Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Aku, Kamu Sahabat


Kulihat, masih tetap kulihat. Tak akan pernah bosan diri ini menatap sesosok gadis di hadapanku. Ia tetap cantik meski kini ia tengah terbaring lemah dengan wajahnya yang pucat pasi. Dalam ketidak sadarannya kuharap ada seseorang yang akan membangunkannya dari tidur panjangnya. Siapapun orangnya, entah dia pangeran ataukah raja. Jika memang bisa, kumohon tolong bangunkan puteri ini. Namun sayang, ini bukanlah dongeng puteri tidur yang terbangun dengan sebuah ciuman tulus dari pangeran. Ini kehidupan nyata dimana semua berbeda tak akan selalu seperti apa yang kita inginkan. Tapi apapun itu, Tuhan selalu punya rencana baik untuk kita.
“aku merindukanmu” mungkin sudah ribuan kali kuucapkan kalimat itu, dan aku yakin dia mendengarnya walau tubuhnya tak bergerak sedikit pun. Aku memang benar-benar merindukannya, sungguh sangat merindukannya.
22 Oktober 2007
Karunia tuhan begitu deras jatuh dari langit ke bumi menahan laju kuda besiku, yang memaksaku membelokannya ke sebuah warung sederhana, yang sore itu menjadi tempat favorit orang-orang. Warung yang biasanya kulihat sepi kini ramai dengan para kaum adam dan hawa. “ini memang karunia Tuhan” gumamku dalam hati.
Hujan semakin deras, namun aku tak boleh mengeluh, karena aku mencoba untuk tidak menjadi orang yang kufur akan nikmat-Nya. Selalu ku kuatkan hati ini untuk selalu berhusnudzon kepada-Nya. Walau dari tadi syetan tak henti-hentinya mengatakan “it’s a bad day!” sebuah kalimat yang mencoba menggoyahkan imanku.
Plak!!! Seseorang menepak punggungku, tidak sakit namun cukup untuk mengagetkanku. “hey” ia memanggilku. Suara itu? suara yang begitu akrab di telingaku, suara halus nan merdu yang hilang sejak 16 bulan yang lalu. Suara yang terakhir kudengar saat perpisahan SMP dulu. “Apakah dia?” ucapku dalam hati. Ku putar tubuhku 180 derajat, dan kulihat ternyata memang dia “eh elo?” jawabku dengan senyum.
Gadis berkerudung, berwajah cantik berkulit putih. Gadis dengan lesung pipit manis di wajahnya. Gadis periang, menyenangkan sekaligus menyebalkan. Gadis yang super cerewet, keras kepala dan selalu mau menang sendiri namun pintar.
Dialah Elza, tepatnya Elza Dwi Febrian sahabat dekat sekaligus rivalku sewaktu SMP dulu. Tak disangka tak diduga kami berdua bisa berjumpa kembali setelah beberapa bulan terpisah karena kami melanjutkan sekolah ke sekolah yang berbeda. Dia masuk SMK dan aku masuk sekolah Negeri. Sungguh sangat kebetulan kami berjumpa, tapi ya menurutku ini bukan kebetulan, tapi memang ini sudah ditakdirkan tentunya.
“gimana kabar lo?”
“baik”
Perbincangan pun berlanjut sore itu. Di bawah dekapan derasnya hujan yang membasahi bumi, ku habiskan waktu sore itu dengan Elza sekedar bercerita mengenang kisah nostalgia kami berdua dulu, sampai tak terasa langit mulai gelap dan hujan pun mulai reda.
Aku pun pamit pulang padanya dengan membawa selembar kertas di genggamanku, sebuah kertas bekas berisikan nomor hp Elza yang ia sempat tuliskan untukku saat kami berbincang-bincang tadi.
“dadaaah” pamitku padanya dan ia membalas dengan senyumannya yang khas itu.
11 Maret 2008
“tiiit, tiiit, tiiitt”
Hp milikku berbunyi keras membangunkan tidur siangku, hp jadul dengan merek Motorola yang selalu kutaruh di samping kepalaku saat aku tidur. Ku ambil dan kubuka pesan yang masuk dengan mata yang masih agak berat untuk dibuka.
From: Elza
0812214xxxxx
Jam 3 Jangan lupa tempat biasa, aku tunggu
Beginilah semenjak pertemuan ku dengan Elza. Aku menemukan kembali seniman yang pandai melukis hati ini. Melukis kisah baru dalam buku yang lama. Kisah persahabatanku dengannya menemui kelanjutannya.
Sekitar pukul 15.00 WIB aku sampai di taman tempat dimana sering kami habiskan waktu berdua. Sebenarnya itu bukanlah sebuah taman melainkan lebih mirip sebuah kebun yang di hiasi banyaknya bunga mawar yang tumbuh disana.
Kulirik jam tangan kulitku, waktu menunjukan pukul 15:05 namun tak kunjung jua kulihat sosok yang kutunggu. Tak biasanya dia terlambat seperti ini. Apalagi dia yang membuat janji.
Sembari menunggu, ku berjalan menuju sebuah pohon besar yang tak begitu jauh, entah pohon apa namanya, Elza bilang itu adalah pohon Mahoni yang ditanam kakeknya dulu. Cikal bakal tempat yang akan selalu aku kunjungi setiap bulannya terutama pada awal ramadhan dan idul fitri. Kupandangi tulisan pada pohon itu “aku kamu sahabat”. Kami menulisnya sekitar 4 tahun yang lalu saat pertama kalinya aku main ke Istana miliknya yang akhir-akhir ini sering aku kunjungi, terutama pada akhir pekan sekedar untuk bersilaturahmi dengan keluarga besarnya. Dia membawaku ke tempat ini waktu itu, menunjukan makam kakek dan neneknya yang terletak sekitar 20 meter ke arah selatan dari pohon itu.
Sudah tiga puluh menit berlalu dia tak juga datang, hatiku mulai kesal, namun aku berusaha tetap sabar menunggunya
Empat puluh menit, Lima puluh menit, hampir satu jam aku menunggunya, dia masih belum hadir disini. Baiklah kuberi waktu lima menit lagi.
Lima menit pun berlalu, dengan hati yang kesal kulangkahkan kakiku untuk pulang.
“heeeyyy tunggguuu” suara itu menghentikanku. Suara yang begitu akrab di telingaku namun terdengar lemah. Suara Elza. Aku berbalik, kulihat seuatas senyum tersimpul di wajah Elza yang pucat. Ia berlari ke arahku dan tiba-tiba ia memelukku dengan erat. Seumur hidupku baru kali ini aku dipeluknya.
“ma…ma…maafin aku?” ia menangis sejadi-jadinya “kamu pasti marah kan sama aku?” “Please maafin aku?”
Kurasakan butiran air mata hangat basahi bajuku, ku hanya terdiam mematung keheranan. Seorang Elza yang periang menangis di pelukanku. Kenapa dengannya? Tak biasanya ia seperti ini? Apa ia ada masalah?
“Nggak za… gak apa-apa” “nggak ada yang perlu di maafin”
ku tarik tubuhnya dari dekapanku, dan ku usap air mata yang mengalir dari pelupuk matanya kurasakan dingin saat ku sentuh pipinya.
“emang kamu kemana dulu za?”
“emmm… anuu… tt.ttadiii…”
“tadi kenapa?” potongku sambil kutarik duduk di bangku tempat kami biasa duduk disana.
“tt…ttadiii…”
“ya udah kalo gak mau di omongin gak apa-apa, yang penting sekarang kamu udah ada disini” kembali kupotong karena aku sungguh tak tega melihat wajahnya yang sedih.
Tak ada banyak canda seperti biasanya yang kami lakukan. Hari ini memang serasa berbeda. Dia hanya diam dan terus bersandar di pundaku. Ingin kutanyakan akan hal itu namun sekali lagi aku tak tega melihatnya yang begitu nyaman bersandar di bahuku.
“udah berapa lama kita jadi sahabat?”
Sebuah pertanyaan yang membuyarkan lamunanku tentangnya.
“sekitar 4 tahunan za, emangnya kenapa?”
“kamu mau berjanji satu hal gak sama aku?”
“boleh… apa sih yang nggak buat kamu”
“iiihhh.. aku serius.”
“iyaa.. aku juga serius, dua rius malah”
“kamu harus janji kalo kamu akan selalu menjadi sahabat terbaikku”
Pinta za padaku dengan menyodorkan jari kelingkingya.
“iyaaa… aku janji deh, aku bakalan selalu jadi sahabat terbaikmu”
meskipun dalam hatiku, aku mengharapkan hubungan yang lebih daripada sahabat. Dan Kukaitkan kelingkingku pada kelingkingnya.
“Makaciihhh” ucap dia dengan suaranya yang manja di hiasi senyuman lesung pipitnya yang begitu manis
Waktu menunjukan pukul 17:25 kami pun akhiri pertemuan hari ini, tak lupa kuantarkan dia pulang ke rumahnya. Sesampai di rumahnya dia memberikanku sebuah kado yang isinya gantungan kunci berwarna pelangi bertuliskan “Happy birthday”. Gadis ini masih saja ingat ulang tahunku, padahal aku sendiri lupa akan ulang tahunku.
13 juli 2008
“kamu sayang gak sama aku?”
Tanya dia padaku tiba-tiba. Entah apa maksud dari kata sayang itu, sayang sebagai sahabat atau apa.
“ya… Sayang lah” jawab aku singkat sembari mengambil kue nastar buatan tante Sarah mamanya Elza. Kue yang selalu tersaji di hadapanku setiap kali aku bermain ke rumahnya Elza.
Tak lama kemudian dia bersandar di bahu kiriku, kedua tangannya menggenggam erat tangan kiriku.
“jangan sedih ya.. kamu harus kuat, tegar dan ikhlas. Jangan mudah di permainkan perasaan, apabila cintamu hilang akan ada jutaan cinta lainnya yang datang”
Aku hanya diam seribu bahasa mendengar perkataan itu dari mulutnya. Entah mengapa ia mengatakan hal seperti itu. Sungguh sangat aneh. Apa dia punya kekasih?, apa dia tahu kalau aku mencintainya sehingga ia mengatakan hal itu agar aku tahu bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan?, atau apa?
Kulepaskan genggaman tangannya yang hangat itu, ku bangunkan dia dari sandarannya, ku pegang kedua pundaknya dan ku tatap kedua bola matanya dalam-dalam.
“lo ngomong apa sih gue gak ngerti?” ia hanya membalasnya dengan senyuman. Ya… senyuman itu, senyuman yang akhir-akhir ini sering kulihat. Senyuman yang berbeda dari senyum-senyumnya yang biasanya.
24 Agustus 2008
Hari-hariku berubah 180 derajat. Kini hari-hariku di selimuti dengan kebosanan. Tiada semangat untuk jalani hari. Sebulan lebih aku hidup seperti ini semenjak hari itu. Hari dimana aku kehilangan sahabatku. Seperti ditelan bumi dia hilang tanpa kabar. Rindu bercampur kekesalan kurasakan padanya. Beribu pesan kukirimkan padanya lewat sebuah sms, namun tiada balasan darinya. Hingga yang terakhir pesan yang kukirim seminggu lalu, sebagai puncak kekesalanku, ku maki dia dalam pesan itu.
Sering ku pergi mengunjungi rumahnya, sekedar mencari tahu kabarnya. namun sayang, selalu saja tak ada siapapun disana, kutanya tetangganya namun tiada yang tahu kemana keluarga Pak Mahmud itu pergi. Kemana mereka?. Apa mereka pindah? Mungkin ini jawaban perkataannya waktu itu. Tapi apa benar ia setega itu meninggalkanku tanpa mengucapkan pamit terlebih dahulu. Teman macam apa dia. Sebegitu sulitnya kah hanya untuk berpamitan.
Sampai pada akhirnya datang seorang gadis mencariku ke sekolah. Gadis itu menungguku sejak 30 menit yang lalu di warung tempat biasanya aku menghabiskan waktu sebentar dengan teman-temanku sebelum aku beranjak pulang.
Gadis itu berdiri dari tempat duduknya menghampiriku langsung saat melihatku keluar dari sekolah. Aku kaget melihatnya, kesal dan senang pula melihat gadis itu. Dia adalah Lyra, seorang gadis berkulit putih dengan rambutnya yang lurus sebahu, dia adalah siswi SMP berusia 14 tahun, dia adiknya Elza.
“Lyra..?” “kemana aja kalian?” “aku cari…”
“kaaakk…” ia memotong pertanyaanku dengan nada yang agak tinggi. Dan sontak aku pun terdiam.
“iya kak entar aku jelasin.. sekarang kakak ikut lyra” suaranya begitu pelan terdengar
“kemana?” tanyaku heran
“nanti juga kakak bakalan tahu..”
Akhirnya akupun ikut dengan lyra menaiki mobil toyota hitam entah milik siapa, karena setahuku keluarga Elza tidak mempunyai kendaraan berupa mobil. Dengan ribuan tanda tanya di kepalaku, aku mencoba untuk tetap tenang dan seperti kata lyra, nanti juga aku akan tahu.
Entah karena cape atau karena kebingungan ini aku pun terlelap di dalam mobil. Sampai akhirnya lyra membangunkanku karena kami sudah sampai tujuan. Entah berapa lama aku tidur aku tidak peduli yang jelas aku ingin segera tahu sebenarnya apa yang terjadi. Kami tiba disebuah rumah sakit. Ya.. rumah sakit Hasan Sadikin. Tanya dalam pikirku, siapa yang sakit? Apakah…? Ah tak mungkin. Perasaan tak enak menghampiriku. Namun aku coba tuk mengacuhkannya
Kami pun menuju sebuah ruangan namun seseorang yang sudah agak tua menahan kami agar kami tidak dulu memasuki ruangan tersebut. Dia adalah pak Mahmud, ayahnya Elza dan Lyra. Wajahnya begitu khawatir seperti orang yang mendapat kartu jelek ketika berjudi. Pak Mahmud mengatakan bahwa di dalam masih ada dokter yang sedang memeriksa.
Tak lama kemudian dokter pun keluar dan mempersilahkan masuk bagi yang mau besuk maksimal dua orang. Saat itu aku dan lyra yang masuk. Kaget bukan main saat kulihat sosok yang terbaring itu. Seakan aku tidak percaya dia adalah Elza sahabatku. Kenapa ia bias seperti ini. Dengan segera aku menghamprinya, ku pegang tanganya dan ku elus dahinya.
Ku tatap lyra “kak Elza sakit apa?” tanyaku padanya. Namun lyra hanya diam. Lyra hanya memberikanku sebuah buku yang dia ambil dari tas hitamnya itu, sebuah buku berwarna biru dengan poto aku dan Elza di depan jilidnya yang di atasnya bertuliskan Diary.
“aku tak sangup mengatakan yang sebenarnya, sebaiknya kakak baca diary itu dan kakak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kak Elza” ucap Lyra padaku
Tak lama Tante Tuti dan Ibunya Elza masuk. Aku dan Lyra keluar agar bisa bergantian menjenguk Elza.
Di luar aku duduk bersama Lyra dan keluarga besarnya yang lain. Dan mulai kubuka lembaran buku diarinya Elza. Mataku mulai panas menahan air mata saat kubaca lembar demi lembar yang hampir 75 persen berisi semua kenangan aku dengannya. Sampai akhirnya aku sampai pada halaman dimana air mataku tidak bisa kutahan dan kusembunyikan dari keluarga besar Elza. Air mataku deras meluncur ke pipiku. Rasanya seperti mimpi buruk saja Elza mengidap penyakit kanker otak stadium akhir dan dokter memvonis umurnya tidak lama lagi. Langsung kututup buku itu, tak sanggup untuk ku teruskan membacanya
Lyra memegang pundakku mengisyaratkan agar aku harus tetap tabah.
“sebenarnya kak Elza melarangku memberitahu kakak” “emm… ia terlalu takut kalau kakak akan sedih” “Mungkin aku sudah melanggar janjiku pada kak Elza, tapi bagaimanapun juga kakak harus tahu, karena kakak adalah sahabat terdekatnya kak Elza.” Perkataan lyra itu semakin membuatku sedih. Apa benar ini terjadi pada sahabatku Elza? Gadis yang selalu Nampak ceria dihadapanku.
Kuputuskan malam ini untuk menginap disini. Ku kabari keluargaku kalau aku tidak akan pulang hari ini.
Kulihat lagi wajah itu. Namun tak ada senyuman yang biasa kulihat. Sebagai sahabat dekatnya aku merasa kecewa dengan diriku sendiri yang tidak pernah tahu akan hal ini. Bahkan aku menuduhnya tak setia saat ia menghilang. Tanpa kutahu dia sedang berjuang dari komanya.
Kenapa Tuhan? kenapa bukan aku saja yang terbaring disana? kenapa mesti dia? Aku tahu Kaulah pemliknya. Tapi apa harus sekarang kau mengambilnya? Aku tahu ini takdirMu tapi tak bisakah Kau rubah takdirMu ini? Ingin sekali aku marah padaMu Tuhan. Namun apa daya aku terlahir sebagai hambaMu. Mana mungkin aku bisa mencaciMu.
Waktu menunjukan jam sebelas malam aku dan tante Sarah masih tetap terjaga melihat sang putri tidur ini. Suasana yang begitu hening. Hanya suara pendeteksi jantung yang terdengar ramaikan suasana. kembali kupegang tangannya. Berharap dia segera sadar dari tidur panjangnya. Tanpa kusadari aku pun kembali meneteskan air mata.
“za ayo bangun za!! Tidur kok kaya kebo. Cepetan za kita pergi ke tempat biasa za.. kamu janjikan mau ngajarin aku bahasa inggris, za… ayo doong jangan ngerjain aku kayak gini.. gak enak tahu..” tetap saja tak ada jawaban darinya.
25 Agustus 2008
Suara adzan shubuh berkumandang. Begitu indahnya terdengar. Lebih indah dari melodi-melodi yang dimainkan oleh para gitaris terkenal di dunia. Kusempatkan membasuh diri dengan tetesan air wudhu. Ku berjalan menuju rumahNya. Kan ku adukan semuanya yang kurasakan dalam untaian do’a yang kupanjatkan setelah kulaksanakan perintahNya. Berharap ada keajaiban yang terjadi hari ini.
Tenang rasanya setelah kuadukan semuanya. Kembali kulangkahkan kakiku menuju ke ruangan itu. Terdengar suara gemuruh langkah kaki dari belakangku. Kutengok dan kulihat beberapa perawat berjalan tergesa-gesa. Mereka brjalan mendahuluiku. Kenapa mereka? Terus saja kulihat mereka yang ternyata menuju ke sebuah ruangan. “Astaghfirullahalladzim” itu ruangannya Elza
Tanpa pikir panjang aku berlari mengikuti mereka. Sampailah aku disana.
“ada apa Tante?” tanyaku pada ibu Elza.
“dokter sedang memeriksanya” ucap ibu Elza. Walaupun kutahu ibu Elza membohongiku agar aku tidak terlalu khawatir. Tapi mana mungkin aku tidak khawatir sementara kulihat raut wajah semua keluarga besar Elza Nampak panik.
Hatiku mulai cemas. Ku berdo’a, bukan hanya aku tapi semuanya yang ada disana berdo’a dan berharap semua akan baik-baik saja.
Dokter pun keluar dari ruangan tersebut. Seperti halnya di film sinetron ketika dokter ditanya, ia hanya menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. Kami tahu apa artinya. Sontak aku dan Lyra berlari ke dalam.
Langkah kami terhenti saat dua orang perawat menahan kami, kami lihat suster di sebelah sana tengah mencabut dan membereskan infuse yag terpasang di lengan Elza.
Ya… aku tahu betul apa yang sedang terjadi saat ini. Inikah jawaban do’a ku Tuhan? Sebegitu hinakah diriku dihadapanMu sehingga Kau tak mengabulkan do’aku? Jika ini hanya mimpi, kumohon cepat bangunkan aku!
Ingin ku segera menghampiri sahabatku, ingin kugenggam tangannya, ingin kupeluk tubuhnya, namun apa daya dua orang perawat sialan ini menghalangiku.
Lyra menangis keras, ia memelukku erat. Air matanya membasahi bajuku. Aku tahu apa yang Lyra rasakan. Namun apa yang harus aku katakan pada Lyra untuk menghentikan tangisannya sedangkan aku sendiri tak bisa menahan tetesan air mataku sendiri yang mengalir tanpa komando. Aku terdiam seribu bahasa, ludahku terasa pahit, tenggorokanku kering. Potongan-potongan episode saat aku bersama dia bermain dalam memoriku. Bagai film yang tengah diputar pada layar besar, begitu cepat. Gambaran kebersamaanku dengan Elza teramat jelas terlihat dalam anganku. Haruskah semua kenangan indah itu berakhir sampai disini? Ingin sekali ku berteriak sekencang-kencangnya namun aku tetap berusaha tabah, seperti yang dikatakannya aku harus kuat, aku harus ikhlas walau tak dapat kupungkiri hati ini begitu pedih kehilangannya.
7 Juli 2013
Entah sudah berapa lama aku disini. Memandangi pohon besar ini. Pohon tua besar yang menjadi saksi persahabatanku dengannya. Pandanganku tak luput dari tulisan di pohon itu. Tulisan yang masih ada karena sering kuperjelas tulisannya setiap kali ku datang ke tempat ini.
Ku arahkan langkahku menuju selatan, dimana terdapat 3 makam yang salah satunya makam dia sahabatku, berjejer rapi dengan dua makam lainnya milik kakek dan neneknya. Selalu kupanjatkan do’a disini setiap bulannya sebagai permintaan maafku padanya yang belum sempat aku sampaikan semasa hidupnya dulu.
“rajin banget kak kesini?” suara itu mengagetkanku, suara lembut yang asing di telingaku. Kulirik orang itu, “Subhanallah” wajah itu… begitu miripnya.
“lyra?”
Cerpen Karangan: Yudha Yusuf Sani

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar