Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Bukan Punguk Yang Merindukan Rembulan


Satu tahun sudah berlalu, tapi Ipung masih begini saja. Masih memandanginya dari jauh tanpa kata. Mendekat pun Ipung tak berani. Dia terlalu tinggi untuk digapai, begitu pikir Ipung murung.
Namanya Saiful, akrab di sapa Ipung. Seorang pemuda 25 tahun yang cerdas. Ia mampu menamatkan pendidikan strata satunya pada usia 20 tahun dan dapat meraih pendidikan magisternya pada jurusan sama di usia ke-22-nya. Saat ini Ipung menjadi dosen muda di Universitas tempatnya belajar sambil mengambil pendidikan doktoral, masih dalam bidang yang sama. Tapi agaknya, kesuksesan akademik Ipung tidak di dukung dengan kesuksesan asmaranya. Perjaka muda ini bahkan sampai saat ini tidak mengetahui nama sang rembulan pujaan hatinya, tidak berani menegur dan hanya bisa memperhatikan dari jauh. Padahal sang rembulan adalah mahasiswinya sendiri.
“Bagaimana Pak Dhe? Ada kemajuan soal nyonya meneer-mu?” goda Ishaq, teman satu kelasnya di strata satu, yang sekarang memiliki toko tekstil di dekat simpang lima. Ishaq duduk di samping Ipung, di ujung anak tangga lantai dua masjid Baiturrahman, menikmati pemandangan alun-alun kota Semarang. Matahari terik sekali, maka setelah jama’ah sholat jum’at Ipung tidak langsung kembali ke kampus, apalagi dia sedang tidak memiliki jadwal mengajar siang itu.
Ipung menggeleng tanpa kata.
“Namanya? Sudah dapat? Aku bantu kau cari tahu identitas lainnya,” tawar Ishaq dengan logat Bataknya. Pria kelahiran Medan ini tampaknya gemas tiap kali mendengar curahan hati Ipung mengenai gadisnya. Tapi lagi-lagi Ipung menggeleng tanpa kata. Terdengar lirih keluhan rendah Ishaq mengomentari gelengan lembut kawannya itu. “Yaaahh… Bagaimana kau ini!”
“Pung, sampai kapan kau akan terus memendam perasaanmu padanya? Jika kau terus diam saja, gadis itu akan segera di ambil orang!”
Lirih Ipung menjawab, “Aku tahu.”
“Makanya, lakukan sesuatu! Minimal tanyalah namanya, kau bilang dia mahasiswimu, kan?”
“Iya,” jawabnya pendek.
“Macam mana pula kau bisa tak tahu namanya?”
“Mahasiswiku banyak, Haq, mana ingat dia di kelas yang mana,”
“Kau ini cinta tapi tak perhatian. Apa-apaan kau?” Ishaq menggeleng-geleng heran. “Kalau kau terus begini… Sudahlah, jadilah Ipung-nguk yang merindukan rembulan, hahaha..” ujarnya sambil menepuk pundak Ipung dan pergi meninggalkan dosen muda itu mematung di tempatnya.
“Aku tidak akan jadi punguk yang merindukan rembulan, tidak akan.” Ucapnya lirih. Ada kemantapan dalam ucapannya itu. Dalam hati Ipung berjanji, minggu ini ia harus tahu nama dan identitas gadis itu.
Pertama kali seumur kariernya Ipung mengabsen satu persatu mahasiswanya dengan teliti setiap hari, memperhatikan arah suara mereka satu persatu. Ipung benar-benar berharap menemukan belahan hatinya minggu ini. Tapi saat usahanya berhasil, Ipung justru bingung harus bagaimana.
Selanjutnya, selama satu minggu berikut ia hanya memandangi nama dan alamat rumah sang gadis. Bangga, puas dan bingung sekaligus. Apa hanya cukup sampai sini saja yang ingin dia capai? Hanya ingin tahu nama? Seharusnya tidak. Tapi Ipung merasa sudah cukup sekarang. Mencintainya dengan hanya mengetahui nama dan alamat sudah cukup.
“Kenapa lagi kau?” sebagaimana biasanya, Ishaq duduk menjajari sahabatnya. “Patah hati karena gadismu di ambil orang?” tanyanya mengejek. Tapi Ipung sama sekali tidak tersinggung. Ipung justru tersenyum bangga. “Aku sudah tahu nama dan alamatnya.”
“Wah, sudah maju kau rupanya, apa rencana selanjutnya?” Wajah Ishaq ikut sumringah mendengar kabar dari Ipung. Namun Ipung malah menggeleng dan serta merta memancing tautan kening Ishaq.
“Aku bahkan tidak tahu setelah ini mau apa. Entah kenapa, sekarang rasanya sudah cukup dengan hanya mengetahui nama dan alamatnya.”
Wajah Ishaq melongo sempurna. Benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran sahabatnya ini. Sang dosen muda yang tidak pandai dalam cinta.
“Sudah lama, Nak?” tanya seorang Ibu paruh baya kepada Ipung. Pemuda itu tersenyum dan menggeleng. “Tidak juga kok, Bu..” sanggahnya halus. Ibu itu kemudian duduk di hadapannya dan percakapan pun mengalir dengan lancarnya.
Sesuai dengan saran Ishaq, Ipung datang berkunjung ke rumah keluarga Bulan, gadis yang selama ini hanya mampu dia pandangi dari jauh. Entah tadi alasan apa yang dikarangnya hingga sang ibu dengan suka cita menyambut kedatangannya. Ipung sudah lupa, lebih tepatnya tidak lagi ingin mengingat tindakan nekatnya tadi. Yang penting baginya sekarang, dia sudah bisa duduk di hadapan ibu pujaan hatinya dan mengobrol dengan santai seolah ia sedang bersama ibu kandungnya. Maka ke sanalah Ipung tiap minggu secara rutin. Bukan mengencani sang putri, tapi memikat hati ibunya.
Sampai pada bulan ketiga kedatangannya, akhirnya Ibu Bulan meminta putrinya untuk turut serta mengobrol bersama Ipung. Gadis itu terlihat enggan, sedang Ipung tidak berani lama-lama menatapnya, pemuda itu menunduk dalam. Menetralisir perasaan dan hatinya yang mendadak menjadi tidak karuan.
“Lan, ini Nak Saiful, akrab dipanggil Ipung,” Ibu mengenalkan Bulan pada Ipung. Bulan tersenyum ramah sambil menangkupkan tangannya di depan dada. Ipung menyambutnya dengan melakukan hal yang sama.
“Nak Ipung ini dosen kamu kan, Lan?” agak terkesiap mendengar penjelasan ibunya, Bulan mengerutkan kening dan mengingat-ingat wajah tampan Ipung sesaat. Kemudian gadis manis itu berkata, “Ah, iya.” Seraya tersenyum dengan senyumannya yang membuat Ipung sulit bernapas. Sebagaimana percakapan Ipung dan Ibu Bulan mengalir dengan lancar, begitu juga percakapan Ipung dan Bulan. Dan ajaibnya lagi, hari itu nampaknya peristiwa hebat terjadi dengan kehidupan Ipung, hari bersejarah yang tidak akan dia lupakan hingga akhir hayatnya.
“Lan, Ipung ini pemuda yang baik, Ibu berharap dia bisa menjadi menantu Ibu,” tutur sang ibu di akhir percakapan mereka. Ibu Bulan hanya punya satu putri. Hanya gadis manis itu seorang. Dan Ipung hanya bisa terbengong-bengong mendengar ucapan sang ibu, sungguh dia tidak menyangka akan begini sukses kelanjutan dari idenya, mendekati sang ibu untuk sang putri. Sebaliknya, Bulan malah tertawa kecil.
“Ibu ini, memangnya Mas Ipung mau sama saya?”
Ibu Bulan mengedipkan mata pada Ipung. Pemuda tampan itu memang sudah beberapa kali menceritakan kisah cinta jarak jauhnya pada Ibu Bulan. Tapi hal ini tak pernah dia duga. Ipung yang dari tadi menunduk mulai mengangkat kepalanya.
“Jika Ibu mengizinkan dan Bulan bersedia, saya sebenarnya juga ingin menjadi menantu Ibu,” pemuda itu kini tidak lagi memendam perasaannya, menyimpan cinta rapat-rapat dalam hatinya. Dia sudah menyatakan niatnya dan sudah berani berbicara langsung pada pujaan hatinya. Lirih, batin Ipung berkata; Kau lihat, Ishaq, aku bukanlah punguk yang merindukan rembulan.
SEKIAN
Cerpen Karangan: Aya Emsa

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar