Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Kota Kematian


Ia bergegas mati, meski istrinya minta untuk lima menit saja menundanya. Anaknya yang kecil minta dibuatkan susu. Lelaki itu sudah tak sabar. Nanti saja kalau sudah pulang dari kematian, katanya. Biarkan anak itu menangis, nanti akan diam kalau capai. Katakan saja, nanti dioleh-olehi cincin Sulaiman dari surga. Dia akan diam. Dan istrinya menurut saja perkataan suaminya itu. Benar juga, anak itu diam karena janji oleh-oleh itu. Cincin Sulaiman memang menjadi impian anak itu. Dongeng yang selalu ia dengar dari emak-nya, membuat keinginan untuk memiliki cincin itu membumbung tinggi. Membumbung tinggi, seperti bapak dan emaknya yang kini sudah melesat ke angkasa menuju kematian.
Mereka berdua hampir saja tersesat. Jalan-jalan sudah berubah halus dan lebar. Di kiri kanan, gedung-gedung bertingkat berdiri. Tak ada tanah lapang dan kosong lagi. Sepuluh tahun lalu, terakhir dia pergi ke kematian, gedung-gedung itu belum ada. Hanya gubug kardus nampak di sana; carut marut. Jalannya masih sempit dan berlubang. Tanah-tanah masih banyak tak bertuan. Kota kematian itu kini sudah maju pesat. Kalau dulu hanya gerobak yang berlalu lalang, kini kendaraan bermesin. Mewah lagi. Melihat semua itu, lelaki dan istrinya hampir mengambil jalan menuju ke neraka. Kalau tidak membaca papan arah yang berdiri di pertigaan tadi, mereka sudah tersesat ke kampung neraka.
“Hampir saja kita tersesat,” ujar lelaki itu sambil garuk-garuk kepalanya yang plontos itu.
“Ya, Pak, aku juga tidak mengenali lagi kota ini,” jawab istrinya tak kalah sengitnya.
“Untungnya kita sampai juga di kampung surga ini.”
“Kita cari toko Sulaiman, Pak. Kita beli dulu cicin untuk si Kecil. Mumpung masih ingat.” Kata istrinya mengingatkan janji lelaki itu pada anaknya yang kecil tadi.
“Kalau masih menjualnya. Barang itu diproduksi secara terbatas. Bahkan belinya juga harus menunjukkan identitas diri. Kita kan tidak punya itu.”
“Kau kan mempunyai orang dalam. Kita sogok dia agar menjualnya pada kita.”
“Kalau dia masih menjadi karyawan. Kalau tidak…”
“Semua karyawan sama, Pak. Mudah disogok. Biasanya mereka yang sok alim itu yang mudah kita iming-iming sogokan.” Tukas istrinya.
Lelaki itu tak kuasa menolak ketika tangannya ia tarik memasuki sebuah toko antik milik Sulaiman. Toko itu masih tak berubah. Sama seperti sepuluh tahun lalu. Penuh sesak dengan barang di sana-sini tak tertata. Di atas ruang bergantungan barang-barang yang bentuknya bermacam-macam. Tak ada satu pun yang mereka kenali barang apa itu. Di semua dinding ruangan, penuh tempelan barang-barang yang asing juga di benak dua orang itu. Belum lagi barang-barang yang warnanya sudah kehitam-hitaman berjajar di atas meja di tengah ruangan. Mereka diam terpaku atas semua itu. Tak ada yang mereka ketahui bentuk dan namanya. Mereka hanya tahu warnanya yang kusam dipenuhi debu. Untungnya seorang karyawan menghampiri mereka.
“Cari apa, Pak?” Ujarnya sambil berdehem melihat mereka mematung.
“Oh, ya, ehm… aku cari…” kata lelaki itu masih dalam kebingungan.
“Cincin Sulaiman, Mas,” sambung istrinya cepat.
“Bapak sangat beruntung. Barang itu tinggal satu-satunya di sini. Tak ada lagi. Tak memproduksi lagi. Mari iku saya ke belakang.”
Mereka bergegas pergi ke tempat yang ditunjukkan karyawan itu. Sebuah ruangan yang sempit, tapi cukup bersih dan tertata. Tak ada barang yang asing di sana. Barang yang ada sangat dikenali mereka. Meja, kursi, mesin ketik, sempoa, kertas-kertas merang yang tertumpuk rapi. Sebuah lampu kristal bergantung tepat di tengah ruangan. Karyawan itu mengambil duduk di belakng meja dan mempersilahkan tamunya duduk di depannya.
“Bisa tunjukan identitas Bapak?” Tanya karyawan itu meminta.
“Di tempatku tak mengenal identitas, Mas,” jawab lelaki itu. Sebuah jawaban yang sudah disiapkan sejak tadi.
“Wah, kalau tidak punya identitas tidak bisa membeli cincin Sulaiman, Pak.”
“Tolonglah, mas. Barang itu impian anak saya.” Kata sang istri memelas.
“Tak bisa, Bu,” kata karyawan itu tegas.
“Kan bisa diatur semua itu,” kata lelaki itu. Kata-kata yang juga sudah disiapkan sejak tadi.
“Diatur bagaimana, Pak?”
“Begini,” istrinya menyahut. “Akan kami bayar lima kali lipat atau sepuluh kali lipat sekalipun.”
“Atau, Mas saya beri bonus untuk penjualan itu,” timpal sang suami.
Karyawa itu diam. Tawaran kedua tamunya sangat menggiurkan. Sepuluh kali lipat ditambah bonus, wah, sangat menguntungkan tawaran itu. Tapi dia tetap menjaga sikapnya. Ia tak ingin kedua tamunya tahu apa yang ada di benaknya.
“Bagaimana, Mas?” Tanya perempuan itu tak sabar.
“Ehm…” Karyawan itu sedang memasang taktik serakahnya.
“Atau masih kurang tawaran kami?” Ujar lelaki itu menambah dorongan hati karyawan untuk melepas barang itu.
Karyawan itu tak menyahut. Keningnya menggaris tanda seolah-olah dia sedang menimbang-nimbang. Sementara kedua tamunya itu tak sabar lagi dengan sikap karyawan itu.
“Saya beli dua puluh kali lipat ditambah bonus ditambah gelang, kalung, cincin emas ini. Mahal lho harganya.” Kata perempuan itu meyakinkan karyawan itu. Mata perempuan dan lelaki itu lurus menatap mata karyawan itu. Tatapan penantian persetujuan transaksi itu. Ketika karyawan itu akhirnya tersenyum, kedua tamu itu lega hatinya seperti terbebas dari himpitan gunung berapi. Dan senyum itu cukup bagi keduanya untuk tahu apa artinya. Lelaki itu mengambil uang setumpuk dari dalam kantung. Istrinya sibuk melepas perhiasan yang di badan. Keduanya segera meletakkan di atas meja. Sementara karyawan mengeluarkan sebuah barang. Kecil kehitam-hitaman. Sebuah cincin dengan mata sebutir kaca yang mengeluarkan cahaya keungu-unguan.
“Cukup uang segini?” Kata lelaki itu.
“Cukup-cukup beserta perhiasan itu,” sambut karyawan itu sambil bergegas memasukkannya ke dalam kotak kayu kehitam-hitaman juga warnanya. “Ini barang yang terakhir. Tak ada lagi. Jadi Bapak harus menyimpannya baik-baik.” Lanjut karyawan itu meyakinkan tamunya.
Lelaki dan perempuan itu seakan lupa pamitan untuk bergegas keluar ruangan. Hatinya teramat senang mendapatkan cincin Sulaiman yang diimpi-impikan anaknya itu. Senyum mereka tiada tara maknanya. Kebahagiaan. Keberkahan. Keabadian. Bercampur aduk dalam benaknya. Rasa yang luar biasa itu telah mendorongnya berjalan ringan dan cepat menuju ke tempat yang tak mereka sadari ke mana arahnya.
“Pak, kita ke mana?” Tanya perempuan itu menyadari keadaannya.
“Lho kita kok ke sini!?” Kata lelaki itu tak kalah kagetnya.
“Banyak orang antri, pak,” kata perempuan itu bingung.
“Kita salah alamat. Kita sedang berada di kampung neraka.”
“Kita terlampau senang, sehingga tak menyadari jalan yang kita lalui.”
“Tidak apa-apa,” ujar lelaki itu menenangkan istrinya. “Anggap saja kita tamasya ke kampung ini. Nanti kita bisa kembali lagi.”
“Banyak orang antri,” kata perempuan itu mengulangi perkataan sebelumnya.
“Mereka bukan mengantri. Mereka sedang menunggu giliran.”
“Giliran apa, Pak?”
“Giliran untuk disiksa.”
“Giliran untuk disiksa?”
“Ya, giliran untuk disiksa dengan api neraka.”
“Kenapa?”
“Mereka bodoh ketika masih hidup.”
“Aku juga begitu, Pak, besok.”
“Mungkin.”
“Mungkin?”
“Mungkin juga tidak. Tapi sudahlah, kita kembali saja. Biarkan mereka menikmati penyiksaannya.”
Keduanya segera berjalan kembali. Mereka kembali pada perasaannya yang membumbung tinggi. Bahagia karena cincin Sulaiman. Mereka membayangkan anaknya akan bahagia luar biasa menerima barang itu. Sudah terlampau lama dongeng tentang cicin Sulaiman itu menggaris di benak anak itu. Setiap malam ia dongengkan. Tak bosan-bosannya anak itu mendengarnya. Tak bosan-bosannya pula ia menceritakannya. Dongeng itu persis, tak berubah, setiap keluar dari mulutnya. Dongeng itu, kata demi kata, kalimat demi kalimat, persis sama setiap masuk ke telinga anak itu. Tak ada dongeng lain yang mampu menggesernya. Cincin Sulaiman. Saking menariknya, barang itu hadir dalam mimpi anak itu. Saking penasarannya, kata cincin Sulaiman berulang kali diucapkan anak itu. Kata itu seperti magnit yang memiliki daya tarik yang luar biasa.
Cincin Sulaiman. Ya, cincin Sulaiman. Kata itu seolah seribu cambuk yang menghentikannya jika akan berbuat nakal. Kata itu juga seperti mainan purba yang mendorongnya setiap anak itu akan berbuat kebajikan. Kata itu bisa menjilma menjadi apa saja, tergantung apa saja yang akan ia lakukan. Raksasa, boneka, cambuk, es krim, hantu, mainan, kelinci, cendrawasih, ular, batu, air, bahkan bisa juga menjilma menjadi tetangganya yang buruk rupa itu. Acap kali kata itu menjilma menjadi ibu gurunya yang cantik dan yang suka menggendongnya di sekolah ketika ia menangis.
Itu cerita masa kecilku. Cerita yang begitu menenggelamkan aku ketika itu. Sekarang, semua itu hanya menjadi bahan tertawaku. Pintar juga cara ibuku mendidikku. Dia tak banyak bicara untuk menasehatiku. Dia tak banyak bekata-kata jika melarangku. Cukup menyebut Cincin Sulaiman. Dan aku akan tahkluk dibuatnya. Dan aku akan semangat mendengarnya. Tergantung apa yang ada dalam benakku. Kau mungkin juga mengalami hal yang sama.
Mungkin cerita itu tak masuk akal dalam pikiranmu sekarang. Memang, sebuah cerita mesti tak masuk akal. Ia hanya imajinasi. Ua hanya fantasi. Angan-angan. Ia dibuat bukan dari kenyataan. Ia muncul dari dalam ruang intuisi dari pembuatnya. Tapi kau harus memahaminya dari sudut yang lain. Apa yang kau dengar, hanyalah yang tampak. Yang tampak belum tentu nyata. Di balik fantasi itu ada makna. Di balik imajinasi ada yang nyata. Kalau kau mau menemukan itu, cerita Cincin Sulaiman itu, masih sesuai untuk kita sekarang. Bahkan hingga kita senja, cerita itu masih menjadi magnit dengan daya tarik luar biasa. Bukankah sudah saya katakan sebelum aku bercerita tadi? Kau harus memilih dan memilah, menimbang dan menentukan.
Cerpen Karangan: Suhariyadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar