Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Masa Masa Yang Tak Akan Kembali


“Rumah Angker Pondok Indah, Kaw*n Kontrak 3, Per*wan Seberang, cih, apaan nih, engga jelas banget nih film film Indonesia.” Aku menggerutu sendiri, lirih, melihat daftar filem filem Indonesia yang terpajang di toko DVD di dalam MALL ini.
“Nih bagus!” Sebuah suara tiba-tiba muncul di sampingku, sambil menyodorkan DVD film 5 CM. tersenyum manis sekali, tak ada lesung di pipinya, tapi giginya yang gingsul adalah pemanis alami yang jika saja aku adalah seekor semut, walapun mati dipites berkali-kalipun tetap akan aku gigit senyumnya.
“Nara?” panggilku kaget dan salah tingkah. Ini cewe adalah pembuat masalah terbesar dalam hidupku, maksudku, dia buatku gila. “Jah, engga nyangka, manusia paling pinter di lautan, ehh maksudku di sekolah malah kabur dari sekolah.” Ledekku, aku tau hari ini sekolahku pulang lebih awal karena guru biologiku, juga wali kelasku di kelas dua yang sangat cantik menikah.
“Yee.. emang kamu? Malah bolos, huuu, bolos main ke mall lagi, aku aduin kamu sama bu Hesti loh!” balasnya sambil mengembalikan DVD 5 CM ke tempatnya semula, karena aku tidak mengambilnya.
Aku: “Ngapain juga masuk kalau pulang gasik, buang buang waktu aja, ya kan? Aku tanya deh ke kamu, kalau kamu udah tau sekolah bakal pulang gasik, dan tujuan kita buat belajar engga akan terpenuhi, dari pada capek capek, buang-buang ongkos, waktu dan tenaga buat datang ke sekolah, lebih baik engga berangkat sekalian kan? Kita ke sekolah bukan nyari absen doang kan? Ya kan? Jawab Ra, pake jujur dari hatimu terdalam, aku pengin denger pendapatnya manusia paling pinter di sekolah..”
Nara: “Apaan si Nunu, lebay, okay aku jawab, 1. Kalau kamu sebut aku manusia paling pinter, maka kamu salah. Kan masih ada guru guru yang pasti lebih pinter dariku. 2. Oke, aku akui kamu bener, kalau itunganya ke sekolah itu cuma buat belajar, kalau berangkat sekolah itu cuma buat belajar, maka kamu bener, tapi kamu salah nu, kita ke sekolah itu, maksudku, aku ke sekolah itu bukan cuma itu satu satunya tujuan”
Aku: “Jadi maksudmu, ada tujuan lain kamu ke sekolah? Apa? Nyari jodoh? Nyari Pacar?” potongku cepat, dan memojokan.
Nara: “Hemmmm, ya bukan itu juga tujuan lainya, walaupun mungkin banyak anak lain yang punya tujuan tersebut.”
Aku: “Nah kan, jadi?” kataku menang.
Nara : “Masa SMA itu cuma 3 tahun cil, setelah itu, masing masing dari kita akan berjalan menuju ke arah yang berbeda-beda, ke kehidupan yang berbeda-beda, cuma 3 tahun cil, apa kamu yakin engga akan menyesal menyia-nyiakan waktumu untuk bolos meski cuma sekali, meski hanya beberapa jam? Apa kamu yakin engga akan menyesali waktumu yang kamu pake buat dirimu sendiri tanpa kehadiran teman-temanmu? Suatu saat nanti, setelah kita semua berpisah, kita pasti akan merindukan masa-masa kita sekarang cil, jadi aku ingin isi masa-masa SMA ku sebaik-baiknya. Bagaimana? Apa itu menjawab pertanyaanmu?”
Aku hanya tersenyum dan kehilangan kata-kata. Memang begitulah dia, selain menjadi anak perempuan paling cantik di dunia, ehmm, maksudku di duniaku sendiri, ehm maksudku aku pikir di sekolah dia paling cantik, dia juga adalah seorang murid yang sangat pintar, engga maksudku paling pintar di sekolah. Bukan hanya itu, yang bikin buatku gila, juga semua anak laki-laki di sekolahku tergila-gila padanya adalah karena dia juga seorang wanita yang lemah lembut, maksudku, dia engga pernah bersuara keras, juga baik hatinya, tidak sombong rajin menabung, ehmm ngacau, maksudku, semua yang baik-baik ada padanya. Nara, Narandra Kasih Angelina, benar-benar secantik namanya, Angel, bidadari.
Nara: “Kok bengong, kamu jadi beli DVD apa? Kamu engga suka 5 CM? bagus loh!”
Aku: “Ehmm, aku udah nonton kok, udah baca Novelnya juga.”
Nara : “Wauw, kamu baca novelnya?” tanyanya tampak tidak percaya.
Aku : “Kenapa? Engga boleh cowo baca novel?”
Nara: “Bukan gitu, cuma.. ternyata kamu keren juga suka baca, kirain kamu cuma seorang maniak komputer yang cuma tau dan perduli sama komputer, hehe..”
Aku : “Haa.. apaan si. Biasa aja kali” kataku salting.
Bulan demi bulan habis begitu saja, ditelan langit yang gelap, yang kadang menyisakan bulan menjadi separuh, seperempat, bahkan habis tak tersisa, tapi kadang pun membiarkan bulan muncul seluruhnya, dan menjadikan indahnya langit dunia yang Tuhan ciptakan.
Tapi sekarang pagi telah berlalu, dan matahari telah berhasil melewati titik puncaknya dan mulai bergeser ke barat. Tapi panasnya masih sama sekali belum berkurang, bagaikan matahari yang kelaparan dan mencoba membakar apapun yang disinarinya, apa Dia pikir bisa memakan apa yang dibakarnya? Udara benar benar panas dan entah kenapa AC ikut ikutan terasa panas, AC tiba-tiba mati seolah-olah sekongkol dengan matahari untuk memanggang anak-anak di dalam kelas.
Tapi sepanas apapun itu sepertinya sama sekali tak mengurangi minat anak-anak laki-laki pada Nara. Meskipun aku bilang jika aku adalah seekor semut, walaupun mati dipites berkali-kalipun tetap akan aku gigit senyumnya, tapi nyatanya aku tak pernah terlibat ikut menggerumuti Nara seperti yang dilakukan anak laki-laki lain, dengan semua hal yang ada pada Nara, mudah sekali mendapatkan alasan untuk ada didekatnya, entah pura-pura minta diajari tentang pelajaran sekolah, sekedar iseng meledeknya, yang pasti selalu ada anak laki-laki yang mengelilinginya, untuk sekedar mendapat perhatianya.
Beberapa di antara mereka sudah ditolaknya, tapi dasar anak-anak tidak tau malu, masih saja mencoba mendekatinya.
Kevin, sore itu ia menjemput Nara untuk less bahasa inggris, seperti yang telah direncanakanya di tengah jalan sepi, di jalan alternatif yang dia pastikan tidak akan ada Taxi lewat, sedangkan jalan jalan ke tempat less atau balik lagi ke rumah terlalu jauh untuk jalan kaki, Kevin tiba-tiba menghentikan motornya. “Kok berhenti? Kamu mau beli sesuatu?” Tanya Nara agak bingung, karena dilihatnya tidak ada warung atau toko apapun di sekitarnya.
Kevin: “Engga, aku mau melakukan sesuatu.” Jawab anton dengan nada puitis.
Nara: “Ohhh, mau pipis? Jorok, nyari POM aja deh, jangan disini.” Balas Nara cuek dan protes.
Kevin: “Bukan!” ia mulai menjawab dengan agak sebal, bagaimana bisa nada puitisnya cuma ditanggapi sebagai kebelet pipis? Gerutunya dalam hati. “Aku mau melakukan sesuatu lebih dari itu.” Lanjutnya kembali dengan nada puitis.
Nara: “Ya ampun, kamu mau BAB? Jangan disini lah, jorok banget si, masa BAB di jalan?” Nara bertambah protes, dan menutup hidungnya, padahal belum juga BAB.
Kevin: “…” “ Kevin mengluarkan emot kesal. “Aku mau nembak kamu.” Katanya frustasi.
Nara : “Maksudnya? Kamu mau bunuh aku di jalan sepi ini? Terus membuang mayatku begitu aja? Ya ampun vin, aku engga percaya kamu sejahat itu.”
Anton: “Diammm! Lihat ini dan baca ini!” sambil membuka kemejanya, dan menunjukan dadanya yang kerempeng dan dibalut kaos putih bertuliskan “I Love U Nara, Maukah kau jadi Pacarku?” Kemudian di bawahnya ada dua kotak, yang kiri bertuliskan “Mau” dan dibawahnya “Naik Motorku” dan kotak sebelah kanan bertuliskan “Tidak Mau” dan bawahnya “Silahkan Naik Taxi” Kevin tersenyum menang dengan liciknya. Kemudian memberikan sebuah spidol pada Nara, dan berkata “Centang yang kamu pilih.”
Nara mengambil spidol dari tangan Kevin. Kevin mulai bergidik karena spidol yang dipegang Nara mengarah ke kotak tidak mau. Dan berkata, “Kamu yakin mau naik taxi? Kamu tunggu sampe lebaran juga di sini engga aka nada Taxi yang lewat.” Tapi Nara tetap melanjutkan spidolnya ke kotak sebelah kanan, bukan mencentangnya, melainkan, mencoret kata Taxinya dan menulis Ojek dibawahnya, kemudian mencentangnya. “Hahh?? Ojek!!!”
Nara menyeberang ke seberang jalan, “Ojek bang, ke alamat ini berapa ya?” sambil menunjukan alamat di kartu nama guru lessnya.
Tukang Ojek: “Ohh, 15 ribu aja deh neng kalau ke situ.”
Nara : “Boleh deh, kesana ya pak.” Tanpa menawar sedikitpun, Nara naik ke motor tukang ojek, dan pergi meninggalkan Kevin yang melongo tak percaya kalau di depanya ada tulisan “Pangkalan Ojek” .
Endro. Nara baru saja duduk di bangkunya, barisan paling depan dan paling kanan. Tepat di depan pintu. Disaat semua anak laki-laki belum sempat mengelilinginya, Endro menghampiri Nara, “Nara..” panggilnya mesra.
Nara : “Apa? Cepet banget datengnya? Emang hari ini ada PR?” sambut Nara shock, pagi-pagi udah disamperin makhluk pendek dan item di depannya.
Sambil menghembuskan nafas panjang mencoba bersabar, Endro melanjutkan, “Aku ingin bacakan sesuatu buatmu.”
Nara: “Bacain apaan? Ngejek banget sih kamu, aku kan udah bisa baca sendiri, sini biar aku baca.”
Kembali Endro menghembuskan nafas panjang, masih mencoba bersabar. “Dengerin sebentar ya Nara cantik, aku mau bacaain puisi buatmu.” Jelasnya sabar dan lemah lembut, gaya anak-anak kesenian.
Semua anak di kelas menoleh, Nara diam.
“Bibirmu, bagaikan bulan Purnama, eksotis.” (Emang bulan eksotis? Bulan kok bagaikan bulan purnama? Emang bibirinya bengkak?)
“Wajahmu bagaikan bulan Purnama, terang benderang.” (Purnama lagi?)
“Alismu bagaikan Bulan Purnama yang digigit kumbang” (Bagaimana ceritanya bulan purnama digigit kumbang? Dan engga nyanmbung banget bandingkan alis dengan bulan purnama)
“Mulutmu bagaikan bulan Purnama yang tertutup awan di tengahnya ketika kau melongo.” (Hah? Kalimat apaan itu? Maksa banget pake purnama, dan memang kapan Nara pernah melongo mulutnya? Anak-anak melongo tak percaya mendengar kalimat puisinya si item)
“Telingamu, Bagaikan..” PlaKKK, bruk, plok, bruk, bruk, tiba-tiba tas, buku, pulpen berterbangan ke muka dan kepala Endro dari segala arah. “Berhenti maksa bagaikan bulan purnama!!!” teriak seorang anak dari bangkunya. “Gak jelas!” sambung lainya. “Gak Nyambung” timpal lainya, “Gak Penting.”, “Gak pas”, “Gak Modal” sambung satu–satu anak-anak lainya, lah apa hubunganya dengan gak modal? Sedangkan Nara menutup rapat rapat mulutnya, badanya bergetar-getar menahan tawa.
“Ssssttt.. berisik, diem ya anak-anak yang baik, tenang-tenang, kali ini bukan seperti purnama.” Endro geleng-geleng melihat kelakukan teman-temanya, ia merasa kasian dengan mereka yang tidak tau puisi.
“Telingamu, bagaikan dua bintang di samping bulan purnama.” Plak, Plak, Plak, Bruk, Gedubbraakkk!!! Kali ini semua benda melayang, termasuk meja dan kursi, Imam, tergeletak, semua anak tiba-tiba merasa bersalah telah membuat temanya tak sadarkan diri. Semuanya mengelilinginya, dan berniat menggotongnya, sebelum imam mengangkat tanganya dan berkata, “Nara..” katanya lembut.
Nara: “Ya Ndro, kamu engga papa?” Nara khawatir.
Endro: “Apa jawabanmu?”
Nara: “Jawaban apa?” Nara bingung.
Endro: “Apa kau menerimaku?”
Nara: “Hahh? Menerima apa? Emang kamu ngomong apa?”
Endro: “Aku, aku, aku.. men” Glek, lalu ia tak sadarkan diri.
Begitulah beberapa cerita anak-anak yang telah ditolaknya, walaupun mungkin satu anak engga jelas apa yang di inginkanya.
Aku: “Wah asiik, kamu pengertian banget si Ma!” kataku menyambut teman sebangkuku di depan pintu yang membawa dua es jeruk di tanganya. Seperti biasa, hari jumat semua anak-anak dan guru-guru jalan sehat lumayan jauh. Pulangnya tentu semua kehausan.
Tama: “Nara, nih” Lalu ia menyodorkan satu es jeruknya pada Nara.
Aku salah tingkah karena salah sangka. “Ohh sory, aku beli sendiri aja deh.”
Tama: “Ohh sory Nu, kamu belum beli es?”
Aku: “Iya nih mau beli kok.” Aku ngeloyor pergi.
Nara: “Nu..”
Aku: “Hah?” aku menoleh.
Nara: “Nih aku bawa minuman, kamu mau?”
Aku: “Engga usah Ra, aku mau beli kok.” Jawabku menyesal, tentu aja aku mau kenapa aku bilang engga? Arrgghh. Dan melanjutkan jalanku.
Nara: “Nunu!!”
Aku: “Apalagi?” kembali aku menoleh padanya, tapi kulihat wajahnya berbeda. Dia terlihat seperti marah? Kenapa? Tapi Nara hanya diam.
Aku: “Oke.” Aku berjalan ke arahnya, mengambil botol minuman dari tanganya. “Thanks Ra.” Melihat apa yang kulakukan, dia tersenyum, entah apa yang ada dipikiranya. Apa aku terlihat “Lucu?” entahlah.
Siang ini sejuk sekali, tidak seperti biasanya. Entah kenapa. Ditambah, pak Guru tidak datang ke kelas, jadilah kelas menjadi layaknya surga mendadak. Bebas bermain, mengobrol, bercanda, tertawa dan melakukan hal apapun yang kita sukai. Benar kata Nara, saat-saat seperti ini akan kita rindukan nanti, dan.. aku tak akan pernah menyia-nyiakanya lagi.
“Dreeeng…” seseorang memainkan gitar, semua anak diam dan menoleh.
“Cintaku sedalam, samudera. Setinggi langit di angkasa, kepadamu.”
“Cintaku sebesar dunia, seluas jagad raya ini kepadamu, oh kepadamu.”
Kemudian dia berhenti bernyanyi. Maulana, dia berjalan menuju ke arah Nara.
“Nara, seperti baris lirik tadi, cintaku sedalam samudera, juga setinggi langit di angkasa, cintaku sebesar dunia, seluas jagad raya ini kepadamu. Sungguh.” Berhenti, ia mengambil nafas sebentar. “Maukah kau menerima cintaku, dan jadi pacarku?”
Anak-anak lain terdiam, tidak seperti cerita-cerita penembakan di tempat lain, ketika semua orang yang menonton berteriak. “Terima, terima, terima.” Tapi tidak disini, karena hampir semua anak laki-laki di kelas menginginkanya, menginginkan Nara untuk dirinya sendiri. Sedangkan anak-anak perempuan tidak terlalu perduli, dan agak sebal karena mungkin mereka iri.
Nara: “Sory, aku tidak bisa menerimanya.” Ia kemudian melanjutkanya dengan tersenyum manis.
Aziz: “Why ra? Kau mencari orang yang seperti apa? Aku benar-benar mencintaimu, seperti kalimat tadi, tidakah kau percaya?”
Nara: “Kamu bilang, Kamu mencintaiku sedalam samudera? Tapi kau tau, samudera akan surut sekali-kali dan aku engga mau yang surut-surut. Kau bilang kau mencintaiku setinggi langit di angkasa? Tapi taukah kau? Langit akan runtuh nantinya, jadi apakah cintamu juga akan runtuh? Kamu bilang cintamu sebesar dunia dan seluas jagad raya? Tapi tau kah kamu? Kalau dunia ini akan hancur begitu pula jagad raya, bagaimana kamu mau aku untuk percaya?”
Maulana diam, speechless, ia tak tau apa yang harus dikatakanya, ia tak menyiapkan apapun untuk menjawab pertanyaan seperti ini. Tapi, ia juga mengakui bahwa yang dikatakan Nara memang benar.
Melihat Maulana ditolak, seseorang pendek datang, tidak seperti Endro yang item, dia berkulit putih, hanya, dia lebih pendek dari Endro. Ia menghampiri Nara yang baru saja ditinggalkan Maulana yang ditolaknya, dan bertanya, “Ra?”
Nara: “Ya Yan..” balasnya sambil tersenyum. Sungguh hari yang menyenangkan melihatnya tersenyum berulang kali.
Yayan: “Kamu percaya, konsep Jodoh bahawa Jodoh Tidak Akan Kemana?”
Nara: “Ehmmm, percaya, kenapa?”
Yayan: “Begini ra, aku tau, kalau aku nembak kamu pasti ditolak, aku sadar diri kok, tapi kamu percaya kan kalau Jodoh tidak akan kemana? Jadi bagaimana kalau kita suit aja, kalau aku menang, kamu jadi pacarku, kalau kamu yang menang berarti kamu menolak, dan aku gagal buat jadi pacarmu, gimana?”
Semua mata kini kembali menoleh, ketololan apalagi yang dibuat salah satu temanya ini, bagaimana bisa meminta seseorang cewe buat jadi pacarnya dengan suit? Tapi aku sendiri tertawa, aku ingin tahu apa yang dilakukan Nara, yang pasti yang aku tahu, Nara itu orang cerdas dan sangat pintar. Aku benar-benar penasaran dengan apa yang akan dilakukanya.
Nara: “Oke, fine.”
Tettooottt!!! Semua anak kini melotot tak percaya, begitu juga dengan ku, hah? Kenapa dengan dia? Kenapa dia bisa sebodoh itu menerima tantangan bodoh seperti itu? Itu kan Cuma permainan kata-kata, kenapa dia gak balik aja kata-katanya, itu yang aku tunggu-tunggu, balik kata-katanya, aku ingin tau bagaimana dia membalik kata-kata Yayan yang memanfaatkan konsep Jodoh untuk menentukan apakah Nara akan jadi pacarnya atau tidak.
Keringat dingin keluar dari semua anak laki-laki, mereka pasti sangat kesal, bagaimana mungkin semudah itu? Termasuk aku. Mungkin sekarang ini semua anak laki-laki berdoa agar Yayan gagal, dan ia mendapat giliran mencobanya.
Yayan: “Hahahahaaa… assikkk… Oke sekarang kita suit.”
1, 2, 3 teng, Yayan menurunkan tanganya dan mengeluarkan Telunjuknya. Dengan telat beberapa detik, Nara menurunkan tanganya dan mengeluarkan Jempolnya, tentu membuat posisinya menang. Sebelum Yayan sempat protes Nara berkata, “Memang benar jodoh engga akan kemana, tapi sebagai manusia kita toh tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, dan manusia dibebaskan untuk berusaha memilih yang terbaik untuk dirinya.” Dia mengatakan hal tersebut dengan tersenyum begitu manis. Ya ampun, aku pikir bukan salahnya juga kenapa semua orang Jatuh cinta padanya, kenapa aku sendiri dibuat gila olehnya, dia itu.. benar-benar sesuatu. Dan aku benar-benar jatuh cinta padanya. Like an Angel.
Tama tersenyum jengah, ia tidak mau kalah. Ia juga ingin beraksi.
Ia berjalan ke arah Nara, di depan bangku Nara ia memberikan bunga tanpa berkata apapun, sepertinya ia juga telah mempersiapkanya hari ini. Nara menerimanya.
Tama: “Ra, mungkin di antara yang lain, mungkin dibandingkan dengan anak-anak lain, cintaku padamu bukanlah apa-apa, cintaku padamu adalah yang paling kecil. Hanya seujung kuku jari kelingkingku Ra, tapi, tahukah kamu? Sebanyak apapun kamu memotongnya, dia akan tetap tumbuh. Sama dengan cintaku padamu, sebanyak apapun kamu memotongnya, ia akan tetap tumbuh, tumbuh untuk terus mencintaimu.”
Cerdas, perfect, aku yakin tak akan ada kata-kata yang bisa membatahnya. Hanya seperti itu, hanya sesederhana itu, tapi, sungguh aku akui itu kena banget. Aku, iri. Aku pasrah.
Nara: “Manis Ma, thanks buat cintamu.” Ia tersenyum manis seperti biasanya. “Tapi, tapi telah ada seseorang di hatiku, dan aku menunggunya. Maaf Ma, sepertinya kita lebih baik berteman saja.”
Aku tersnyum mendengar jawaban Nara, walaupun sebenernya aku juga tidak tega melihat Tama, baru kali ini Nara benar-benar menolak dengan tegas, mungkin memang karena tak ada kata apapun lagi yang bisa menggantikanya.
Ujian akhir selesai sudah, semua anak yang tadinya terbebani, sekarang tampak lega, walaupun hasilnya belum jelas apakah mereka akan lulus atau tidak, tapi paling tidak mereka bisa bernafas untuk berhenti belajar sejenak.
Aku berangkat cukup pagi, maksudku, cukup pagi karena siang akan segera datang. Jam 11, aku melihat anak-anak bermain voli di sebagaian lapangan upacara yang diberikan Net. Aku lagi malas untuk ikutan, jadi aku duduk di depan lapangan, maksudku, di depan kelas yang menghadap kelapangan, kukeluarkan aja Xperia kesayanganku. Dan kembali mulai main final fantasi, sial, entah aku yang benar-benar bodoh atau bagaimana, dari kemarin aku tersesat di tempat ini, hanya berputar-putar saja bertarung dengan lebah-lebah bodoh yang tiba-tiba muncul juga monster lainya. Aku benar-benar tidak mengerti meski kemana lagi, udah aku cari di google abis ini kemana lagi, tapi tetep aja aku bingung”.
“Nunu..” Tiba tiba ia duduk di sampingku dan menyenggol tubuhku, memang sih engga sampai Experiaku jatuh.
Aku: “Oii, kamu, ehh, Nara. Ehnmmmm.. kamu engga ikut anak-anak main voli?”
Nara: “Ye.. cowo semua kali.”
Aku: “Ohh, iya juga.” Kataku salting.
Nara: “Abis lulus mau kuliah dimana nu?”
Aku: “Kamu kemana?”
Nara: “Kan aku dulu yang Tanya?”
Aku: “Hehe.. aku udah diterima kok di salah satu Universitas, masuk jurusa IT.”
Nara: “Kerennn, aku engga bisa Komputer Nu, gaptek, hahaha..”
Aku: “Emang kamu mau masuk IT juga?”
Nara: “Engga tau nih masuk kemana, heheee.. bingung juga.”
Aku: “Hehh? Ehmmm.. maksudku, kamu mah daftar dimana aja pasti ketrima, tapi.. ehhmm.. masa sih kamu belum mikirin masa depan, pengin masuk kemana?, pengin lanjutin kemana? Seorang Nara, yang, yah, semua orang tau deh susah mengungkapkanya, dia belum sama sekali kepikiran masa depan?”
Nara: “Apaan sih, kamu terlalu berlebihan menilaiku, aku.. cuma seorang wanita yang ingin jadi seorang istri yang terbaik untuk suamiku, aku cuma ingin jadi seorang wanita yang menjadi ibu yang terbaik buat anak-anaku.”
Aku: “HAHAHAAA!” Dziggg!, Nara meninju kepalaku, engga bukan meninju sih, Cuma sedikit meninju aja.
Nara: “Puas? Ketawa? Hemmm.. suka-suka kamu deh.” Nara berdiri, dan pergi.
Aku hanya diam melihatnya pergi, bodohnya aku. Arrrgghhh, kenapa susah sekali berkata aku juga menyukaimu Ra, seperti anak laki-laki lain.
Sudah kuputuskan, aku akan melakukanya, aku harus melakukanya.
Acara Perpisahan Anak-anak Kelas XII hari ini dilaksanakan. Aku datang ke gedung perpisahan cukup pagi, kali ini benar-benar pagi, karena aku ingin membantu panitia dalam menyiapkan semuanya, ehmmm.. walaupun sebenernya ada maksud lain.
Aku setting Notebook dan Proyektor yang nanti akan dipakai. Dan yah, aku copykan beberapa program dari flasdiskku, dan aku install disana, engga akan ada yang mencurigaiku. Sedikit aku setting Notebook ku sendiri agar bisa konek ke jaringan juga. Done, lalu aku pergi. Menghilang dalam keramaian anak-anak yang mulai berdatangan.
Seperti layaknya sebuah acara perpisahan, ada pembawa acaranya, yang berlaga sok lucu, walaupun aku tak pernah ikut tertawa. Ada acara sambutan dari bapak kepala sekolah, juga beberapa perwakilan, ada band-band anak-anak kelas XII yang mencoba menghibur, ada kamera yang merekam setiap kejadian. Dah yah semuanya lengkap seperti acara perpisahan.
Semuanya begitu menikmati, menikmati hari-hari perpisahan mereka. Hanya satu anak yang terlihat tidak tenang seperti biasanya, seorang cewe, yang dari tadi turun naik panggung, karena banyaknya penghargaan juga beberapa kali ia sendiri yang mengisi panggung perpisahan dengan bernyanyi, puisi, ucapan terima kasih dan lain-lain. Tapi matanya, mencari-cari ke kanan, ke kiri, ke arah manapun mencoba mencari satu-satunya anak yang tidak terlihat. Wajahnya lesu.
Ia kembali duduk di barisan depan, dengan malas. Ingin segera ia pulang, tapi acara belum selesai, masih ada satu lagi acara puncak, yaitu video cuplikan-cuplikan yang berhasil dikumpulkan juga foto-foto yang telah di desain sebaik mungkin untuk ditampilkan di panggung yang tidak akan terlupakan ini.
Lampu gedung di matikan, gelap seperti berada dalam gedung bioskop. Hanya satu notebook dan pantulan layar proyektor yang menyala, mulai menayangkan, semua cerita yang berhasil di dokumentasikan, masih ada foto-foto tentang Masa Orientasi dulu, dimana anak-anak kelas satu dikerjai senior, lalu tentang foto-foto kemenangan anak-anak berprestasi yang berhasil menyabet gelar juara, tentu foto dan Video tentang Nara beberapa kali lebih sering muncul dibanding anak-anak lainya, hingga keluarlah foto seorang anak memenangkan kompetisi Nasional di bidang IT, keluarlah namanya, dan tiba-tiba. Mati.
Notebook dan proyektor mati begitu saja, membuat ruangan yang hanya diterangi dua benda tadi begitu gelap gulita. Beberapa orang berlari untuk mengecek notebook dan proyektor kalau-kalau ada yang rusak, tapi tiba-tiba Proyektor kembali menyala. Bukan lanjutan video perpisahan yang menyala, tapi video animasi yang keluar.
“For Someone.” Tepat tertulis di tengah-tengah layar.
“Taukah kamu, ada seseorang yang selalu duduk dan memperhatikanmu?”
“Taukah kamu, ada seseorang yang hanya bisa kesal ketika semua anak laki-laki mengelilingimu?”
“Taukah kamu, ada seseorang yang hanya bisa pasrah ketika laki-laki lain mengungkapkan cintanya padamu?”
“Kamu Pernah berkata, kali ini bukan hanya tulisan yang muncul, Bersamaan dengan tulisan yang keluar satu persatu, kata demi kata, terdengar suara dengan menggunakan pengeras suara dari arah belakang. Semua orang mencari-carinya.”
“Masa SMA itu Cuma 3 tahun, setelah itu, masing masing dari kita akan berjalan menuju ke arah yang berbeda-beda, ke kehidupan yang berbeda-beda, Cuma 3 tahun, apa kamu yakin engga akan menyesal menyia-nyiakan waktumu untuk bolos meski Cuma sekali, meski hanya beberapa jam? Apa kamu yakin engga akan menyesali waktumu yang kamu pake buat dirimu sendiri tanpa kehadiran teman-temanmu? Suatu saat nanti, setelah kita semua berpisah, kita pasti akan merindukan masa-masa kita sekarang, jadi aku ingin isi masa-masa SMA ku sebaik-baiknya.”
“Kita telah mengisi masa-masa SMA kita dengan sebaik-baiknya, dan aku tak pernah lagi bolos, dan saat itu telah tiba, saat dimana kita akan berpisah, berjalan menuju ke arah yang berbeda-beda, ke kehidupan yang berbeda-beda. Tapi, itu membunuhku ketika membayangkan harus berpisah denganmu.”
Aku berjalan ke arahnya, melewati jalan kecil di tengah-tengah kursi, ia masih menghadap ke arah layar, tapi ia menundukan mukanya, sesekali aku melihatnya seperti, seseorang yang menangis sesenggukan.
“Nara, panggilku lembut.” Sedangkan layar di depan sana, kali ini menayangkan foto-foto tentangnya, tentang Nara yang aku permak sebaik mungkin. Sedangkan aku tak memperdulikan tatapan anak-anak dan guru-guru ke arahku.
Aku: “Nara..” panggilku sekali lagi, kali ini aku berada di depanya. “Maukah kau jadi istriku, menjadi ibu yang baik untuk anak-anaku? Anak-anak kita?” kataku lirih di depanya, tanpa menggunakan pengeras suara lagi.
Sesenggukan Makin menjadi, aku benar-benar tak tau kenapa ia menangis, apa.. aku mempermalukanya? Aku ingin menghentikan semua ini jika begitu.
Aku: “Nara. Maaf kalau kau tidak suka, aku akan segera menghentikanya, dan pergi dari sini.” Tiba-tiba Nara berdiri, dan memeluku. Masih sesenggukan untuk beberapa lama, kemudian ia mengatur nafasnya.
Nara: “Bodoh, darimana saja kamu hah? Aku. aku pikir kau tidak datang dan membolos di acara perpisahan ini, kau bodoh!” air matanya masih mengalir, tapi ia sama sekali tidak berusaha menyekanya.
Aku: “Aku..”
Nara: “Apa? Kamu mau jawab apa?” suaranya lirih, sambil terus sesenggukan. “Bodoh, tidakah kamu berpikir aku akan mencari-carimu? Aku benar-benar bodoh mencari-cari anak menyebalkan sepertimu, gelisah karena hal itu?”
Aku: “Eeee.. aku, minta maaf.”
Nara: “Apa maaf itu cukup?”
Aku : “Eeee.. aku benar-benar..”
Nara: “Kamu benar-benar bodoh!” potongnya cepat. “Menyebalkan! Apa ini? Apa yang kamu lakukan? Kamu sedang menembaku? Mengatakan cinta buatku?”
Aku: “Eeee.. itu”
Nara: “Kau bodoh, butuh waktu selama itukah untukmu mengatakanya? Berapa lama kita kenal dan satu kelas? Semua telah mengatakanya, dan kau baru mengatakanya? Meragukan, dan kau berharap aku menerimanya? Menjadi istrimu?”
Aku: “akuu.. ehmmm… itu,”
Nara: “Apa itu ahh eehh ahhh ehh?”
Aku: “DIAM!” kataku keras. “Dengarkan.. aku benar-benar menyukaimu, dan aku tak mau berpisah dengan mu, dengan alasan apapun, selamanya. Jadi, menikahlah denganku, jadi istriku. Bagaimana?”
Nara terdiam, mendengar kata-kata bodohku, ia kembali memeluku. “Bodoh, Taukah kamu, tak ada kata-kata lain yang ingin aku dengar selain kata-kata itu darimu.” Kemudian Ia tersenyum, manis, manis sekali, sebanyak apapun dan semanis apapun senyumnya yang pernah kulihat sebelum ini, lupakan. Lupakan semua itu, karena semua itu tak sebanding dengan senyumnya kali ini. Senyumnya ketika dia menerima lamaranku.
*Kata-kata susah:
- dipites itu artinya, di bunuh dengan cara menggenjetnya dengan dua jarinya, biasanya jempol dan telunjuknya.
By Nunu and Aciel, 25 Agustus 2013
Cerpen Karangan: Rizka Fajar Nugraha (Tulis Aja Zoro kalau bisa)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar