Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Selama Kita Masih Memandang Langit Yang Sama


“hei” suara Nada mengagetkanku dari lamunanku.
“hayo lagi ngapain pagi-pagi udah ngelamun di jendela, nungguin si itu yah? haha”
Pertanyaannya langsung membuatku memerah layaknya udang direbus.. yah, tapi memang benar apa yang Nada katakan. Saat ini aku berdiri di depan jendela kelas – tepatnya setiap pagi, sebelum pengajian pagi dimulai – hanya untuk melihat Ashfar kembali ke kelas usai membereskan masjid sekolah.
Siapa yang tak kenal Ashfar, sang ketua risma yg begitu ramah, sholeh, menyenangkan dan agamis. Dari mulai guru, staff TU, satpam sekolah, orang kantin, siswa-siwa, sampai tukang sapu sekolah pun mengenalnya. Sebenarnya jika dilihat dari fisik, tidak ada yang istimewa darinya, dia tidak tampan, tidak putih, juga tidak kaya. Namun hampir di setiap kelas ada wanita yang mengaguminya. Mereka menyukainya bukan karena fisik, lebih dari itu karena Ashfar sosok yang mempunyai kharisma dan aura tersendiri, siapa saja yang melihatnya pasti akan jatuh cinta padanya dengan keteduhan wajahnya.
Setelah Nada menyambarku dengan pertanyaan tersebut aku langsung duduk di kursiku tanpa menggubris pertanyaannya, itu membuatnya semakin antusias menggodaku. Namaku Syifa Nursabila Galen, namun teman-teman akrab memanggilku Sabil, aku sekarang duduk di kelas XII dan tinggal di sebuah pondok pesantren salafi di daerah Kaloran – Serang, Banten. Kami sama-sama duduk di kelas XII Ipa 3, kami sudah cukup lama berteman. Dari kelas X kami duduk satu meja, itu membuat aku dan Nada semakin dekat, terlebih lagi kami memiliki banyak kesamaan hoby dan kebetulan satu komunitas – komunitas film – . yah dialah salah satu sahabat terbaikku, teman suka dan duka, teman curhat segala macam masalah, termasuk kekagumanku terhadap Ashfar, pun dia tahu.
Aku juga tak tahu persis kapan tepatnya aku mencintainya, namun seiring waktu bejalan, cintaku padanya terus tumbuh hingga berbunga. Walaupun aku tahu, itu hanyalah khayalanku saja. Rasanya tidak mungkin seekor rajawali nan gagah jatuh dalam ribahan merpati yang telah patah sayapnya. Aku dan dia bagaikan langit dan bumi, yang tidak akan pernah bertemu. Sosok lelaki sholeh idaman para akhwat cantik nan sholehah, kader dakwah yang siap menyerukan agama-Nya ke seluruh pelosok dunia. Sedangkan aku, perempuan biasa, ah amat biasa bahkan. Aku tak sesholehah mereka (akhwat yang mengagumi Ashfar), tak serajin dluha mereka, apalagi sabanding dengan mereka, sangat jauh. Namun itu semua tak pernah menyurutkanku untuk selalu menjaga cintaku padanya.
Seperti biasa setiap hari minggu pagi, pengajian diisi oleh pemilik pondok pesantren yang aku tempati, abah. Yah, santri di sini biasa memanggilnya dengan sebutan abah. Namun tak seperti biasa, pengajian hanya sampai jam 8, yang biasanya usai jam 12 kini hanya sampai jam 8. Abah pun menyampaikan alasan kenapa pengajian tidak diteruskan, alasannya yaitu karena katanya ada kerabat beliau yang meninggal dunia, sehingga abah beserta keluarga harus segera berta’ziyah. Santri-santri pun langsung menciumi tangan abah (kebiasaan yang dilakukan santri di pondokku setelah pengajian usai) setelah membaca doa kafaratul majlis dan bergegas meninggalkan majlis menuju kamarnya masing-masing.
Aku dan santriwati lainnya pun segera menuju asrama kami. Sesampainya di kamar, aku langsung meletakkan kitab dan beristirahat sejenak sebelum keluar pondok untuk mencari makanan. Setelah kurasa sudah cukup untuk istirahat aku pun bangkit dan berniat keluar asrama untuk mencari makanan, namun sebelum aku keluar, Indri, santriwati yang sekamar denganku mengagetkanku. “teh sabil, handphonenya bunyi. Apa sebaiknya tidak diangkat terlebih dahulu?!” ujar Indri. Aku pun langsung berbalik badan dan mengangkat teleponnya, yang ternyata sahabatku, Nada yang menelepon.
“assalamualaikum bil” terdengar suara Nada di kejauhan sana.
“wa’alaikumsalam, ada apa Da? Tumben banget jam segini udah telpon? Jawabku sambil duduk di tempat tidur.
“hari ini aku ga ada acara, aku boleh main ke pondokmu yah?” suara Nada yang memelas.
“hmm, gimana yah? Boleh deh, hehe” jawabku sambil diiringi oleh cekikikan Nada di sana yang kegirangan.
“oke deh, makasih yooo.. tunggu aku oke”
“oke, yaudah assalamualaikum”
“wa’alaikumsalam.. daaah” klik suara telpon mati.
Aku pun tidak jadi keluar karena takut Nada kesini aku tidak ada, karena teman sekamarku sebentar lagi akan muthola’ah (sorogan) di majlis bersama para senior.
Tak lama kemudian Nada pun datang dan langsung memelukku. Aku persilahkan dia masuk dan kami langsung menghambur di tempat tidur. Kita pun bercana-canda, cerita-cerita, walaupun sesekali dia mengingatkanku pada Ashfar lewat banyolannya. Tiba-tiba saja Nada mulai mengubah nada suaranya menjadi serius, yang membuatku keheranan dengan tingkahnya. Aku pun langsung menanyakan padannya kenapa dia begitu. Tanpa basa basi lagi dia langsung memberitahukanku sesuatu yang membuatku tidak percaya, seakan jantungku berhenti berdetak, aku langsung kaku, lemas rasanya, pikiranku entah pergi kemana.
Nada berkali-kali mengagetkanku, namun aku masih tak bereaksi. Untuk kesekian kalinya dia mengagetkanku yang akhirnya aku sadar. Aku sungguh tak percaya apa yang diucapkan Nada. Akupun berusaha mencerna kata demi kata yang diucapkan Nada padaku. Nada mengatakan padaku bahwa sebenarnya Ashfar juga memiliki rasa yang sama padaku, kabar ini dia peroleh dari sepupunya yang kebetulan menjadi teman baik Ashfar. Aku masih tak percaya, namun Nada tetap meyakinkanku sampai akhirnya aku pun percaya.
Setelah cerita Nada tempo hari tentang Ashfar, aku semakin malu jika bertemu dengan Ashfar. Ini membuatku semakin tak konsentrasi, apalagi sebentar lagi ujian Nasional.. namun aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap fokus pada ujianku.
Hari-hari pun berlalu, hingga ujian pun sudah di depan mata sehingga kami siswa kelas XII sudah disibukkan dengan berbagai latihan dan tryout, kegiatan-kegiatan ini yang membuat aku dan Ashfar sering sekali bertemu, bahkan kami pernah berpapasan langsung, yang membuatku semakin kelu, yang akhirnya kami pun berlalu tanpa sepatah sapaan. Yah, walaupun aku dan Ashfar sudah saling mengetahui perasaan masing-masing, tapi Ashfar tetap diam, dan itu yang membuatku semakin tetap mempertahankannya. Ujian pun kami jalani dengan lancar dan Alhamdulillah dengan hasil yang memuaskan, sehingga sampailah kami pada acara perpisahan yang akan dilaksanakan besok.
Malam semakin larut, namun aku belum bisa memejamkan mataku seperti insan di sekelilingku. Bukan karena aku memikirkan perpisahan besok, bukan juga tentang kemana aku harus melanjutkan studi setelah lulus, juga bukan tentang kesedihanku akan meninggalkan sekolahku yang tercinta ini. Tapi aku memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak aku fikirkan. Aku memikirkan Ashfar, bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Ashfar. Dari tiga tahun yang lalu aku menyimpan perasaan ini dengan rapat sampai aku lulus dia belum juga berani menyapaku. Lalu bagaimana jika setelah ini aku tidak bertemu lagi dengannya. Entahlah, aku pun tertidur dengan sendirinya.
Pagi ini sekolahku sangat ramai. Bagaimana tidak? Kesempatan perpisahan ini dimanfaatkan oleh para alumni untuk reunian atau hanya sekedar temu kangen. Semuanya bahagia, aku pun demikian. Tapi disatu sisi aku tidak bisa mengekspresikan kebahagiaan atas kelulusanku, karena bagaimanapun juga Ashfar tetap mengisi pikiranku dari semalam hingga detik ini. Ku biarkan mata ini menjelajah seisi aula untuk menemukan seseorang yang sangat aku rindu. Namun tetap saja aku tidak menemukannya. Hingga akhirnya acara selesai, tapi aku tetap tidak sempat bertemu dengannya. Sepertinya dia sengaja menghindar dariku. Aku langsung menuju kamar mandi untuk berganti pakaian dan langsung menangis di depan cermin yang sedari tadi aku tahan. Aku sedih, sangat sedih. Hingga di acara terakhir pun aku tidak bisa bertemu dengannya. Aku pun berniat untuk langsung pulang setelah berganti baju.
Selesai ganti baju aku bergegas pulang, hingga di depan pos satpam aku dikagetkan oleh suara ikhwan yang aku kenal baik. Dhika memanggilku. Aku pun menoleh. Setelah ku jawab salam darinya akupun langsung menanyakan kenapa dia memanggilku. Dia pun mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Belum sempat Dhika selesai mengucapkannya, seseorang sudah keluar dari pos satpam dengan menyelipkan untaian senyuman yang membuatku melayang. Tepat sekali. Ashfarlah yang keluar.
“assalamu’alaikum ukh” suaranya yang tiba-tiba membuatku hampir kehilangan kata-kata.
“wa.. wa’alaikumsalam” jawabku yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.
“afwan, ini nomor ponsel antum?” tanyanya sambil menunjukkan nomor ponsel yang ada di atas kertas.
“na’am itu nomor ana” jawabku. “bolehkah aku menyimpannya?” pintanya dengan nada yang lembut.. aku pun mengiyakannya. Dan setelah itu berakhirlah percakapan kami. Dia memohon diri untuk pulang duluan begitupun aku yang segera pulang dengan hati yang berbunga-bunga.. selama aku mengenalnya, tak pernah sekalipun aku bersua dengannya, dan hari ini, Oh My Allah..
Hari demi hari, minggupun berganti minggu, namun belum juga dia menghubungiku. Aku hampir gila menunggu kabar darinya. Karena setelah lulus aku tidak pernah lagi bertemu dengannya dan aku pun tak berani untuk menanyakan kabarnya pada sahabatnya. Di satu sisi aku sedikit bahagia dengan kabar yang aku peroleh, bahwa aku sudah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri Islam di Bandung. Namun itu pun sekaligus membuatku tersenyum kecut, karena harapanku padanya semakin lenyap. Beberapa minggu lagi aku harus meninggalkan tanah lahirku ini, Banten, untuk tholabul ‘ilmi di tanah tetangga. Aku semakin tak menentu, aku belum mendengar kabar darinya. Jangankan tahu dia kuliah dimana, keberadaanya saja aku tak tahu.
Besok siang aku berangkat ke Bandung, namun kabar darinya belum juga sampai di telingaku. Aku pun sudah pasrah, menyerahkan seluruhnya pada sang Maha Cinta yang tiada pernah terputus cinta-Nya. Setelah semua keperluan dan pakaianku sudah tersimpan di koper yang besok akan kubawa. Aku langsung merebahkan tubuhku di tempat yang mungil namun cukup nyaman bagiku. Baru saja aku akan memejamkan mata tiba-tiba ponselku berdering, langsung aku ambil dan ternyata ada pesan yang cukup panjang dari nomor yang tidak kukenal, kurang lebih seperti ini bunyi pesannya;
“assalamu’alaikum. Semoga Allah tetap melindungi kita dalam lindungan-Nya aamiin. Ukh, ini ana Ashfar. ‘afwan ana baru menghubungi antum sekarang. Bagaimana kabar antum? Ana harap kabar antum baik, ana disini Alhamdulillah baik-baik saja. Selamat, ana dengar antum sudah diterima di PTN yang antum mau, semoga semuanya dimudahkan. Syukron atas doa-doanya, Alhamdulillah ana diterima di universitas Al-Azhar Cairo – Mesir, dua bulan kedepan ana berangkat dan besok insyaAllah tasyakurannya dengan teman-teman sebelum mereka berangkat ke kota PTNnya masing-masing. Ana sangat berharap kedatangan antum besok di kediaman ana jam 10.. jazakallahu khoiron katsiron”.
Degg.. lagi-lagi perasaanku tak menentu. Aku berulang-ulang membaca pesan itu, tetap saja isinya sama. Aku bangga padanya, namun aku tak bisa menolak kenyataan bahwa dengan demikian kami semakin jauh, apalagi di negri orang, benua yang berbeda. Aku pun langsung menemui ibuku untuk menunjukkan pesan itu pada beliau, aku ceritakan semua isi hatiku terhadap Ashfar pada ibu. setelah ibu membacanya, kemudian ibu memegang wajahku dan mengusap butiran bening di sudut mataku yang sedari tadi turun, dan mengatakan bahwa aku tidak diizinkan untuk menghadirinya karena aku harus tetap berangkat ke Bandung, dengan tersenyum dan tetap tenang ibu berkata “Allah tidak tidur, apa yang ada di hatimu pun Dia tahu. Jika memang dia terbaik untukmu tentu saja Allah akan mendekatkan kalian, di manapun kalian berada dan sebaliknya sedekat apapun kalian jika Allah tidak menghendakinya maka akan terpisah begitu saja. Yakinlah jodoh tak akan kemana, jodoh tak akan salah alamat”. Ibu menyelesaikan nasehatnya dengan memelukku.
Ibu mengantarku ke tempat tidur. Setelah ibu keluar, aku langsung membalas pesannya, aku katakan permohonan maafku padanya bahwa aku tidak bisa menghadiri tasyakurannya karena tidak diizinkan karna keberangkatanku ke Bandung tidak bisa ditunda. Beberapa menit kemudian aku mendapat balasan pesan darinya.
“Alhamdulillah antum baik-baik saja. Laa ba’sa ukhti tidak datang, asalkan ukhti berkenan untuk mendoakan ana agar dilancarkan. Memang benar apa yang dikatakan ibu ukhti, tidak harus dipaksakan. Namun ukhti harus tetap percaya, selama kita masih memandang langit yang sama perasaan ana akan tetap seperti semula, dan kita tetap masih di bumi Allah, kita tidak pernah jauh. Semoga Allah mempertemukan kita dalam kesempatan yang di ridloi-Nya. Tunggu ana kembali, tunggu ana menjemput antum menjadi “huurun” ana”. Air mataku pun terus mengalir membaca pesan itu. Yah memang benar, kita masih memandang langit yang sama.
Tepat pukul 10 siang aku berangkat ke Bandung. Selama aku di sini, aku tetap istiqomah untuk menjaga hatiku hanya untuk Ashfar. Sekarang aku sudah dua tahun disini dan selama itu aku tetap menjaga hatiku untuknya walaupun sejak saat itu tak ada lagi kabar, bahkan nomor ponselnya pun sudah tidak aktif lagi, namun aku tetap percaya dan menyerahkan semuanya kepada Allah yang walaupun aku tak tahu kapan aku bisa dipertemukan kembali dengan cinta dalam diamku.. selama kita masih memandang langit yang sama..
“The End”
Dari aku yang memohon ampun
Ardhat Celesta
a.k.a
Safuroh Ahmad
Untukmu wahai pemuda azamku
Minggu, 30 Juni 2013/11:52 am
Cerpen Karangan: Safuroh Ahmad

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar