Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Love Season: Regret


Suatu pertemuan yang tak terduga
Pada akhirnya akan menimbulkan suatu perpisahan
Yang tak terduga pula.
Aku berlari menyusuri etalase sebuah café. Sebuah café yang menjadi tempat favoritku di segala suasana. Hampir setiap hari aku mampir kesini. Ah, di saat seperti ini memikirkan hal tersebut kurasa tak ada gunanya. 5 menit yang lalu sahabatku, Riri, meneleponku. Nada bicaranya tak santai. Kurasa hal yang akan disampaikannya sangat penting. Buru-buru aku membereskan barang-barangku dan beranjak dari café sampai akhirnya…
Bbrakk…
Aku menghantam sesuatu dan walhasil semua barang-barang bawaanku dari mulai buku-buku novel dan pelajaran sampai ponselku pun terjatuh. Aku segera meraih semuanya hingga kudengar sebuah suara menyapaku.
“Maafkan saya nona. Biarkan saya membantu membereskan semuanya.” Ucap seseorang di hadapanku yang bahkan aku tak tahu siapa dan saat ini ia sedang membantuku membereskan barang-barangku.
Setelah semuanya beres aku mencoba menengadahkan kepalaku dan kembali berdiri untuk melihat siapa yang tadi telah menghalangi jalanku dan bersiap memakinya. Namun, setelah aku berhasil menatapnya aku pun mengurungkan niatku. Aku benar-benar terkejut melihat seseorang yang sekarang sedang berdiri di hadapanku ini. Kurasa ia pun sama terkejutnya denganku.
Kuteliti lagi setiap lekukan wajahnya, bentuk hidungnya, lalu ke matanya dan kembali turun ke bawah untuk melihat bibirnya. Sekarang aku benar-benar yakin jika aku tidak salah orang. Akhirnya aku pun buka suara.
“Tommy?” ucapku menunjukkan keterkejutanku.
“Lyan? ini bener kamu kan? temen smp yang sering kujailin itu?” Tanyanya agak ragu-ragu namun tak dapat menyembunyikan rasa penasarannya.
“Kenapa kamu inget aku karena hal itu? nggak ada hal lain apa yang bisa tersimpan di memorimu selain ngejailin orang? sampai-sampai untuk mengingatku pun kamu andalkan keahlianmu satu-satunya itu.” Rutukku sambil mengerucutkan bibir.
“Hahahaha, miss bawel nih, baru ketemu bukannya kasih senyum malah ngomel. Pake ngatai-ngatain segala lagi. Sorry ya, gini-gini nilai eksakku tinggi. Yaaa, meskipun nggak bisa nyaingin kamu sih. Tapi senggaknya kan aku nggak bego.” Ucapnya menimpali rutukkanku.
“kayaknya kamu buru-buru nih, mau kuanter nggak? mumpung aku bawa mobil.” lanjutnya menawariku tumpangan. Sejenak aku berpikir. Mungkin ada baiknya kalau aku ikut dengannya. Selain hemat ongkos setidaknya aku juga bisa menghemat waktu dibandingkan jika naik angkutan umum.
“hmm, boleh deh, sekalian sebagai penebusan dosa-dosamu selama ini ke aku.” Ia terkekeh mendengar jawabanku. Seketika ia menggandeng tanganku menuju mobilnya. Jelas ini membuatku kembali terkejut untuk kedua kalinya.
“Ngapain sih pake gandeng-gandeng? tinggal tunjukkin di mana mobilmu aja kan nggak susah. Aku bisa jalan sendiri.” Ucapku sewot. Tapi bukannya melepaskan genggamannya, ia malah semakin mengeratkan tangannya. Kutatap wajahnya. Dia tak merespon ucapanku. Ia hanya tersenyum dan terus berjalan. Terpaksa aku menurutinya.
“Inget nggak waktu kamu nyasar sendirian setelah kita nonton film bareng temen-temen smp?” akhirnya ia angkat bicara. Tapi bukan jawaban yang kuharapkan. “Inget.” Jawabku kesal karena dia tak juga melepas gandengannya.
“Aku nggak mau itu terulang di saat-saat seperti ini.” Jawabnya agak gantung. Aku jadi semakin tak mengerti dengan maksudnya. Apa saat ini dia sedang berpikir kalau aku akan menghilang lagi dan menangis seperti saat itu? apa dia masih menganggapku anak kecil yang harus selalu diperhatikan? apa dia masih berpikiran bahwa aku tak berubah dan tetap manja seperti saat kita berteman dulu?
Beribu pernyataan timbul dalam benakku dan lenyap seiring tak adanya jawaban. Kami berhenti di depan sebuah mobil Toyota Altis hitam. Ia mengeluarkan kunci mobilnya lalu sambil masih menggenggam tanganku ia membukakan pintu penumpang di samping kemudi. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya.
“silahkan masuk tuan putri.” Ucapnya mempersilahkanku masuk sambil tersenyum. Aku tak menggubris senyumannya dan masuk ke mobil dengan leluasa. “Dasar!” ucapnya lagi tapi masih dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Kulihat dia mengambil jalan memutar dan akhirnya duduk di kursi pengemudi.
“cepat, aku sudah terlambat.” Ucapku.
“memangnya kamu ini mau kemana?” tanyanya.
“mau ke rumah teman. Kenapa?” tanyaku sambil memandangnya angkuh. Tak kusangka ia malah tertawa keras. Aku bingung. Sebenarnya ada apa dengan anak ini? sikapnya berbeda dengan saat kita masih di bangku smp. Kata-kata yang muncul pertama kali saat melihatnya seperti ini adalah ‘dia aneh’.
“hey, ada apa denganmu? kenapa kamu tertawa?” aku menaikkan nada bicaraku. Aku benar-benar kesal sekarang. “hanya ke rumah teman apanya yang buru-buru?” jawabnya sambil berusaha menghentikan tawanya.
“dia butuh bantuanku.” Jawabku selembut mungkin. Tiba-tiba ia mencubit pipiku. “ah, iya iya. Aku akan segera membawamu kesana tuan putri.” Ucapnya sambil menyalakan mesin dan menginjak pedal gas. Aku memperhatikannya dengan tatapan aneh. Perubahan sikapnya ini… membuatku alergi.
Setelah 30 menit kami bersama tanpa sepatah kata pun akhirnya kami tiba di depan sebuah rumah. Belum sempat aku membuka pintu mobil Tommy sudah meraih tanganku dan menahanku untuk tidak keluar. Aku diam menatapnya tanpa berkata apapun walau sebenarnya aku sangat ingin menanyakan apa yang ia inginkan saat ini.
“pulangnya aku jemput ya.” Ucapnya seketika membuat jantungku mencelos. Aku tak tahu harus menjawab apa. “ng..ng.. tapi..” aku sangat sulit untuk menimbang perkataannya. Di satu sisi ini menguntungkan untukku. Tapi di satu sisi ini membuatku jadi segan padanya.
“oke, aku jemput kamu jam 5 sore. Cukup kan buat ngobrol sama temenmu?” tegasnya karena sedari tadi aku hanya terbata-bata. Aku hanya menganggukkan kepalaku tanda setuju lalu segera keluar dari mobilnya dan meringsek masuk ke rumah Riri. Berlama-lama dengannya bisa membuatku gila.
“riii, aku masuk ya.” Panggilku selembut mungkin sambil mengetuk pintu kamar Riri. “iyaaa.” Teriaknya merespon panggilanku. Aku meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Kulihat Riri sedang duduk dengan serius di depan meja komputernya ditemani dengan macam-macam camilan.
“ada apa? apa ada sesuatu yang mengganggumu sampai kamu menyuruhku buru-buru kesini?” tanyaku sembari mendekatinya.
Tiba-tiba ia berbalik dan menatapku dengan tatapan horror. Sepertinya ada yang tidak beres. Apa dia marah padaku?
“Ly, kamu jahat. Kamu sahabat paling jahat sedunia.” Ucapnya dengan air muka yang masih sama, membuatku semakin tak mengerti. “maksudmu apa? aku kenapa?” tanyaku dengan tampang bodoh karena kebingungan. “3 bulan dari sekarang kamu harus membereskan barang-barangmu dan angkat kaki dari rumah.” Jawabnya tegas. Tapi aku masih tak mengerti.
Kenapa tiba-tiba ia mengusirku? bagaimana dengan orang tuaku? ada apa sih dengannya? aku mematung di hadapannya.
“haduuuuh, kamu ini gimana sih? kamu nggak inget ini hari apa?” tanyanya sambil beranjak dari kursi dan menghampiriku. “ini hari sabtu kan?” jawabku ragu.
“bukan itu nenek. Dasar pikun. Hari ini pengumuman siapa 25 orang yang berhasil mendapat beasiswa ke Kyunghee university. Dan kamu adalah salah satu yang beruntung dari 25 orang itu. Kamu diurutan 13. sudah mengerti nek?” terangnya panjang lebar.
Aku menganga tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar.
Rasanya otakku mati dan tubuhku kaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Perlahan aku raih pundak sahabatku itu dengan kedua tanganku. “kamu nggak salah Ri?” hanya itu yang dapat kuucapkan.
Riri meraih kedua tanganku dan berusaha menenangkanku. “kali ini aku nggak akan bercanda Ly. Aku serius.” Air mata pun lolos dengan mudahnya dari kedua mata sipitku. Aku benar-benar merasa luar biasa saat ini. Sebulan yang lalu baru saja aku menjalani tes untuk mendapatkan beasiswa di salah satu universitas terbaik di korea, dan sekarang Riri mengatakan aku harus bersiap pergi kesana 3 bulan dari sekarang. Ini sebuah keajaiban.
“ih, dasar cengeng. Kamu ini nggak jelas. Di kasih kabar gembira malah nangis.” Ucapnya membantuku mengusap air mata yang membanjiri pipiku. “3 bulan dari sekarang? oh, ya Tuhan, terimakasih.” Ucapku sesenggukan diiringi tawa dari Riri.
“kuliah yang bener lho. Awas kalau kamu malah pergi ke Kona Beans buat ketemu Super Junior.” Candanya. “nggak kok. Paling Cuma nongkrong sebentar. Aku kan suka berkunjung ke café. Ya syukur-syukur sih kalau ketemu Super Junior. Paling nggak Kyuhyun aja deh.” Jawabku sambil cengengesan dan sukses mendapat jitakan dari sahabatku ini.
“aku bakal bantu kamu siapkan semua yang kamu butuhkan mulai hari ini. Jangan segan-segan oke.” Ucapnya sambil mengacungkan jempolnya ke arahku dan kujawab dengan sebuah anggukan. Semoga orang tuaku akan bangga dengan kerja kerasku.
“gimana ngegosipnya? seru?” Tanya Tommy kepadaku saat aku memasuki mobilnya. “aku bukan tipe cewek yang suka gossip. Jangan samakan aku dengan mantanmu.” Timpalku sewot. “wiiih, marah nih ceritanya. Maaf deh, kupikir semua cewek begitu. Aku lupa kalau kamu beda.” Ucapnya sambil melajukan mobilnya.
Aku kembali dibuat bertanya-tanya olehnya. Memangnya sejak kapan ia menyadari perbedaanku dengan mantannya? kalau aku berbeda kenapa ia tidak lebih memilihku? apa menurutnya aku ini aneh? tapi dia pernah bilang kalau pribadiku menyenangkan. Ah, sudahlah. Dengan berpikiran seperti ini malah membuatku semakin pusing. “kumohon Tom, jangan bangkitkan perasaan yang sudah susah payah ku kubur dan lupakan sejak 2 tahun silam. Jangan biarkan aku mengharapkanmu lagi dan akhirnya kau tinggalkan seperti dulu.” Batinku.
“malam ini nggak ada acara kan? temenin aku jalan-jalan yuk.” Ucapnya membuyarkan lamunan ku. “hmm? jalan-jalan? terserah kamu aja deh.” Jawabku tanpa memerhatikannya. Aku masih sibuk dengan diriku sendiri yang mulai gelisah karenanya. “hey, kamu nggak apa-apa? apa kamu sakit? kuantar pulang aja ya.” Dari nada suaranya bisa ditebak jika ia sedang panik. “nggak kok, aku nggak apa-apa. Cuma lagi mikir aja.” Jawabku meyakinkannya.
“mikirin apa? ada masalah? cerita aja sama aku siapa tahu aku bisa bantu.” Ucapnya kembali tenang. Selalu seperti ini. Sejak dulu kami berteman dekat kami selalu bertukar pikiran.
Jika aku ada masalah aku selalu menceritakan masalahku padanya, begitu pula sebaliknya. Sampai akhirnya ia melupakanku demi seorang gadis yang sejak tadi kusebut sebagai mantannya.
Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan apa yang menjadi beban pikiranku saat ini. Mulai dari kabar diterimanya aku sebagai penerima beasiswa di Kyunghee university sampai hal-hal yang kubingungkan perihal persiapan keberangkatanku kesana.
“ah, masih 3 bulan lagi kan. Nggak usah terlalu dipikirkan. Masih lama kok.” Jawabnya merespon setiap kalimat demi kalimat yang sudah kulontarkan. Ucapannya jelas membuatku kesal. 3 bulan apanya yang singkat? Aku belum tahu rencana selanjutnya ketika aku sampai disana. Apakah aku harus menyewa apartemen atau membeli rumah. Tidak mungkin kan jika sesampainya disana aku langsung menggelandang. Belum lagi barang-barang yang akan kubawa kesana. Aku bingung harus membawa apa. Hal-hal ini jelas akan membuat 3 bulan itu menjadi waktu yang singkat. Aku heran kenapa orang ini tidak pernah serius dan selalu saja membuatku kesal.
Tak terasa ini sudah hari terakhir semenjak 3 bulan yang lalu Riri memberiku kabar gembira itu. Besok, tepat jam 10 pagi pesawat yang akan membawaku ke Negara impianku itu lepas landas. 3 bulan yang sangat berarti untukku karena sejak insiden tabrakan di café siang itu aku bisa kembali akrab dengan Tommy dan tentunya akhir-akhir ini aku banyak menghabiskan waktu dengannya.
Tapi ada yang aneh padanya sejak dua hari yang lalu. Dia menghilang seolah di telan bumi dan sangat sulit untuk di hubungi. Huh, semoga tak terjadi apa-apa dengannya. Ah, kenapa aku jadi memikirkannya sampai seperti ini? “tidak Lyan, kau tidak boleh mengharapkannya lagi. Kau harus melupakannya.” Batinku.
Tapi, bagaimanapun juga aku harus mengabarinya mengenai keberangkatanku besok. Hmm, aku ingin mengajaknya jalan seharian karena ini hari terakhirku di Indonesia dan aku tak tahu kapan akan bertemu dengannya lagi. Aku takut merindukannya. Kupandangi layar ponselku dengan ragu. “semoga kali ini dia menjawab telponku.” Batinku.
Segera kutekan speed dial nomor satu di ponselku dan memasangnya di telinga. Aku mendengar nada sambung dengan gelisah takut kalau-kalau ia mengabaikan telponku dan tak menghubungiku seperti kemarin. “halo, ada apa Ly?” akhirnya ia mengangkat telponku. “kamu ada waktu nggak? hari ini kita jalan yuk.” Ucapku bersemangat. Namun tak seperti harapanku. Lagi-lagi dia sibuk tanpa alasan. Segera kuhentikan telpon tersebut dengan menekan tombol reject. “huh, kamu itu ingat nggak sih? ini kan hari terakhirku dan aku nggak tahu kapan bisa ketemu kamu lagi.” Sekarang aku sudah seperti orang gila yang bicara dengan layar ponsel.
Aku ingin marah padanya saat ini atas sikapnya padaku sejak dua hari lalu. Tapi itu tak mungkin karena aku tahu bahwa aku bukan siapa-siapanya. Pacarnya? tentu saja bukan. Aku hanya teman biasa baginya. Hal ini membuatku tidak berhak memarahinya hanya karena hal sepele seperti ini. Lagian itu hidupnya. Aku tak boleh mengekangnya. Dan perasaanku ini hanya cinta sepihak. Tak mungkin ia akan membalasnya.
Aku duduk gelisah sambil menatap layar ponselku. Sesekali aku melihat ke arah jam yang melingkar manis di tangan kiriku. Sudah pukul 9. Satu jam lagi aku akan benar-benar angkat kaki dari sini. Dimana kamu Tommy? apa kamu nggak ingat kalau hari ini sudah tepat 3 bulan dan aku harus pergi ke Korea? kau anggap apa aku selama ini?
Aku menyeret koperku perlahan menuju pintu masuk Gate C.
Berulang kali aku menatap ke belakang lalu melihat ponselku. Tetap tak ada tanda-tanda kehadirannya. Selangkah lagi aku tepat di pintu Gate C dan bersiap menyerahkan tiketku untuk di periksa. Tapi aku masih diam mematung, ragu. “baiklah kalau begitu. Sekarang aku harus meninggalkan semuanya. Aku harus melupakannya, lagi, untuk yang kedua kalinya. Terimakasih atas perhatianmu selama ini. Selamat tinggal, Tommy.” Batinku.
Akupun melangkah memasuki antrian panjang di pintu masuk Gate C. aku menyerahkan tiketku dan benar-benar bersiap untuk pergi. Aku tak dapat membendung air mataku yang sedari tadi kutahan. Akhirnya aku pun menangis. Entahlah, apa aku bisa bertemu dengannya lagi atau tidak. Tapi salahnya kenapa hadir tiba-tiba. Andaikan sebelum tes itu aku sudah bertemu kembali dengannya, mungkin aku tak akan pergi. Ah, sudahlah…
TOMMY SIDE
Aku baru selesai mandi ketika sebuah telpon mengusikku. Kupandangi layar ponselku dengan seksama. Riri. Ya, dia sahabat Lyan. Aku baru mengenalnya 3 bulan terakhir ini. Aku jadi sering bertemu dengannya karena setiap menemani Lyan berbelanja untuk persiapannya ke Korea ia selalu ada. Eh, tunggu dulu, Korea? bagaimana bisa aku melupakan Lyan? segera kuangkat telpon tersebut. “Tom, kamu nggak ke bandara? pesawatnya Lyan jam 10 lho.” Terdengar nada histeris dari seberang telpon.
Ya Tuhan, bagaimana aku bisa lupa? aku segera mengganti pakaianku dan menyambar kunci mobil. Bagaimana mungkin aku mengabaikan orang yang selama ini kucintai? bagaimana ini? sudah jam 9. Aku takut terlambat. Aku tak tahu jika bukan sekarang kapan lagi aku akan mengutarakan perasaanku dan mengikat janji dengannya. Aku ragu apa aku masih bisa bertemu dengannya setelah ini. Aku melajukan mobilku dengan gelisah. Sesampainya di bandara aku memarkirkan mobilku dan segera berlari kearah barisan pintu keberangkatan.
Aku mencoba menghubungi ponselnya. Tidak ada jawaban. Bagaimana ini? aku benar-benar kacau sekarang. Aku mondar-mandir kesana kemari berharap bisa menemukan sosok Lyan di keramaian. Tapi hasilnya nihil. Rasa penyesalan pun perlahan timbul dalam benakku. Aku menyesal tidak memilihnya waktu itu. Aku menyesal telah mengabaikannya dan memilih gadis lain. Aku menyesal telah mengabaikan panggilannya sejak tiga hari yang lalu. Kenapa aku baru menyadari kalau ternyata aku mencintainya? aku benar-benar bodoh.
Di tengah kegelisahanku tiba-tiba ponselku berbunyi tanda pesan masuk.
From: Lyan
“aku pergi ya. Aku menunggumu sejak tadi tapi kamu nggak datang-datang. Aku berharap bisa mengucapkan salam perpisahan secara langsung dan memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Karena aku tak tahu apa aku dapat bertemu denganmu lagi atau tidak. Tapi sepertinya kamu nggak berminat. Ya sudahlah, jaga dirimu baik-baik oke. Jangan menjahili orang lagi. Sudah saatnya untuk berubah. Selamat tinggal teman baikku.”
15/06/12 09:45
Aku terpaku menatap layar ponselku. Tubuhku terasa kaku. Aku tak dapat berpikir lagi. Sekarang semuanya sudah terlambat. Aku tak tahu harus bagaimana. Air mata perlahan menetes ke pipiku. Untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa kehilangan. Selamat jalan Lyan, semoga kau sukses mewujudkan cita-citamu menjadi dokter bedah jantung. Saat ini aku tak dapat menghalangi jalanmu lagi.
Aku mencoba mengetikkan sesuatu sebagai balasan pesan yang dikirimkan Lyan padaku.
To: Lyan
“selamat jalan. Jaga dirimu baik-baik. Aku mencintaimu.”
15/06/12 09:55
Dengan ragu akhirnya kukirim pesan teks itu. Hanya ini yang dapat kukatakan padanya sebagai pengakuanku selama ini. Andai masih diberi kesempatan, aku sangat ingin memeluknya dan meminta maaf atas ke munafikanku selama ini…
Cerpen Karangan: Dona Rahmayuanita

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar