Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Elegi Senja


Di setiap kali senja tiba, aku dan Nabila terbiasa berjalan bersama di sepanjang pantai, bergandengan tangan di antara debur ombak, pasir putih yang basah, dan siluet senja yang mulai menguning di ujung laut sana. Rambutnya yang tergerai indah, sesekali ia kibaskan bersama hembusan angin pantai yang dingin, menambah keindahan suasana saat itu.
Pada saat-saat tertentu, ia memintaku untuk sejenak berhenti melepas lelah dan mulai merengek memohon padaku untuk membuatkan istana pasir untuknya. Lalu ia akan melonjak mengucapkan terima kasih, memeluk dan menciumiku dengan kegirangan saat istana pasirnya telah utuh kurampungkan. Dan ketika ia sudah lelah melompat-lompat, ia duduk menyelonjorkan kakinya ke arah pantai untuk sekedar melepas lelah, kemudian memintaku menemaninya untuk menyakiskan sunset bersama.
“Coba kau lihat sunset itu, Nabila, menakjubkan, bukan?”
Ia terdiam, tertunduk.
“Sudahlah, tak usah kau memejamkan mata, Nabila, apakah semua itu tak cukup indah untukmu?”
Terisak.
“Mengapa kau menangis, Nabila? Maafkan aku Nabila, maafkan aku. Sini, biar kuseka air matamu.”
Perlahan kuambil kepalanya, menyandarkannya ke pundak kiriku.
“Mengapa kau menangis, Nabila? Apakah ada kata-kataku yang menyinggung perasaanmu? Atau istana pasir yang kubuatkan terlalu jelek bagimu?”
Ia menggeleng.
“Lalu mengapa kau menangis, Nabila? Oh ya, atau mungkin karena pertemuan kita yang hanya di setiap kali senja saja? Ya, hal itu juga membuatku risih, Nabila. Kau tahu mengapa? Karena aku tak bisa menemanimu sepenuhnya, di setiap waktu yang kau miliki.”
Ia kembali terisak.
“Lho, kok kamu menangis lagi, Nabila? Ada apa sebenarnya Nabila? Sudah, sini, biar kuseka lagi air matamu. Sudahilah tangisanmu itu, Nabila, karena dengan begitu kau juga membuatku sedih. Sudah, sudah, ayo sini..….”
Perlahan kuambil kepalanya, menyandarkannya kembali ke pundak kiriku. Isaknya begitu jelas kudengar di antara gemuruh ombak yang saling bersahutan. Mata indahnya masih tetap mengucurkan air mata meski telah berulang kali kuseka.
“Tidak Rolland, tidak! Tidak ada sedikit pun perkataanmu yang menyinggung perasaanku. Hanya saja, aku begitu kasihan pada dirimu, Rolland, sebab sudah tak terhitung pengorbananmu menemaniku yang hanya tinggal bayang-bayang semu ini di setiap kali senja tiba.”
Aku tertunduk, diam tanpa kata.
“Ya, kau harus sadari itu, Rolland. Kau harus sadari bahwa aku ini hanya bayangan semu saja, hanya siluet yang akan segera tenggelam bersama sunset itu, Rolland.”
Ada yang sakit di dadaku.
“Bukan maksudku untuk mengungkit-ungkit semua ini, namun begitulah kenyataannya, Rolland. Ketika senja telah lenyap, aku juga akan segera menghilang, sedangkan kau tetap diam sendiri di sini, memeluk lutut dan menangis sendu hingga separuh malam menggerogoti hari, kemudian kau pulang dengan penuh penyesalan dengan mata nanar, sembab oleh air mata. Bukankah begitu yang selama ini kau lakukan, Rolland?”
Ada yang menetes perlahan.
“Oh, tidak! Matamu nanar, maafkan aku, Rolland, maafkan aku, bukan maksudku menyakitimu…”
Ia memelukku dari samping, kurasakan hangat badannya menyatu bersama badanku dan hembusan nafasnya menghangati sekitar leherku. Benar-benar nyata semua ini, namun mungkinkah semua ini hanya kesemuan rotasi mimpi saja?
“Sudahlah, ayo kita nikmati saja pertemuan semu kita kali ini, Rolland.”
Ia menarik lenganku, menyuruhku berdiri untuk melanjutkan perjalanan menyisir pantai sejauh mungkin sampai matahari hendak terbenam.
Di sepanjang perjalanan, aku tak pernah mengeluh jika disuruhnya tertawa, melompat, bahkan berteriak tak keruan ke arah mentari yang akan segera tenggelam. Lalu perlahan aku akan ambil ponsel dalam saku celana untuk mengabadikan semua itu, saat dirinya tersenyum, manyun dan melonjak kegirangan di antara pasir putih dan gemuruh ombak yang terus saja bersahutan. Terkadang, aku dan dia bersama membelakangi sunset dengan pipi yang bersentuhan sembari berteriak “ciezs” penuh kebersamaan, yang kemudian kuabadikan lewat jepretan-jepretan kamera ponselku.
Dan ketika matahari nyaris tenggelam di ujung laut sana, ia selalu menggiringku menuju sebuah gapura yang berada tepat di pinggir pantai. Gapura itu menghadap ke pantai dengan biliknya yang tak lagi utuh termakan usia. Ia mengajakku ke sana untuk bersama menyakiskan hilangnya sinar keemasan mentari senja.
“Rolland, kau lihat sunset itu? Sungguh menakjubkan, bukan?”
“Ya, Nabila.”
“Apakah kau ingin aku menjadi sunset itu, Rolland?”
“Tidak, Nabila.”
“Menagapa Rolland? Tidakkah sunset itu begitu mempesona?”
“Ya, sunset itu begitu mempesona, tapi tidak sedikitpun menyaingi keindahan pesonamu, Nabila”
Ia menoleh sumringah padaku, membuat tatapan kami untuk sejenak betemu. Lalu perlahan ia sandarkan kembali kepalanya ke pundak kiriku.
“Namun begitu Rolland, sebentar lagi aku akan hilang Rolland, akan lenyap bersama sunset itu”
“Apa yang kau katakan itu, Nabila? Akankah kau tidak senang dengan pertemuan kita ini? Sehingga kau harus meninggalkanku di setiap kali sunset menghilang?”
“Bukan, bukan begitu Rolland. Namun begitulah kehidupanku kini. Aku akan datang menemanimu di setiap senja tiba dan akan hilang bersamaan dengan lenyapnya jingga.”
Ia kembali memelukku dari samping, membuatkku kembali merasakan kehangatan ini untuk yang kesekian kalinya. Namun entah mengapa kehangatan itu perlahan memudar dari tubuhku.
“Nabila, sebentar lagi sunset akan tengelam, apakah kau akan…”
“Nabila…! Nabila…! Nabila …!”
Tak kutemui lagi sosok Nabila di sampingku, ia tiba-tiba saja menghilang tanpa sedikit pun bekas. Kupanggil-panggil nama Nabila ke segala arah, namun yang menjawab hanya gemuruh ombak yang saling bersahutan memecah hamparan batu karang.
Kusisir kembali pantai sepanjang petang, berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, terus berlari di sepanjang pantai hingga tak tersisa sedikit pun kekuatan, lalu aku terjungkal di atas pasir yang basah dengan terus memanggil nama Nabila, dengan suaraku yang mulai serak. Tanpa terasa air mataku mengalir membasahi pipi, menandakan sakitnya jiwaku yang terus saja meronta, mengharap kembali kehadiran Nabila.
Kuperhatikan kembali siluet senja yang telah menghilang berganti dengan gulita malam, meratapi Nabila yang tiba-tiba saja menghilang bersama senja yang terkubur seiring dengan gelapnya malam.
Kuambil ponselku dengan sedikit senyum, berharap gambar-gambar Nabila bisa sedikit mengurangi sedihku, namun entah mengapa di antara foto-foto itu tak ada satu pun wajah Nabila di sana, yang nampak hanya bayang-bayang suram di antara lanskap senja.
Mengetahui hal itu, kubanting ponselku ke hamparan pasir putih itu, berteriak sekuat tenaga memanggil nama Nabila yang menghilang dengan cucuran air mata seiring dengan senja yang telah berganti malam yang begitu gelap gulita. Meskipun gemintang tetap menghiasi angkasa malam, namun ia tak pernah bisa mengobati sedihku kehilangan Nabila di sepanjang malam yang kini kulewati. Hingga pada akhirnya, setelah puas kutumpahkan air mataku hampir separuh malam, aku akan pulang dengan langkah gontai, dan mulai menyadari bahwa sebenarnya tak pernah ada Nabila di sana, tak pernah bergelak tawa bersamaku di atas hamparan pasir putih yang halus juga di antara senja yang mulai menua. Tak ada Nabila. Tak pernah.
Guluk-Guluk 04 Mei 2011
*) penulis lepas asal Sumenep Madura, Mahasiswa INSTIK Annuqayah, serta penggiat di Komunitas Cinta Nulis PP. Annuqayah Lubangsa Selatan.
Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar