarku”.
Lalu ku buat surat ini menjadi terlihat seperti bola yang sudah siap untuk memasuki gawang gol yang ada di pojokkan kamarku, “buang sajalah, tidak penting”.
Cerpen Karangan: Elfina Astin

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar