Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Ikhlas


Terdengar suara tawa, teriakan, bising, gaduh bahkan suara tv yang seolah dibiarkan menyala dengan volume yang besar. Mengganggu tidurku kala itu. Dengan pandangan yang masih kabur dan tubuh yang masih letih ku paksakan diri ini untuk segera bangun dari pulau kapuk. Ku kenakan kacamataku lalu ku matikan kipas angin yang masih berputar dan berdenyit di kamarku. Dengan sempoyongan aku mulai membuka pintu kamarku dan membiarkan kegaduhan yang terdengar itu ku lihat. Ternyata kegaduhan itu berasal dari teman-teman satu kampus sekaligus satu kontrakan denganku. “Eh bangun juga lu.” Saut salah seorang temanku yang bernama Agung begitu melihatku keluar dari kamar. Hari itu aku sedang tak ada kelas dan berniat untuk bermalas-malasan di kontrakan yang ku tinggali bersama teman-temanku ini tapi memang itu sih yang sering ku lakukan hehe. Mungkin memang bukan waktu ku untuk bermalas-malasan hari ini karena aku diajak oleh Agung untuk ke kampus yang ingin menghadiri rapat EO (Event Organizer) di kampusku. Awalnya aku menolak tapi karena bujuk rayunya aku pun mulai mandi dan mengikutinya ke kampus.
Oh iya, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Rio mahasiswa semester 3 di salah satu Universitas di Jakarta. Jurusan kuliah ku adalah Managemen Komunikasi oleh karena itu ada mata kuliah EO yang menjadi mata kuliah wajib untuk jurusan ku. Awalnya niat ku mengikuti Agung untuk menghadiri rapat EO tersebut adalah ingin lebih tau bagaimana mata kuliah itu berjalan. Wajar saja karena saat itu aku belum mengambil mata kuliah tersebut. Di sinilah awal cerita baruku dimulai. Saat aku bertemu dengannya. Seorang gadis yang berhasil mencuri hatiku. Namanya adalah Lita. Bertubuh kecil, berwajah putih, bersuara agak cempreng dan dia juga mengenakan hijab. Aku memang sangat suka melihat gadis yang mengenakan hijab di kepalanya karena buatku itu adalah tanda ketakwaannya pada Tuhan. Dia juga adalah orang yang smart. Dari mana ku tahu? Itu karena selama mengikuti rapat aku selalu memperhatikannya. Dari cara dia berbicara, cara dia mengeluarkan pendapat hingga cara dia memimpin rapat. Seorang perempuan menjabat sebagai ketua dan mampu memimpin jalannya rapat? Aku pikir dia lebih smart dari yang ku lihat saat itu. Ternyata ikut menghadiri rapat temanku ini bukan lah sebuah kesalahan karena aku bisa bertemu dengannya dan di sinilah pertama kali aku mengenalnya.
Tanpa disadari waktu terus berjalan, hari terus berganti dan pertemananku dengan Lita pun terus berlanjut. Hingga saat ini aku sudah memasuki semester 8 dan Lita sudah lulus lebih dulu. Bukan karena dia senior ku tapi karena dia yang menjalani kuliah dengan waktu cukup singkat yaitu 3,5 tahun. Masih terngiang di telingaku bagaimana suaranya saat dia tertawa. Masih terbayang di ingatanku bagaimana senyuman manisnya membuatku bersemangat untuk kuliah. Masih terlintas di benakku bagaimana cara dia berjalan. Semua ingatan itu masih tersusun rapi di dalam memori otakku ini walaupun aku harus bisa menerima kenyataan jika aku tak bisa memilikinya. Sudah hampir 2 tahun lebih aku mengenalnya dan sudah selama itu juga aku memendam rasa padanya. Entah apakah dia menyadarinya atau tidak? Apakah dia tahu jika aku selalu tersiksa ketika harus melihatnya tertawa karena pria lain? Apakah dia tahu jika dialah yang menjadi alasanku untuk rajin kuliah? Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Masih teringat di benakku saat aku harus mengantarkannya pagi-pagi buta ke stasiun. Kala itu dia meminta kepada teman-temanku untuk mengantarkannya ke stasiun pagi sekali tapi tidak ada yang bisa. Aku pun menawarkan diriku untuk mengantarnya walaupun ku tahu dia tak pernah meminta langsung padaku. Kala itu aku hanya ingin merasakan waktu berdua dengannya walaupun ku tahu dia akan pergi ke Semarang untuk berjumpa dengan kekasihnya. Menikmati soto bersama dengannya sembari menunggu kereta tiba. Hingga mengantarkannya sampai ke depan pintu kereta. Dan aku harus telat masuk kuliah pagi karena harus mengantarkan Lita ke stasiun. Itu semata-mata karena aku menyimpan rasa padanya.
Tapi bagaimanapun aku harus tetap menerima kebenaran jika aku tak pernah bisa memilikinya. Aku harus menerima takdirku karena harus melihatnya bahagia bersama orang lain. Aku harus bisa menahan rasa sakit ini ketika tahu aku bukanlah pria yang beruntung untuk memilikinya. Mungkin ini konsekuensi yang harus ku terima karena aku yang tak pernah berani menyatakan cinta. Ini adalah sesuatu yang kudapat dari apa yang selama ini hanya bisa ku pendam. Sebuah rasa cinta yang sederhana namun menyakitkan ketika cinta itu harus dipendam dalam-dalam selamanya. Tapi ini adalah jalan takdir yang ku pilih sendiri, jalan takdir yang harus ku lalui. Tak pernah luput dari mulutku tiap aku mengucap do’a pada Tuhanku untuk kebahagianmu. Tak pernah lupa aku selalu menyebut namamu di tiap aku meminta perlindungan pada Tuhanku. Ya Tuhan, jika memang ini yang terbaik dari apa yang ku dapat, jika ini memang jalanmu untuk kebahagian ku dan kebahagiaannya dan jika ini adalah jalan yang bisa membuatnya selalu tersenyum maka aku ikhlas ya Tuhan. Aku ikhlas.
Cerpen Karangan: Rahardian Shandy

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar