Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Kutemukan Dirimu di San Francisco


Aku sedang berada di San Fransicco. Kota yang menjadi favoritmu, Li.
Sampai saat ini, aku masih belum mengerti kenapa kau begitu menyukai San Fransisco. Padahal banyak wanita sepertimu yang lebih menyukai kota Paris yang terkenal romantis, Venesia kota kanal dari Italia, atau Milan kota mode dunia yang menawan. Tapi, kau lebih memilih San Francisco.
Aku seorang pemuda biasa yang sejak melihat dunia ini tak pernah merasakan kasih sayang dari orang tua. Sejak kecil aku tinggal di panti asuhan. Katanya, aku ditemukan dalam sebuah kardus tepat di depan pintu panti asuhan dimana aku tinggal.
San Francisco. Sudah empat bulan aku berada di San Francisco. Kota yang selama ini diimpi-impikan oleh seorang wanita yang aku cintai sampai saat ini. Pertama aku datang ke kota ini, aku sudah seperti mengenal jauh tentang San Francisco. Aku banyak mendengar cerita tentang San Francisco dari Li. Dia tahu hampir semua apa yang dimiliki kota ini. Aku tidak tahu darimana dia tahu.
Sepulang sekolah, Li dan aku pergi jalan-jalan. Li mengajakku pergi karena dia seperti tidak ingin pulang ke rumahnya lagi, katanya. Dia bosan melihat orang tuanya yang selalu bertengkar tanpa dia tahu apa masalahnya. Katanya lagi, rumahnya sudah tidak menjadi tempat paling nyaman lagi baginya.
Sambil menikmati ice cream, Li dan aku menyusuri koridor-koridor pertokoan yang cukup panjang. Lalu tiba-tiba Li berhenti di depan sebuah butik. Dia memandang sebuah patung wanita cantik di etalase. Patung yang berdiri mengenakan blouse tanpa lengan berwarna putih yang dihiasi motif bunga-bunga berwarna hitam. Blouse itu dipadankan dengan rok mini berwarna hitam pula. Kulihat Li masih belum mengalihkan pandangannya ke arah etalase butik itu. Sambil mulutnya menikmati ice cream pandangannya masih tak berpaling.
“Lihat bagus kan!” tangan Li menunjuk ke arah patung cantik itu.
“Ya. Bagus.”
“Aku mau kau membelinya untukku sebagai hadiah ulang tahunku.” Kata Li sambil menatap wajahku. Tatapannya begitu serius.
“Ah, jangan bercanda. Itu pasti mahal.” Kataku langsung mengalihkan pandangan dari wajah Li ke patung di etalase butik itu.
“Darimana kau tahu?”
“Apa kau tak lihat? Butik ini terkenal, mana ada baju murah disini?,” aku melihat Li. Dia terdiam tapi matanya telah kembali memandang ke patung di balik etalase itu.
“Mungkin aku hanya bisa membelikan ice cream cokelat ini untukmu.” Lalu Li memandangku melempar senyum manisnya.
“Ah, aku hanya bercanda. Aku tak mau apa-apa darimu selain kau harus membawaku ke San Francisco.” Katanya sambil kembali berjalan melintasi koridor panjang itu.
San Francisco. Apa yang menarik dari kota itu? Kenapa tidak Paris? New York? Milan? Atau London? Aku pikir kota-kota itu lebih menarik. Tapi San Francisco?
Aku memang belum mengerti dengan alasan Li yang punya cita-cita pergi ke San Francisco. Setiap kali aku bertanya alasan mengapa lebih memilih San Francisco, dia tak pernah memberi tahu. Meski aku memaksa, membujuk, dan meminta tapi dia tak pernah mau memberi tahu.
“Kenapa harus ke San Francisco?” aku kembali bertanya dan aku lupa ini yang keberapa kalinya.
“Kota itu menarik buatku.” Jawab Li yang asyik melihat-lihat katalog fashion.
“Tapi masih ada Paris yang menurutku jauh lebih menarik. Atau mungkin London?”
Tangan Li terhenti membuka lembaran katalog. Li menatap wajahku. “Bagiku, San Fransisco masih jauh lebih menarik. Nanti kalau kita kesana, akan kutunjukkan apa yang menarik di kota itu.”
Lagi. Li tak memberiku jawaban yang pasti. Selalu seperti itu, akan dia tunjukkan kalau nanti aku telah mengajaknya kesana. Dia memang pandai membuatku jadi penasaran.
Empat bulan. Waktu itu belum cukup untuk membuatku tahu apa yang menarik dari kota ini. Sesuatu yang membuat Li ingin sekali mendatanginya. Mataku masih belum melihat apa yang bisa dikatakan menarik di kota ini. Meski segala kecanggihan sudah dipertontonkan di tiap sudut kota yang berada di negara bagian California ini, menurutku itu belum cukup menarik. Dan aku pikir bukan itu pula yang membuat Li tertarik dengan San Francisco.
Hari ini begitu sejuk. Padahal hari ini adalah musim panas. Aku kembali ingat kutipan dari seorang penulis Mark Twain “Musim dingin yang paling dingin yang pernah saya alami adalah musim panas di San Fransisco.” Kutipan yang membingungkanku.
Hari libur kuliah. Aku gunakan untuk berjalan-jalan menghilangkan segala kesuntukan daripada harus berdiam di rumah. Aku pergi sendiri tanpa teman. Meski teman-temanku mengajakku pergi bersama mereka, aku lebih memilih pergi sendiri. Bukannya aku tidak suka pergi beramai-ramai, hanya saja aku lebih memilih sendiri untuk saat ini. Aku memang sedang ingin sendiri.
Aku memasuki sebuah café. Kucari tempat duduk di dekat jendela kaca agar aku bisa melihat suasana jalanan. Aku memesan sebuah kopi. Lalu kukeluarkan buku dari tasku. Aku mulai membacanya.
Jalanan mulai ramai. Makin banyak orang yang berlalu lalang di depan café ini. Aku bisa melihatnya dari jendela. Aku hentikan kegiatan membacaku. Lalu kembali menyeruput secangkir kopi di depanku.
Di seberang jalan. Aku melihat seorang wanita berdiri. Mengahadap ke sebuah etalase besar sebuah toko baju. Aku yakin wanita itu sedang memerhatikan baju yang dikenakan patung di etalase tersebut. Sebenarnya sudah sejak tadi aku melihat wanita itu berdiri, namun aku biarkan karena itu hal yang wajar. Tapi, setelah aku kembali menoleh ke arah jalanan, wanita itu masih berdiri.
Rambutnya cukup panjang. Mungkin tiga belas senti dari bahunya. Memakai jaket berwarna coklat. Dia mengenakan celana jeans. Di bahu kirinya menggantung sebuah tas panjang berwarna coklat tapi lebih tua. Tangan kanannya dimasukkan ke saku jaketnya. Sementara tangan kirinya memegang tali tas coklatnya. Aku bisa memperhatikannya samar-samar dari lalu lalang para pejalan kaki di depan café. Wanita itu masih berdiri memandang ke patung di balik etalase.
“Kalau saja jembatan ini setinggi Golden Gate, mungkin aku sudah melompat dari atas sini.” Kata Li sambil tangannya menggenggam besi di pinggiran jembatan. Matanya terus memandang ke aliran sungai di bawah jembatan yang airnya mulai keruh.
“Sudahlah! Kita ke toko buku saja, ada buku terbaru disana!” Aku menggandeng tangannya lalu mengajaknya pergi ke toko buku. Mungkin aku bisa menghiburnya.
Beberapa hari, Li selalu terlihat murung. Aku mengerti bagaimana perasaannya setelah orang tuanya bercerai dan papanya langsung menikah lagi. Dan yang lebih parah (yang mungkin membuat Li sering terlihat murung) mamanya jarang sekali pulang ke rumah, entah kemana. Katanya, mamanya sering jalan dengan laki-laki yang jauh lebih muda. Bahkan ada yang melihat mama Li berada di hotel bersama seorang pemuda. Li mendengar itu semua dari kebiasaan ibu-ibu kompleks dimana Li tinggal.
Lalu aku? Aku tahu itu semua dari Li. Ya, Li memang sering curhat kepadaku setiap masalah yang sedang dia hadapi. Kata Li, dia ingin aku bukan hanya menjadi kekasihnya, tapi juga bisa menjadi teman, sahabat bahkan saudara yang bisa dia jadikan tempat untuk menampung semua kesedihannnya. Selalu ada saat hatinya ingin bersandar. Bisa menghapuskan setiap air mata yang ia teteskan. Baginya, kekasih atau pacar tidak hanya semata-mata untuk kesenangan saja. Karena hidup tidak melulu tentang kesenangan.
Aku gelisah. Sejak pagi aku tak bisa menghubungi Li. Aku mencoba mendatangi rumahnya. Namun tak ada yang bisa kutemui selain pembantunya.
“Neng Elina belum pulang sejak tadi malam, mas!”
Semalaman Li tidak pulang ke rumahnya. Lalu kemana? Aku mencoba bertanya pada teman-teman sekolah tapi tak ada yang tahu kemana Li. Aku juga mencoba menghubungi nomor papa dan mamanya tapi juga tak bisa dihubungi. Kudatangi saudara-saudara Li yang kukenal, tapi mereka bilang Li tak pernah datang.
Dua hari berselang sejak Li menghilang, aku menemukanya di sebuah surat kabar. “Seorang Wanita Tewas Tertabrak Kereta”. Dan kubaca ternyata namanya Elina Prahara Ningtias. Dia Li, kekasihku.
“Nice! It’s perfect for you.” Wanita ini terkejut dan langsung menoleh ke arahku. Kami terdiam. Saling menatap. Ini adalah keempat kalinya aku melihat wanita ini berdiri di depan etalase toko.
Wajah dan kulitnya khas orang Asia. Atau lebih tepatnya mungkin Indonesia. Matanya agak sipit. Dia punya hidung yang mancung. Memakai poni yang menutupi dahinya sampai di atas alis tebalnya. Aku suka bibirnya yang tipis.
“Are you sure?” katanya membuat lamunanku buyar. Aku hanya mengangguk. Wanita itu kembali memandang baju yang dipajang di dalam etalase toko ini. Aku juga ikut memandang baju itu. Sesekali aku melirik wajah wanita ini.
Mungkin ini terlalu fiktif untuk semua orang. Tapi aku juga tidak mengerti. Aku merasa seperti telah lama mengenal wanita ini. Meski baru beberapa menit aku bertatap wajah dengannya. Aku coba mengingat-ingat mungkin aku punya teman semasa kecil yang mirip dengannya. Pikiranku terus mencari-cari, mengingat-ingat. Tapi yang kudapatkan hanyalah kepala yang menjadi pusing.
“Are you Indonesian?” dia bertanya kepadaku.
“Ya. Saya orang Indonesia.” Kujawab sambil melempar senyuman padanya.
Namanya Ferly Agista. Seorang mahasiswi jurusan Psikologi di salah satu universitas di San Diego. Tak disangka aku semakin dekat dengannya sejak kita bertemu dan bercakap di depan etalase toko waktu itu.
Fer. Begitu aku memanggilnya. Aku suka dengan sifatnya. Satu yang paling aku suka darinya adalah dia selalu bisa mengimbangi setiap obrolanku, tentang apapun itu. Mulai dari masalah ekonomi hingga hobi. Tentang masalah teknologi hingga hati. Memang, aku lebih suka pada wanita yang bisa aku ajak ngobrol tentang apapun. Menurutku, cewek seperti itu akan terlihat lebih cerdas dan anggun daripada yang suka memamerkan kecantikan apalagi kemolekan.
“Kau sering ke San Francisco sebelumnya?”
“Tidak. Tapi aku suka dengan San Francisco.” Katanya. Lalu dia kembali sibuk dengan laptopnya.
“Apa yang kau suka dari kota ini?”
Dia berhenti mengetik. Lalu dia menutup laptopnya. Dia menarik nafas lalu menghembuskannya. “Aku suka dengan San Francisco. Apalagi bila musim panas seperti ini. Aku suka dengan kesejukan udaranya. Setiap pagi aku bisa menyaksikan kabut yang menyelimuti bukit-bukit di San Francisco. Kabut yang hanya datang di musim panas saja.”
Benar. San Francisco memang sangat terkenal dengan kabut musim panasnya. Kabut itu selalu menutupi kota yang berbukit-bukit ini di setiap pagi. Aku tahu tentang ini tentu karena Li telah menceritakannya saat SMA dulu. Dan aku benarkan cerita itu dengan melihatnya sendiri dan juga dari cerita Fer.
“Hanya itu?” tanyaku.
“Itu salah satunya. Tentu masih banyak lagi yang aku suka.”
Dia kembali bercerita tentang apa yang membuat dia menyukai kota ini. Tentang Golden Gate Bridge yang merupakan jembatan terpanjang di dunia. Jembatan yang menghubungkan San Francisco dan Marine itu, terlihat indah di pagi hari saat kabut-kabut menyelimutinya. Dan juga pada malam hari, dimana ribuan lampu menghiasi jembatan sepanjang 2 kilometer itu. Cahayanya seperti tertumpah dan lumer di atas Teluk San Francisco. “Begitu indah.” Katanya.
Lalu dia juga suka dengan Lombard Street. Jalan yang sering disebut sebagai jalan paling bengkok di dunia. Memiliki 8 tikungan tajam di lereng curam. Ada taman bunga di pinggiran jalan ini. Bunga-bunga yang berwarna-warni. “Aku suka berjalan disana. Aku bisa melihat pemandangan Teluk serta taman bunga. “Sangat indah!” Katanya lagi.
Masih banyak yang dia ceritakan tentang apa yang dia suka. Seperti Fisherman Wharf, Pier 39 tempat dimana banyak anjing laut sering berkumpul, China Town yang merupakan tempat komunitas Asia terbesar. Tapi, yang paling dia suka adalah pemandangan kabut musim panas dan Golden Gate Bridge di malam hari.
Fer memang tidak mirip dengan Li. Wajahnya sangat berbeda. Dari mata hingga bibirnya. Tapi sifatnya, aku banyak menemukan sifat yang dimiliki Li di dalam diri Fer. Ya, lebih tepatnya aku menemukan Li dalam diri Fer.
“Kau suka kan dengan jembatan ini?” kata Fer yang berdiri di sampingku melihat air di Teluk San Francisco.
“Ya. Aku sering melewati jembatan ini.”
Golden Gate Bridge. Aku mengerti kenapa Li ingin melompat dari atas sini. Kenapa dia berharap jembatan di kampungku setinggi Golden Gate. Aku tahu, tanpa pertolongan Tuhan, siapa pun yang melompat dari atas jembatan ini tak akan bisa melihat dunia lagi. Aku bisa merasakan bagaimana sakitnya jatuh dari atas jembatan megah ini. Bagaimana sakitnya tubuh ketika menghantam air di bawah sana, yang aku yakin dinginnya seperti menusuk-nusuk tulang. Tapi aku tidak tahu, bagaimana sakit ketika tubuh harus hancur tertabrak kereta.
“Ayo pulang!” Fer menggandeng tanganku berjalan di sampingku. Lalu tangan Fer menggelayut di lenganku. Kami terus berjalan melintasi Jembatan Golden Gate. Wajahku menengadah sepertinya tumpahan cahaya jembatan ini juga melumeri tubuh kami.
Li, sekarang aku tahu apa yang membuatmu tertarik dengan kota ini. Benar katamu, kalau San Francisco lebih menarik dari Paris, Milan, ataupun London. Mataku memang tak bisa menemukan apa yang menarik dari kota ini. Atau mungkin tak akan bisa menemukan. Karena aku tahu bukan matamu yang tertarik tapi hatimulah yang mencintai kota ini. San Francisco memang sangat menarik untuk kau dan aku, serta wanita yang sekarang berjalan di sampingku. Aku melihatmu di dalam dirinya. Aku seperti berbicara padamu. Aku seperti bercanda denganmu. Aku seperti menggandeng tanganmu. Kalau kau bertemu dengannya, kau akan merasa seperti melihat dirimu sendiri.
Cerpen Karangan: Yudik Wergiyanto

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar