“O, Tuhanku”, akan kuceritakan apa yang membuatku merasakan rindu pada pelangi selama ini. Dengarlah aku karena sesungguhnya engkau Maha mendengar setiap keluh kesah hambaMu.
Di ujung musim hujan, dimana antara cuaca dingin dengan angin yang menyiuhkan daun dedaunan. Aku, betul-betul rindu melihat indahnya pelangi dan kini sudah tak kuat untuk kutahan. Karena itu, aku ingin memecahkan awan, berperang dengan kilat. Tuhanku! Rindu ini membakar nadi, sekujur tubuh dan jiwaku hingga meluap-luap!
Hatiku sungguh tak bisa kubohongi, Tuhanku. Aku ingin mengatakan, “Aku ingin bertemu pelangi”, dengan cara apa pun! sebab dengan inilah rinduku menemukan tempat dan kepuasan.
Salahkah ini Tuhanku? Karena aku tak kuat menahan rindu. O… Tuhan lihatlah! Matahari dan bulan silih berganti aku tak akan beranjak pergi. Aku akan selalu menyaksikan kejadian bergantinya matahari menjadi senja dan menuju malam, dan saat itu pula malam menjadi fajar, yang seakan kekal abadi, setia pada tugasnya.
Lihatlah Tuhanku dengan pandangan kasihMu. Aku terlanjur rindu! Dan maafkanlah aku.
Salahkah ini Tuhanku? Karena aku tak kuat menahan rindu. O… Tuhan lihatlah! Matahari dan bulan silih berganti aku tak akan beranjak pergi. Aku akan selalu menyaksikan kejadian bergantinya matahari menjadi senja dan menuju malam, dan saat itu pula malam menjadi fajar, yang seakan kekal abadi, setia pada tugasnya.
Lihatlah Tuhanku dengan pandangan kasihMu. Aku terlanjur rindu! Dan maafkanlah aku.
Senja ini rinduku padamu ibu, yang begitu menggebu-ngebu. Aku rindu dengan dongeng sebelum tidur dari ibu, cerita-cerita yang memberikan semangat. Kini aku tersadar, cerita itu adalah nasihat-nasihat yang telah ibu kemas untuk bekal hidupku mencapai masa depan yang cerah sesuai dengan ajaran agama. Aku selalu berusaha siap menikmati kesendirianku bersama sepi, mungkin ini karena sudah terbiasa, jadi aku siap. Aku sendiri, memang sendiri.
Di beranda ini, aku leluasa melihat langit yang benar-benar luas tanpa batas. Terlihat anak-anak kecil yang begitu bebas bermain, berlarian, bersepeda, berhamburan di jalan. Ada juga yang di suapi ibunya dan di dorong di sepeda. Kadang rasa iri pada anak-anak itu, muncul dalam hati yang begitu aku rasa, hingga terkadang biur biur air mata begitu deras membasahi. Kehidupan itu tampak jelas karena kebetulan rumahku berada di lorong desa.
Waktu menggelar malam. Menenggelamkan matahari di tempat lain. Kunang-kunang berterbangan di bawah langit semesta. Membuat tiitik-titik cahaya di antara kegelapan. Udara dingin menyeruak, menyusup ke tulang sum-sum. Pandanganku tertuju pada langit-langit seakan ia menggambarkan wajah ibu. Aku teringat dongeng ibu pada aku dan kakak tentang seorang gadis yang lucu berumur 7 tahun yang selalu duduk di samping telaga menunggu datangnya pelangi ketika hujan turun hanya untuk kesenanganya yang tidak di dapat oleh seorang anak.
Di bawah langit berbintang dengan bulan yang pucat inilah aku berada malam ini. Seperti saat lalu, saat ini pun masih tampak gulana, Namun seperti biasa aku ingin berteriak memanggil nama ibu. Malam makin larut aku memutuskan membubarkan lamunanku untuk beristirahat setelah puas melihat ciptaanNya yang sungguh mempesona. Subahanallah…
Hening saja. Tak ada suara. Semua telah terlelap. Air mataku menetes saat menutup jendela kamar. Pus!! “Pelangi itu… iya pelangi itu…” mataku terbelalak melihat kenyataan yang ku temukan di hadapanku bulan dikelilingi pelangi. Senyumnya manis, Matanya terus menatap ke arahku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin diungkapkan lewat kedalaman senyuman itu. Aku mencoba mengumpulkan semua kesadaranku, lalu perlahan menuju jendela. Namun perlahan pula pelangi itu pergi bersama angin. “akan pergi kemana pelangi itu?” perikku dengan perlahan menutup pintu jendela. Aku tak terima! Kehilangan pelangi itu yang berulang membuatku rindu. Aku menangis dalam-dalam. Kutengelamkan kepalaku di atas bantal namun bayangan pelangi itu memasuki pikiranku seperti sebuah tanda yang diberikan kepadaku. Aku benar-benar menangis hingga tertidur. Saat terlelap pelangi itu masuk dalam mimpi yang mengisahkan kisah seorang anak yang duduk di telanga menemukan pelangi setelah hujan dan ia ingin mengambil tangga untuk menuju pelangi. sedang aku berlari menyisiri telaga.
Hening saja. Tak ada suara. Semua telah terlelap. Air mataku menetes saat menutup jendela kamar. Pus!! “Pelangi itu… iya pelangi itu…” mataku terbelalak melihat kenyataan yang ku temukan di hadapanku bulan dikelilingi pelangi. Senyumnya manis, Matanya terus menatap ke arahku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin diungkapkan lewat kedalaman senyuman itu. Aku mencoba mengumpulkan semua kesadaranku, lalu perlahan menuju jendela. Namun perlahan pula pelangi itu pergi bersama angin. “akan pergi kemana pelangi itu?” perikku dengan perlahan menutup pintu jendela. Aku tak terima! Kehilangan pelangi itu yang berulang membuatku rindu. Aku menangis dalam-dalam. Kutengelamkan kepalaku di atas bantal namun bayangan pelangi itu memasuki pikiranku seperti sebuah tanda yang diberikan kepadaku. Aku benar-benar menangis hingga tertidur. Saat terlelap pelangi itu masuk dalam mimpi yang mengisahkan kisah seorang anak yang duduk di telanga menemukan pelangi setelah hujan dan ia ingin mengambil tangga untuk menuju pelangi. sedang aku berlari menyisiri telaga.
Kokok ayam membangunkanku, aku menyakinkan diri bahwa apa yang aku lihat tadi malam hanyalah mimpi. Tapi tak bisa! Apa kiranya ini matahari tak menampakkan kehangantanya. Apa ini? yang disampaikan Tuhan, dan isi dari mimpi. Itu artinya Tuhan memberi kenikmatan yang berarti keriangan atas keikhlasan untuk anak kecil bersenang-senang. Pelangi ia pelangi setelah hujan!
Aku pikir dengan sela-sela jam yang berputar, silih bergantinya hari kiranya kebahagian anak-anak kecil aku berikan dengan cara membuat puding pelangi yang akan aku bagi-bagikan tanpa memungut biaya. Dengan berharap kebahagian segera tiba berjumpa dengan ibu, Senyum yang indah itu tersungging di bibir manisnya yang tercipta setelah hujan, yaitu pada lengkungan cakrawala.
Sudah 17 tahun ibu meninggalkan aku dan kakak karena menderita sakit katanya. Padahal aku tak pernah melihat ibu mengeluh, ibu yang aku lihat selalu sehat. Apa ibu hanya berpura-pura kuat pada aku? Aku tidak percaya bahwa kiranya ibu telah meninggalkan aku untuk selamanya. Namun perasaanku nyata ada yang hilang, hanya bulir air mata yang dapat aku jatuhkan, entah apa yang dapat aku perbuat. Hanya beberapa foto yang kini tampak di dinding. Foto ibu. Ya foto ibu masih terpasang.
Dalam rumah ini, kejadian waktu seperti terulang kembali. Oh… bayangan-bayangan ibu semakin dekat di wajahku. Di atas kepalaku banyak kunang-kunang yang mengelilingi, Ibu seperti bidadari. Ia cantik nan anggun. Ah, aku pun mencoba menangkapnya. Ah, percuma. Kini hilang.
“Ya tuhanku, bangunkanlah untuknya sebuah rumah di sisi-Mu…” kegetiran itu meremas kalbu.
Semuanya tinggal kenangan.
Kini aku mulai melangkah, Tuhanku. Jangan halangi aku, Aku akan tetap beriman pada-Mu. Aku tak akan melibatkan siapa pun untuk menghapus rinduku, rindu ini akan aku nikmati sendiri.
Tuhan tolong beri aku jalan, aku sudah tak kuat, Bara rindu menyala-nyala dan lama membakar hatiku.
Dalam rumah ini, kejadian waktu seperti terulang kembali. Oh… bayangan-bayangan ibu semakin dekat di wajahku. Di atas kepalaku banyak kunang-kunang yang mengelilingi, Ibu seperti bidadari. Ia cantik nan anggun. Ah, aku pun mencoba menangkapnya. Ah, percuma. Kini hilang.
“Ya tuhanku, bangunkanlah untuknya sebuah rumah di sisi-Mu…” kegetiran itu meremas kalbu.
Semuanya tinggal kenangan.
Kini aku mulai melangkah, Tuhanku. Jangan halangi aku, Aku akan tetap beriman pada-Mu. Aku tak akan melibatkan siapa pun untuk menghapus rinduku, rindu ini akan aku nikmati sendiri.
Tuhan tolong beri aku jalan, aku sudah tak kuat, Bara rindu menyala-nyala dan lama membakar hatiku.
Sore ini tak lagi cerah, Muram tak seperti biasanya. Kuajak anak-anak kecil bersepeda denganku, menyusuri sawah yang padinya menguning, keceriaan muncul di raut wajah anak-anak ketika rintik hujan membasahi tubuh, meski gemeteran namun tetap di terjang menyisiri sawah agar cepat sampai pada telaga setelah hujan reda.
Sementara ingatanku melayang-layang dan tak ada waktu untuk mengelak. Kami mengayuh sepedah dengan cepat hingga tepat di telaga hujan pun reda. Aneh… sungguh aneh… tepat pada rencana tak ada kata meleset. Ucapan syukur aku baca berkali-kali. Atas kebahagiaan yang telah Tuhan beri, Pelangi yang indah, Pelangi yang manis, Pelangi yang cantik, Pelangi yang memberikan kebahagiaan dan pelangi pelepas rindu.
Tuhanku, aku puas. Akhirnya rinduku terobati atas nikmat-Mu. Aku tersendu kaku, persendianku lemas, air mata bercucuran.
“Li… Li… lihatlah! Bayangan-bayangan indah di atas langit itu…” aku tergagap.
“Iya, Bayangan itu kenapa isty?” Tanya dhini dengan heran
“Di balik pelangi itu…”
“Iya… kenapa?” sahut dhini makin heran dan cemas menatap isty
“Di balik pelangi itu ada senyum ibuku pancaran dari urge, ia begitu manis senyum padaku, dan lihatlah secarik kertas yang aku genggam ini!”
“Ada apa dengan kertas itu?”
“Secarik kertas ini akan aku berikan kepada ibu lewat arus telaga ini”
“Apa maksudmu? Jangan terlalu menghayal, sadar isty…”
“Aku ingin ibu mengetahui bahwa aku rindu ibu dan sayang padanya” sahutku dengan nada tinggi.
Sementara ingatanku melayang-layang dan tak ada waktu untuk mengelak. Kami mengayuh sepedah dengan cepat hingga tepat di telaga hujan pun reda. Aneh… sungguh aneh… tepat pada rencana tak ada kata meleset. Ucapan syukur aku baca berkali-kali. Atas kebahagiaan yang telah Tuhan beri, Pelangi yang indah, Pelangi yang manis, Pelangi yang cantik, Pelangi yang memberikan kebahagiaan dan pelangi pelepas rindu.
Tuhanku, aku puas. Akhirnya rinduku terobati atas nikmat-Mu. Aku tersendu kaku, persendianku lemas, air mata bercucuran.
“Li… Li… lihatlah! Bayangan-bayangan indah di atas langit itu…” aku tergagap.
“Iya, Bayangan itu kenapa isty?” Tanya dhini dengan heran
“Di balik pelangi itu…”
“Iya… kenapa?” sahut dhini makin heran dan cemas menatap isty
“Di balik pelangi itu ada senyum ibuku pancaran dari urge, ia begitu manis senyum padaku, dan lihatlah secarik kertas yang aku genggam ini!”
“Ada apa dengan kertas itu?”
“Secarik kertas ini akan aku berikan kepada ibu lewat arus telaga ini”
“Apa maksudmu? Jangan terlalu menghayal, sadar isty…”
“Aku ingin ibu mengetahui bahwa aku rindu ibu dan sayang padanya” sahutku dengan nada tinggi.
Dengan linglung, dhini tergopoh-gopoh dan mengigil menarikku untuk segera pulang, sedang aku masih belum puas menyaksikan pelangi yang tak imbang dengan rasa rinduku yang membara-bara, akhirnya anak-anak dan dhini beranjak pulang sendiri, sedang aku tetap saja diam di samping telaga menikmati pelangi yang indah itu. Sebab esok, belum tentu aku dapat menghapus rinduku yang selalu menyala dalam tubuhku.
Merah kekuning-kuningan telah membawa pergi senyum manisnya, Aku tak lagi sendiri kini. Aku kira hari ini menyenangkan bagiku, karena aku sudah berada di tempat yang bagus. Dan kini aku tinggal menunggu nasib rinduku selanjutnya. Rinduku kini terjawab sudah. Menit-menit berlalu dengan penuh kebahagian.
Lima menit…
Empat menit…
Tiga menit…
Dua menit…
Satu menit…
Pelangi telah menghilang, hari menuju senja.
Empat menit…
Tiga menit…
Dua menit…
Satu menit…
Pelangi telah menghilang, hari menuju senja.
Aku akan segera memberitahukan pada kakak, kepada keluarga, dan terutama pada penduduk sekitar sini bahwa Hari ini ibu datang memenuhi kerinduanku… bersama cakrawala ciptaan Tuhan. Dengan tenang, aku menarik napas dan mengeluarkanya. “Tuhanku, maafkanlah aku! Dan terima kasih atas nikmat-Mu! Aku berteriak. Berharap udara menghantarkan suaraku. Aku menunggumu di batas senja”.
Cerpen Karangan: Alif Vidia Septiyani
0 komentar:
Posting Komentar