Putih…
Balutan putih tenang
Bergeming,
Terpaan angin menggoda
Bergeming,
Tangan rengkuh menggapai haru
Bergeming,
Balutan putih tenang
Bergeming,
Terpaan angin menggoda
Bergeming,
Tangan rengkuh menggapai haru
Bergeming,
Langkah kakinya kian mereda, jauh dari kata cepat. Kaki jenjang itu menghentak tanah dengan keras. Hanya geraman kecil yang terdengar. Kaki itu tetap pada posisinya. Diam. Terpaku di atas tanah yang basah karena rintik hujan yang kian menjadi. Kaki itu tetap terpaku. Beribu derap langkah melewati sang pemilik kaki jenjang, mencoba menerobos hujan yang turun dengan sangat lebat. Bergeming. Kaki jenjang itu tetap pada tempat semula. Tak ada pergerakan yang berarti. Basah. Sekujur tubuh sang pemilik kaki jenjang mulai bergetar. Getaran ringan membuat bahunya terguncang naik turun. Dia tangkupkan kedua telapak tangan menutupi wajahnya. Isakkan kecil merangkak keluar turun membasahi pipinya yang telah lebih dahulu basah karena hujan. Tubuh itu kian bergetar dengan hebat. Tangis. Isakkan kecil itu berganti dengan tangisan hebat. Merasa tak cukup, teriakkan nyaring lolos dari tempatnya. Serak, terlalu lama tertahan membuatnya menghasilkan suara yang begitu memilukan. Tubuh itu kini sudah berada di bawah, lelah dan sakit yang dirasakan meruntuhkan pertahanannya yang kokoh. Hanya tangisan dan erangan kecil yang keluar dari mulut sang gadis. Hingga semuanya menjadi gelap.
Putih. Warna yang suci, tenang. Warna kesukaan hampir seluruh manusia. Begitu juga dengannya. Warna putih itu tengah mengelilinginya. Berusaha memancarkan ketenangan untuknya. Berharap terjadi pergerakan. Lima jam telah berlalu. Gadis berkaki jenjang itu masih setia berbaring di temani sang putih. Kelopak matanya tertutup rapat menyembunyikan sepasang mata indah sang gadis. Wangi bunga mawar memenuhi ruangan yang serba putih ini. Lima tangkai bunga mawar biru merekah indah di dalam peraduannya. Diam. Layaknya penjaga yang setia menemani sang putri yang sedang tertidur. Laki-laki berwajah tampan menatap teduh sang gadis yang tidak ia ketahui namanya. Guratan kecemasan tampak terlihat dari wajah sang laki-laki. Fikirannya melayang pada kejadian tadi siang di tengah derasnya hujan yang turun.
Siang itu suasana hatinya sangat kacau. Bagaimana tidak? Di depan matanya kekasih yang amat disayanginya telah dengan sengaja mengumbar kemesraan dengan laki-laki lain. Laki-laki yang selama ini telah di anggap sahabat baik olehnya. Kacau. Marah. Sedih. Kecewa. Dia hanya terdiam terpaku memandang dua orang yang dikenalnya sedang bermesraan. Dia tidak tau harus marah kepada siapa. Gerangan apa yang membuat dua orang itu bisa mengkhianatinya. Hatinya kian panas tatkala laki-laki itu mencium kekasihnya. Sakit. Perih. Luka ini terlalu sakit. Kuhentakkan kaki ku kasar melangkah ke luar restoran. Ku pacu mobil ku diatas kecepatan rata-rata. Aku hanya ingin melupakan rasa sakit ini. Rasa sakit yang datang dari dua orang yang sangat ia percaya. Pandangannya mulai memudar tatkala titik-titik air jatuh membasahi pipinya. Di pukulinya roda kemudi dengan keras, seraya meneriakkan berbagai kata cacian. Dia terus melaju menembus keramaian ibu kota. Suara klakson nyaring bersahutan karena mobil yang dikendarainya berjalan tak beraturan. Sirine polisi berusaha memecah keramaian klakson dan mengejar mobilnya. Perasaan kalut terlalu mendominasinya. Ia hiraukan segala yang terjadi di luar dan terus memacu mobilnya dengan cepat guna melampiaskan kekesalannya.
Rintik hujan mulai turun membasahi jalanan yang penuh dengan keramaian lalu lalang kendaraan. Pandangannya semakin kabur seiring turunnya rintik hujan yang kian deras. Laju mobilnya semakin tak terkendali. Dia mulai membanting roda kemudi ke sembarang arah. Perasaan marah menyelimuti hatinya yang membeku. Dia menutup matanya. Mempasrahkan apapun yang akan terjadi nanti. Mobilnya melaju dan menerobos taman kota yang kala itu tengah dipenuhi oleh para orang yang sedang berteduh. Tepat di depan sebuah pohon besar yang ada di tengah taman mobil itu mendaratkannya diiringi suara tubrukan yang sangat kencang.
Lamunan sang laki-laki tampan itu terhenti seiring dengan sura pintu ruang rawat inap yang terbuka. “Keadaan gadis itu bagaimana Dok?” tanyaku kepada dokter yang tengah memeriksa gadis berkaki jenjang itu. “hantaman yang menyerang kepalanya sangat kuat. Saya bersyukur karena pendarahan yang terjadi tidaklah banyak dan dapat dideteksi. Sekarang yang bisa kita lakukan hanya berharap dan berdoa untuk kesembuhan sang pasien” dokter yang memiliki nama Eilyc itu tersenyum memberikan semangat kepada laki-laki tampan yang tengah menatapnya dengan pandangan putus asa. “tentu, Dok. Saya selalu mendoakan yang terbaik untuk gadis ini” balas ku dengan menyunggingkan senyum terbaik ku.
Seorang laki-laki dengan perawakan tinggi gagah berjalan mendekati ranjang sang gadis yang masih setia menutup matanya. Rasa bersalah tergambar jelas di wajah tampannya. Diam. Dia menatap gadis itu lekat, berusaha mencari petunjuk tentang pribadinya. Memang, dia yang salah karena tidak memperhatikan jalan dengan benar. Tapi, dia yakin bahwa alasan sang gadis tidak membuka matanya bukan karena perbuatannya yang tidak sengaja menyerempet sang gadis. Tangannya mengelus lembut rambut sang gadis. “Hai gadis cantik. Kamu pasti masih merasa sangat lelah. Tidurlah. Tapi jangan kau biarkan aku menunggumu lama. Seandainya saja ada hal yang bisa membuat mu terbangun, aku akan dengan senang hati membawakannya untuk mu. Aku mohon, bangun, buka matamu.” suaranya terdengar sedikit parau akibat menahan tangis yang sebentar lagi akan menguar.
Hari ini langit siang tampak cerah dan awan putih terukir manis membentuk berbagai macam harapan manusia. Seperti halnya laki-laki tampan yang selalu setia menunggu sang gadis pujaan terbangun dari tidur panjangnya.
“Pagi cantik. Hari ini langit cerah ya? Dapatkah kamu lihat putihnya awan menenangkan teriknya sinar matahari.” sapa laki-laki itu sembari meletakkan lima tangkai mawar biru ke dalam vas putih dengan ukiran bunga mawar biru di sekitar mulut vas. “Hem, apa kabar mu hari ini? Sudah lima hari ini aku duduk dan menjaga mu.” Laki-laki itu berusaha menampakkan senyum terbaiknya, helaan nafas berat terhembus dengan lancarnya. Dia genggam jari-jemari yang terlihat rapuh. Dia elus puncak kepala sang gadis. “Dapatkah kamu membuka mata mu? Aku ingin lihat sepasang mata indah di balik kelopak itu. Adakah kesempatan untuk ku melihatnya?” laki-laki itu terus berkomunikasi dengan sang gadis. Walaupun hanya di balas dengan diam.
“Pagi cantik. Hari ini langit cerah ya? Dapatkah kamu lihat putihnya awan menenangkan teriknya sinar matahari.” sapa laki-laki itu sembari meletakkan lima tangkai mawar biru ke dalam vas putih dengan ukiran bunga mawar biru di sekitar mulut vas. “Hem, apa kabar mu hari ini? Sudah lima hari ini aku duduk dan menjaga mu.” Laki-laki itu berusaha menampakkan senyum terbaiknya, helaan nafas berat terhembus dengan lancarnya. Dia genggam jari-jemari yang terlihat rapuh. Dia elus puncak kepala sang gadis. “Dapatkah kamu membuka mata mu? Aku ingin lihat sepasang mata indah di balik kelopak itu. Adakah kesempatan untuk ku melihatnya?” laki-laki itu terus berkomunikasi dengan sang gadis. Walaupun hanya di balas dengan diam.
“Loren?” sapa seorang laki-laki yang terlihat lebih tua dari laki-laki yang disapanya. “Dokter?” Jawab laki-laki yang bernama Lorenchio dengan senyum tipis di wajahnya. “Apa kamu tidak lelah? Lebih baik kamu beristirahat di rumah. Biar kami yang menjaga gadis ini.” Ujar sang dokter Eilyc. “Hshh, Dok, aku akan jaga dia sampai dia bangun dari tidur panjangnya. Aku merasakan ada yang lain ketika kami saling bersentuhan.” Jelasnya seraya mengusap punggung tangan sang gadis dengan penuh kasih. Harus dia akui bahwa dia lelah, dia mulai merasa harapan itu tidak lagi berpihak padanya. Titik cahaya itu semakin menjauh dan pergi meninggalkan ruangan putih ini. Dia sangat ingin melihat senyum dan tawanya. Bahkan dia sudah membayangkan bagaimana sang gadis bersuara. Pasti akan terdengar sangat merdu.
Lorenchio masih setia menunggu dan menjaga gadis yang tidak diketahui identitasnya. Bahkan dia berbesar hati untuk berhenti dari pekerjaan dan meminta sahabat karib sekaligus orang kepercayaannya untuk memantau perusahaannnya selama ia tidak berada di tempat. Tepat hari ketujuh semenjak gadis itu terbaring koma di rumah sakit. Dan lorenchio tidak pernah letih menjaga dan mendoakan sang gadis pujaan.
“Halo manis, aku datang lagi. Aku berharap kamu tidak pernah bosan mendengar suara ku ya?” ucapnya sembari terkekeh pelan. Hal yang paling ampuh untuk mengobati perih dihatinya, karena nyatanya dia hanya berbicara sendiri. Lorenchio datang dengan membawa lima tangkai bunga mawar biru. Seperti hari-hari sebelumnya. Sejenak ia terdiam, ia mencoba menggali informasi di dalam otaknya mengenai gadis itu. Mungkin saja tanpa ia sadari, mereka pernah bertemu sebelumnya. Dia masih mencoba untuk mengingat kembali segala sesuatu yang berhubungan dengan gadis itu, hingga terdengar mesin pendeteksi jantung bernbunyi nyaring dan menampakkan garis lurus. Kaget. Cemas. Bingung menguasai seluruh kerja otaknya, kini ia hanya diam terpaku menatap alat yang masih setia menunjukkan garis lurus dan berbunyi nyaring. Kesadaranannya kembali pulih tatkala para suster dan dokter berdatangan untuk memeriksa keadaan sang gadis. Seorang suster pria tampak mendekati Loren, dan mencoba untuk memapahnya keluar dan menenangkannya.
“Halo manis, aku datang lagi. Aku berharap kamu tidak pernah bosan mendengar suara ku ya?” ucapnya sembari terkekeh pelan. Hal yang paling ampuh untuk mengobati perih dihatinya, karena nyatanya dia hanya berbicara sendiri. Lorenchio datang dengan membawa lima tangkai bunga mawar biru. Seperti hari-hari sebelumnya. Sejenak ia terdiam, ia mencoba menggali informasi di dalam otaknya mengenai gadis itu. Mungkin saja tanpa ia sadari, mereka pernah bertemu sebelumnya. Dia masih mencoba untuk mengingat kembali segala sesuatu yang berhubungan dengan gadis itu, hingga terdengar mesin pendeteksi jantung bernbunyi nyaring dan menampakkan garis lurus. Kaget. Cemas. Bingung menguasai seluruh kerja otaknya, kini ia hanya diam terpaku menatap alat yang masih setia menunjukkan garis lurus dan berbunyi nyaring. Kesadaranannya kembali pulih tatkala para suster dan dokter berdatangan untuk memeriksa keadaan sang gadis. Seorang suster pria tampak mendekati Loren, dan mencoba untuk memapahnya keluar dan menenangkannya.
Setengah jam telah berlalu dan dokter keluar dengan wajah di penuhi peluh yang menghias di keningnya. Dokter menghampiri Loren yang duduk sambil memeluk lututnya di lantai rumah sakit. “Dia gadis yang kuat. Kau harus percaya itu. dia pasti hidup.” hibur dokter Eilyc sambil menepuk-nepuk bahu loren sekadar menyalurkan spirit baru. Tak kuasa menahan rasa sakit akibat takut kehilangan yang sangat menderanya, dia memutuskan untuk memejamkan matanya. Dia berharap ada keajaiban yang datang pada dirinya dan sang gadis kelak.
Kurasakan sentuhan hangat yang mengelus puncak kepala ku. sentuhan hangat itu berpindah mengelus punggung tanganku. Bahkan dapat kurasakan sensasi dingin tatkala sang empunya mencium punggung tangan ku. dapat kurasakan basahnya tangan ku tatkala punggung tangan ini ditempelkan di pipinya. Apakah dia menangis? Tapi siapa? Mengapa dia menangis? Apa mungkin dia?. Ku coba untuk membuka mata ku. Silauan cahaya lampu menerpa mata ku. Mata ku mengerjap untuk menyesuaikan dengan keadaan di luar sini. Perlahan ku edarkan pandanganku ke seluruh ruangan ini. Hingga dapat ku lihat sebuah senyum menawan dari seorang gadis yang selama ini selalu menyita perhatian ku. dia tersenyum manis sambil tetap menggenggam tangan ku erat. Rasa senang memenuhi relung hati ku. seluruh aliran darah ku bergejolak mulai tak beraturan. Ada sedikit perasaan haru yang menguar dan menetes menjadi titik kecil air yang mengalir melalui mata ku. kaget. Dia terlihat khawatir karena tangisan ku yang mulai tak terkendali. Dia berdiri dari duduknya dan memelukku.
“Sst…sst jangan nangis ya? Maaf karena membuat mu menunggu lama. “ujarnya dengan nada penyesalan dan suara lemah lembut yang sungguh dapat membuat detak jantung ku berdetak dengan irama yang indah. Ku balas pelukannya dengan menepuk pelan punggungnya.
“Sst…sst jangan nangis ya? Maaf karena membuat mu menunggu lama. “ujarnya dengan nada penyesalan dan suara lemah lembut yang sungguh dapat membuat detak jantung ku berdetak dengan irama yang indah. Ku balas pelukannya dengan menepuk pelan punggungnya.
Kami sudah dapat menghirup waginya udara segar dan warna-warni alam semesta ini. Ya, penantian panjang ku membuahkan hasil. Nama gadis cantik itu Archi. Dan kini kami berada di taman bunga. Archi ingin sekali bermain dan merangkai bunga. Hari ini genap sebulan Archi dan aku bertemu. Kami sudah semakin dekat.
“Chio!!! Cepat kejar aku!!!” teriak seorang gadis yang tengah berlari mengitari padang yang ditumbuhi bunga mawar biru. “Hey!!! Kau sedang meledek ku ya? Aku ini adalah atlet lari nomor satu. Kalau hanya mengejar gadis kecil yang larinya pelan sih, gampang.” ucap seorang laki-laki berperawakan tinggi dengan senyum lebar yang tetap menghias di wajahnya. “Oey? Kamu bilang aku apa tadi? Lari ku pelan? Hey.. hey kau yakin sekali Mr. Hamchi.” balas sang gadis tak mau kalah. Kini mereka terjatuh bersama di atas permadani biru bunga mawar. Wangi mawar menguar di antara mereka. Menumbuhkan rasa hangat yang kian menyelimuti. Bagaikan aroma jiwa yang mengalirkan harapan dan semangat baru. Wangi yang berhasil menghadirkan kisah baru dalam perjalanan panjang seorang Lorenchio. Wangi yang kerap kali mengisi indera penciuman Archi kala ia terbaring koma di rumah sakit. Wangi yang akan selalu diingatnya, karena wangi itu mempertemukan mereka dalam keajaiban.
“Kenalkan nama ku Lorenchio Greyion Wilson.”
“…”
“Boleh aku tahu siapa nama mu?”
“Archi. Nama ku Archi Keyffa Owiqlay.”
“Archi? Nama yang indah. Seindah bunga mawar ini.”
“Mawar biru? Kenapa harus mawar biru?”
“Karena kamu adalah Putri tidur ku.”
“…”
“Aku suka kamu. Lebih dari suka. Aku menyayangi mu Putri tidur ku.”
“Hanya itu?”
“Hanya itu?”
“Ya sudahlah, agak sulit berkomunikasi dengan orang autis seperti diri mu.”
Belum sempat Lorenchio membalas ucapan Archi, Archi sudah berlari meninggalkannya yang masih terpaku. Dia tersenyum bahagia, karena tuhan mengabulkan permintaannya.
“I love my Mr. Hamchi!!!”
“Kenalkan nama ku Lorenchio Greyion Wilson.”
“…”
“Boleh aku tahu siapa nama mu?”
“Archi. Nama ku Archi Keyffa Owiqlay.”
“Archi? Nama yang indah. Seindah bunga mawar ini.”
“Mawar biru? Kenapa harus mawar biru?”
“Karena kamu adalah Putri tidur ku.”
“…”
“Aku suka kamu. Lebih dari suka. Aku menyayangi mu Putri tidur ku.”
“Hanya itu?”
“Hanya itu?”
“Ya sudahlah, agak sulit berkomunikasi dengan orang autis seperti diri mu.”
Belum sempat Lorenchio membalas ucapan Archi, Archi sudah berlari meninggalkannya yang masih terpaku. Dia tersenyum bahagia, karena tuhan mengabulkan permintaannya.
“I love my Mr. Hamchi!!!”
Cerpen Karangan: Archiffa Owiqlay
0 komentar:
Posting Komentar