Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Pesan Terakhir


Buat Sahabatku… mungkin ini surat terakhir buatmu. Aku berharap ditemukan olehmu di saat aku masih bernafas. Aku hanya bisa mengutarakan perasaanku lewat surat ini. Bertahun-tahun perasaan ini ku pendam, bukan karena tidak berani tapi aku takut kejujuranku membuat persahabatan kita rusak. Banyak cara yang kulakukan untuk melupakanmu tapi semuanya percuma karena sampai kapan pun hati ini hanya mencintaimu icha. Yang aku sesalkan mengapa kamu harus membuat perjanjian dalam persahabatan kita? hal itu bisa membuatku mati perlahan-lahan karena harus memendam perasaan ini untuk selamanya. Surat ini sengaja kutulis sebagai pesan terakhir untuk sahabat sekaligus orang yang paling kucintai. Karena dokter sudah memfonis umurku sudah tidak lama lagi. Icha… seandainya kamu tau perasaan yang selama ini kurasakan, ingin rasanya dicintai olehmu walau hanya 1 hari. Ya Allah jika ini adalah hari terakhirku, ku ingin…
Itulah isi sepucuk surat berwarna hijau yang icha temukan di dalam kamar reza saat icha ke rumah reza karena mendapat kabar dari tante nadia bahwa reza drop dan hendak di bawa ke rumah sakit. Icha masih tak percaya dengan isi surat yang barusan dia baca. Makna di balik surat itu begitu dalam merasuk kalbu icha sampai-sampai buliran air mata icha menetes membasahi surat itu. Dering handphone icha yang dari tadi terus berbunyi tak ia hiraukan, icha masih tetap saja menatap dalam-dalam isi surat tersebut. Icha baru sadar, tujuan awalnya ia ke rumah reza. Dengan terburu-buru icha pun berlari dan mengendarai motor maticnya dengan kecepatan tinggi.
“Icha… dari mana saja? berulang-ulang di telepon tapi ngak di angkat, sms juga ngak di balas”. ucap mitha sambil marah-marah pada ich. Tanpa membalas pertanyaan mitha, icha pun berlari menuju ruangan dimana Reza di rawat sekarang. Perlahan icha buka pintu ruangan itu dan berharap ketika dia sampai di dalam ia melihat senyuman manis dari mulut reza. semakin mendekat semakin sakit hati icha melihat sahabat yang ia sayangi terbaring lemah tak berdaya.
“Rez… bangun rez, aku ngak mau kehilangan sahabat sekaligus orang yang paling aku sayangi” ucap icha yang sedang menitikan air mata sambil memegang erat tangan reza. “icha… apa kami ngak salah dengar?” ucap mitha, yoga dan firman bersamaan. “Kalian semua ngak salah dengar kok, aku memang seorang sahabat yang mencintai sahabatku sendiri yaitu reza” jawab icha dengan meyakinkan sahabat-sahabatnya.
Reza tiba-tiba sadar dan menggenggam balik tangan “icha. Ca… apa kamu benar sayang sama aku?”. “iya rez…jujur sudah lama aku suka sama kamu, tapi aku malu untuk melanggar perjanjian yang kubuat sendiri dalam persahabatan kita”. jawab icha sambil meyakinkan reza dan sahabatnya yang lain. “Rez… aku ingin melewati hari ini berdua denganmu sebagai sahabat dan orang yang paling kucintai”. Reza yang kondisinya lemah tiba-tiba bangkit dari tempat tidurnya dan mengiyakan permintaan icha. Dengan izin dokter, icha pun membawa reza ke taman belakang rumah sakit sambil mendorong kursi roda yang di pakai reza. Di taman belakang itu, reza dan icha saling jujur dan mengungkapkan perasaannya masing-masing.
“Aduh… kok mereka berdua lama sekali sih di taman belakang?” ucap mitha khawatir. Tiba-tiba icha muncul sambil mendorong kursi roda yang di pakai oleh reza, setelah dua jam ia menghabiskan waktunya berdua di taman belakang rumah sakit. “kami senang melihat kondisimu sekarang yang makin membaik za, padahal tadi kami khawatir banget” , ucap ketiga sahabatnya yang dari tadi mencemaskannya.
Satu jam kemudian setelah reza mengutarakan perasaannya pada icha, reza pun menghembuskan nafas terakhirnya. Icha dan ketiga sahabatnya yang masih setia menunggu di rumah sakit, masih tidak percaya dengan kepergian reza yang begitu cepat. Masih terlintas di benak mereka senyum dan semangat reza karena cintanya di terima oleh icha yang merupakan sahabatnya sendiri. Kepergian reza, meninggalkan luka dalam buat ke empat sahabatnya itu.
Ke esokan harinya setelah pemakaman reza, icha menelpon mitha dan menyuruhnya untuk mengabari yoga dan firman berkumpul di rumah reza secepatnya. Icha menyuruh sahabatnya berkumpul karena ada hal penting yang ingin icha sampaikan kepada mereka semua.
Setelah ketiga sahabatnya berkumpul, icha kemudian mengajaknya masuk ke kamar Almarhum reza. Di dalam kamar tersebut icha menunjukkan sepucuk surat berwarna hijau yang terletak di atas meja. Tanpa pikir panjang mitha pun mengambil sepucuk surat itu dan membacanya bersama yoga dan firman.
“Jadi karena surat ini kamu menerima cintanya reza ya cha?” Tanya mitha spontan setelah membaca isi surat itu. “Bukan mit, sebenarnya dari dulu aku sudah mencintai reza tapi karena aku yang membuat perjanjian bahwa dalam persahabatan kita tidak boleh suka sama sahabat sendiri. Maka dari itu aku memendam perasaan ini dan mencoba mengubur perasaanku dengan jalan pacaran sama deni”.
“Tapi aku bersyukur berkat surat itu aku tau perasaan reza yang sebenarnya dan ternyata dia juga punya perasaan yang sama kepadaku. Yang aku sesalkan, mengapa aku terlambat membahagiakan sahabatku sekaligus orang yang paling aku sayangi di detik-detik terakhir sisa hidupnya”. Jawab icha panjang lebar sambil mengutarakan isi hatinya. “Kamu ngak salah kok cha, reza memang orangnya agak tertutup. Kita saja sahabatnya baru tau kalau dia mengidap penyakit Leukimia” ucap yoga dengan bijak.
Percakapan mereka berempat pun berakhir ketika firman dan yoga pamit pulang pada tante nadia karena harus latihan band di kampus. Mitha dan icha pun menyusul pamit karena ada urusan masing-masing yang harus diselesaikan. Semenjak percakapan mereka berempat di kamar Alm. Reza, sejak itu pula perjanjian yang sempat icha buat dalam ikatan persahabatannya pun icha batalkan. Icha tidak mau gara-gara perjanjian itu membuat kebebasan dalam persahabatannya terhalang seperti yang dialaminya bersama reza.
Cerpen Karangan: Damayanti Childiesh

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar