Merenung. Itulah yang aku lakukan saat ini. Merenungi sesuatu. Ahh, lebih tepatnya merenungi seseorang. Seseorang yang begitu aku kagumi, yang bisa membuat pikiranku terbang entah kemana, yang membuatku terpana dan yang membuatku jatuh cinta. Setelah lama mengenalnya, aku baru sadar betapa aku telah jatuh cinta padanya. Jatuh cinta pada senyumannya. Aku ingat sekarang, senyuman itu. Sejak melihat senyum itu, aku sudah sadar aku tak akan bisa melupakannya. Tapi selama ini aku cuma mengganggapnya hal yang biasa.
Sampai suatu kejadian menyadarkanku. Untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tetapi entah kenapa aku menjadi ikut sedih melihatnya saat itu. Ada sesuatu di dalam diriku yang mendorongku ingin menghiburnya. Aku mencoba mendekatinya, tetapi aku terlambat. Seseorang telah dahulu berada di sampingnya. Merangkulnya dan berkata sesuatu padanya. Dan tidak berapa lama, perlahan-lahan kulihat dia tersenyum.
Aku merasa sesuatu yang ada di hati ini retak. Apakah aku cemburu? Aku tak tahu pasti. Tapi yang jelas, setelah melihat kejadian itu, aku langsung pulang. Aku pulang dan merenungi keadaanku. Mengapa hati ini begitu sakit? Apa benar aku telah cemburu? Tetapi kenapa aku cemburu? Lama aku merenungi keadaanku. Mencari tahu jawaban dari semua pertanyaan yang bermunculan di benakku.
Dan pagi ini aku baru tersadar. Ya ampun, kenapa aku begitu bodoh? Aku baru menyadarinya. Aku merasa senang setiap kali melihatnya tersenyum dan membuatku ikut terenyum bersamanya. Dan aku merasakan kesedihan ketika melihatnya sedih. Aku cemburu melihatnya bersama orang lain. Aku berfikir akulah yang seharusnya menghiburnya dan membuat dia tersenyum kembali, bukan orang lain. Dan aku terlambat menyadari bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
“Adly? Lo melamun ya?”
Suara itu? Aku mengalihkan pandanganku ke arah asal suara itu. Ternyata perkiraanku tidak meleset. Suara itu memang miliknya. Aku tersenyum memandangi dia. Melihatnya saja sudah begitu membuatku seperti ini. Ya, aku benar-benar telah jatuh ke dalam jurang cintanya.
“Hallo??!! Adly, lo kenapa sih? Kesambet ya?” raut mukanya terlihat heran dan khawatir. Ya ampun? Aku tersentak.
“Ehh, elo. Sory, Na. Lo baru datang?” kenapa aku jadi melantur begini sih? Sepertinya aku sudah salah tingkah deh.
“Ya sekitar lima menitan lah. Dan lo tahu tidak? Gue melihat orang yang matanya itu tidak berkedip selama lima menit. Hebat nggak tuh?” ceritanya sedikit takjub dan heran. Otomatis aku juga ikut penasaran.
“Oh ya? Siapa orangnya?”. Kulihat dia menyeritkan kening, lalu menjawab, “orangnya itu yang sekarang lagi ngomong sama gue.” katanya sambil mengarahkan jari telunjuknya padaku.
“Apa? Gue? Masa sih gue orangnya?” kataku agak kaget dan tidak percaya. Aku tidak percaya dia memperhatikanku semenjak dia masuk ke kelas tadi. Terbesit rasa senang di hatiku.
Dia menghela nafas dan berkata lagi, “ya ampun, Adly. Jadi tadi itu lo beneran melamun? Ngelamunin apa sih sampai segitunya? Ayo, ngaku nggak?”
Aku tersenyum. Inilah dia. Gadis yang aku cintai. Atau lebih tepatnya aku baru sadar bahwa aku mencintainya. Selenna Anissa. Sifatnya yang ceria, yang menyeretku untuk ikut ceria. “Ah, tidak. Gue nggak ngelamunin siapa-siapa kok?” ucapku berbohong.
Aku tersenyum. Inilah dia. Gadis yang aku cintai. Atau lebih tepatnya aku baru sadar bahwa aku mencintainya. Selenna Anissa. Sifatnya yang ceria, yang menyeretku untuk ikut ceria. “Ah, tidak. Gue nggak ngelamunin siapa-siapa kok?” ucapku berbohong.
Selena mengangkat satu alisnya, seperti berfikir sebentar. “Adly Deriandra. Lo tentunya tahu, gue bukanlah orang yang mudah dibohongi. Dari pengamatan gue, lo itu melamun. Dan lamunan lo itu adalah lamunan orang-orang yang lagi jatuh cinta. Lo lagi lamunin seorang perempuan. Iya kan?”
Apaaa??? bagaimana dia… oh, aku lupa. Selenna memang tidak mudah ditipu. Dia selalu tahu apa yang sedang dipikirkan seseorang. Dan sekarang dia berhasil menebak apa yang ada di pikiranku. Apakah dia tahu juga bahwa aku telah memikirkan dia dari tadi? Tetapi sementara lebih baik aku menjawab apa adanya. “Lo hebat, Selenna. Ya, gue memang sedang jatuh cinta pada seseorang gadis.”
Sekilas kulihat raut wajah Selenna. Dia kaget. Jujur, aku tidak pernah melihat dia sekaget itu. Tapi hanya sebentar. Selanjutnya dia hanya menjawab dengan suara agak serak, tetapi masih seceria nada awalnya. “Dan lo tidak mau menceritakannya ke gue. Adly, lo dan gue itu sudah berteman hampir dua tahun. Dan ini tentunya kabar gembira mengingat selama gue kenal sama lo, lo belum pernah bercerita tentang perempuan sekalipun kepada gue. Dan sekarang lo mau menyembunyikannya. Ayolah, Adly. Cerita dong. Apakah gue kenal orangnya?” dia berbicara panjang lebar.
“Tentu, Selenna. Gue akan bercerita sama lo. Tapi tidak sekarang. Gue akan menceritakannya ketika waktunya sudah tepat. Dan satu lagi, masalah lo kenal orangnya atau tidak. Ya, lo bahkan sangat mengenal gadis itu, Selenna.” Karena gadis itu adalah kamu.
Mata Selenna membesar. Dia tidak menyangka bahwa dia mengenal gadis yang membuat Adly jatuh cinta. Bahkan kata Adly, dia sangat mengenalnya. Berarti gadis itu berada tidak jauh dari kehidupannya. Dan dengan nada agak sedikit kecewa, Selenna berkata, “Baiklah. Gue akan menunggu cerita dari lo itu. Dan gue mungkin akan sedikit penasaran sebelum lo memberitahu ke gue siapa gadis lo itu. Dan ingat, Adly. Jangan terlalu lama menyimpan identitasnya.” Katanya dengan menggebu-gebu, dan agak memberikan penekanan intonasi pada kata gadis lo.
Mata Selenna membesar. Dia tidak menyangka bahwa dia mengenal gadis yang membuat Adly jatuh cinta. Bahkan kata Adly, dia sangat mengenalnya. Berarti gadis itu berada tidak jauh dari kehidupannya. Dan dengan nada agak sedikit kecewa, Selenna berkata, “Baiklah. Gue akan menunggu cerita dari lo itu. Dan gue mungkin akan sedikit penasaran sebelum lo memberitahu ke gue siapa gadis lo itu. Dan ingat, Adly. Jangan terlalu lama menyimpan identitasnya.” Katanya dengan menggebu-gebu, dan agak memberikan penekanan intonasi pada kata gadis lo.
Aku kembali tersenyum disertai tawaan kecil, kemudian menjawab. “Baiklah.” Dia tersenyum sambil mengacungkan jempolnya padaku dan untuk selanjutnya dia pergi mengikuti langkah teman-temannya. Hmm, untuk saat ini, biarlah aku pendam rasa ini. Biar dia tahu sendiri bahwa dialah gadis yang kumaksud. Semoga dia dapat membaca pikiranku yang satu ini.
—
Selenna melamun. Aneh, tak biasanya dia suka melamun, karena itu memang bukan kebiasaanya. Selenna hanya mengaduk-ngaduk minuman yang tadi di pesannya dan menatap kosong ke depan sambil bertopang dagu.
“Na, lo kenapa? Sakit ya?” Diana, temannya bertanya. Selenna hanya menggeleng dengan lesu. Dia sendiri menyadari dia sudah lesu ketika berjalan menuju ke kantin. Tepatnya ketika meninggalkan kelas.
“Lo kenapa sih, Na? Ada masalah ya? Cerita dong ke gue. Siapa tau gue bisa bantu.”
“Gue nggak kenapa-napa kok, Di,” Selenna menjawab dengan senyum yang agak dipaksa. Diana melihat itu, tetapi tidak ingin bertanya lebih lanjut. Diana tahu betul sikap Selenna. Walaupun Selenna menjawab dengan kata ‘tidak apa-apa’ tetapi sebenarnya dia menyembunyikan masalahnya.
“Ya, kalau gitu lo habisin deh minuman lo. Bentar lagi mau masuk.”
Selenna mengangguk. Tetapi tetap mengaduk kembali minumannya. Pikirannya kembali melayang. Memutar kembali waktu beberapa saat yang lalu, ketika Adly mengatakan padanya bahwa Adly sudah jatuh cinta. Entah kenapa dia merasa seperti… ah, tidak mungkin dia cemburu. Toh Adly bukan siapa-siapanya dia. Seharusnya Selenna senang jika sahabatnya itu akhirnya bisa jatuh cinta juga, bukan seorang g*y yang selama ini Selenna pikirkan. Tetapi hatinya terasa seperti bergemuruh. Sakit.
Selenna mengangguk. Tetapi tetap mengaduk kembali minumannya. Pikirannya kembali melayang. Memutar kembali waktu beberapa saat yang lalu, ketika Adly mengatakan padanya bahwa Adly sudah jatuh cinta. Entah kenapa dia merasa seperti… ah, tidak mungkin dia cemburu. Toh Adly bukan siapa-siapanya dia. Seharusnya Selenna senang jika sahabatnya itu akhirnya bisa jatuh cinta juga, bukan seorang g*y yang selama ini Selenna pikirkan. Tetapi hatinya terasa seperti bergemuruh. Sakit.
“Selenna??!!”
Selenna tersentak, “eh, kenapa Di?”
“Tuh kan, loe melamun lagi. Cepetan habisin minuman lo! Bel sudah bunyi tuh.” Diana berbicara terburu-buru. Selenna pun ikut terburu-buru. Dia berdiri dari kursinya dan menarik lengan Diana berlari-lari kecil menuju ke kelas mereka, meninggalkan minumannya yang masih utuh tak terminum.
—
Aku heran melihat Selenna hari ini. Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba dia seperti menghindariku. Dia juga lebih banyak terdiam. Tidak banyak bicara.
“Selenna…”
“Hmm,” dia Cuma bergumam. Aku menggeser sedikit kursiku ke arahnya. “Lo kenapa? Sakit ya?” Dia menatap ke arahku, tajam. Kemudian dia tertawa,
“hahaa, tumben lo perhatian banget ke gue. Tanyain gue sakit atau nggak lagi.”
“Ya dari tadi gue liatin lo lebih banyak diem dengan pasang tampang kusut tiap kali gue ajak ngomong. Dan gue rasa lo menghindari gue. Emang kenapa, gue ada salah ya?” Selenna terdiam lagi, lalu menggeleng pelan. “Gue nggak kenapa-napa kok. Gue juga nggak ngehindari lo. Mungkin perasaan lo aja kali,” ujarnya agak ketus.
Aku hanya bisa diam, kembali ke tempatku dan menyusun buku-buku yang ada di atas mejaku. Waktu istirahat kali ini kumanfaatkan untuk membaca buku kimia sebab nanti akan ada ulangan.
“Gue mau ke perpus. Lo ikut nggak?” Selenna bertanya padaku tanpa menoleh. Dia masih sibuk dengan buku-bukunya. Aku menatapnya dengan heran. “Ke perpus? Ngapain? Kita kan mau ulangan, Na?”
“Gue juga tau. Kita belajarnya di perpus aja. Mau nggak?”
“Gue di kelas aja deh. Lagian tumben amat lo mau ke perpus. Biasanya mampir bentar aja lo nggak mau.”
“Ya cari suasana baru aja sih. Ya sudah, kalau begitu gue duluan ya.” Selenna senyum dan pergi meninggalkan aku di kelas. Oh, aku selalu suka melihatnya tersenyum seperti itu. Aku menatap punggungnya dari belakang, yang selanjutnya hilang setelah melewati pintu kelas.
Kembali kualihkan pandanganku ke buku. Membolak-balikkan untuk memahami isinya, hingga seseorang datang dan mengambil duduk tepat di sampingku. Aku mengalihkan pandangan untuk melihat orang itu, dan tiba-tiba nafasku seakan berhenti saat itu juga ketika mengetahui siapa yang ada di sampingku. Dia menatapku dan tersenyum.
“Hai, Adly. Rajin bener lo baca buku.”
“Kelas gue ada ulangan. Lo ngapain kesini?” aku sudah berusaha menjaga nada suaraku tetap normal, tetapi di telingaku sendiri nada suaraku terdengar ketus.
“Sinis bener suara lo, Dly. Kenapa? Lo cemburu sama gue?” kulihat dia agak cengengesan melihat tingkahku. Apa maksudnya?
“Cemburu? Maksud lo apaan? Gue nggak ngerti?”
“Karena gue merangkul Selenna kemaren.” Aku kembali terkejut. Dari mana dia tahu. Aku menatapnya dengan pandangan penuh selidik. Atau jangan-jangan dia tahu aku ada disana. Seakan bisa membaca pikiranku, dia tertawa kecil dan mengangguk.
“Iya. Gue ngelihat elo waktu itu. Dan dari apa yang gue lihat, lo cemburu banget sama gue.” Gue hanya tertunduk mendengar ucapannya. Gue alihkan pandangan gue ke buku, tetapi pikiran gue berkabut. Ada suatu hal yang ingin gue tanyain ke dia.
“Lo suka sama Selenna?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari buku. Aku hanya melirik sebentar kedia kemudian mengalihkan pandanganku tadi. Kulihat sekilas ekspresi wajahnya agak terkejut, mungkin tidak menyangka aku akan menanyakan hal yang demikian.
“Iya, gue suka sama Selenna.” Jawaban singakat itu cukup membuatku teriris. Aku pererat pegangan buku. “Tapi lo jangan khawatir,” aku termanggu, kemudian menatapnya. Dia tersenyum. “Gue sudah ditolak, Dly. Tepat setelah lo pergi kemaren, gue merasa gue harus nembak dia pada saat itu juga. Dan gue melakukannya. Gue bilang bagaimana perasaan gue sama dia. Dia terdiam cukup lama sih. Gue pikir Selenna bakal nerima gue. Enggak tahunya dia nolak gue.”
Aku menatapnya sambil tertegun. Ada kesan kecewa ketika dia mengakhiri ceritanya tadi. Terbesit rasa kasihanku kepadanya, tapi disisi lain aku juga merasa senang. Kulihat dia kembali, dan dia tersenyum kepadaku, tulus.
“Gue tahu, dibalik persahabatan kalian, kalian menyimpan rasa. Tetapi kalian tidak mau mengungkapkan nya. Gue benar kan, Dly? Lo suka sama Selenna, sahabat lo itu.”
Aku tersikap, tetapi kini aku menjawab pertanyaanya dengan nada tidak seketus tadi. Kali ini lebih bersahabat. “Sok tahu lo,” kataku sambil tertawa. Dia pun tertawa.
“Gue bukan sok tahu. Tapi gue beneran tahu. Kejar dia Dly, nanti bahaya kalau didahuluin orang.” Dia berdiri dan menepuk pundakku. Kemudian mengacungkan jempolnya. Aku hanya tersenyum melihat dia berlalu dari kelasku. Sejenak aku sempat memikirkan kata-katanya. Ya, aku takut Selenna akan ditembak lagi oleh orang lain. Sepertinya aku harus bertindak cepat.
—
Selenna hanya menatap bukunya. Entah kenapa hari ini dia kehilangan semangat. Bahkan dia tidak tahu apa yang sedang dibacanya. Semua yang dilakukannya terasa linglung.
‘Gue memang sedang jatuh cinta pada seorang gadis.’ Kata-kata Adly tadi kembali mengusik pikirannya. Dia merasa sedih. Adly akan punya pacar. Dan dia sedih. “Aduh… Selenna, lo kenapa sih, seharusnya lo gembira.” Selenna menggerutu pada dirinya sendiri. Tetapi tetap saja dia merasa berat melepas Adly. Berat karena mungkin dia telah… Oh, tidak. Selenna menggelengkan kepalanya. Menghapus pikiran yang baru saja melintas.
“Kamu kenapa? Kok kelihatannya gusar?”
Selenna menoleh, mendapati Sony telah mengambil duduk tepat di sebelahnya. Dia tersenyum kecut. “Enggak kenapa-napa. Pusing aja lihat rumus yang mau dihapal.” Cuma itu satu-satunya alasan yang bisa Selenna ungkapkan, karena tidak sempat berfikir lagi.
“Tetapi dari wajah kamu, aku tahu kamu sedang tidak memikirkan tentang rumus itu. Lagian tadi kamu tidak sedang melihat buku.” Selenna terdiam. Mencoba berpikir mencari alasan yang lebih tepat. Tetapi pikirannya buntu, tidak mau diajak berkerja sama.
“Tadi aku baru dari kelas kamu.” Sony berbicara lagi, karena bingung melihat Selenna yang hanya terdiam. Selenna menoleh, “Oh ya? Ngapain?”
“Tadinya sih mau ketemu kamu, tapi kamu nya udah nggak di kelas. Kebetulan ada Adly, aku jadi nyamperin dia deh.” Mendengar nama Adly, Selenna jadi merasa bersalah karena telah berusaha menghindari Adly. Dan ternyata Adly sadar akan hal itu.
“Adly itu baik ya. Kamu beruntung bisa jadi sahabatnya.” Selenna menganggukkan kepala mendengar pernyataan Sony. Sony kembali melanjutkan ucapannya, “apalagi kalau kamu jadi pacar Adly, pasti kalian bakalan cocok.”
Selenna terperanjat mendengar ucapan Sony. Kemudian dia berkata, “sepertinya ucapan kamu hanya berlaku di dunia hayalan deh. Lagian Adly juga sudah menyukai cewek lain.” Ada kesan pahit ketika mulutnya mengucapkan kata-kata itu.
Sony hanya tersenyum dan memandangi Selenna. “Aku tahu. Dan aku juga tahu, Adly yang menjadi alasan kamu nolak aku.” Selenna menatap Sony dengan ekspresi terkejut.
“Sony, maafkan aku. Bukan begitu alasannya, tapi…”
“Kamu tidak bisa membohongi diri kamu Selenna. Kamu menyukai Adly, lebih dari sekedar sahabat.” Sony menghadapkan tubuh Selenna ke arahnya. “Dengar Selenna, aku sangat sayang sama kamu. Tetapi aku juga tidak bisa memaksakan hati kamu harus untukku. Bagaimanapun kamu punya pilihan tersendiri. Lagipula aku yakin Adly bisa menjaga kamu, seperti selama ini.”
Selenna terpatung, membatu. Mencoba menanyakan ke hatinya. Dia menunduk. “Kurasa kamu benar, Sony. Aku menyukainya, lebih dari seorang sahabat.”
Sony tersenyum. “Bagus. Kalau begitu katakanlah padanya.”
Sony tersenyum. “Bagus. Kalau begitu katakanlah padanya.”
Selenna menatap Sony. “Tetapi dia sudah menyukai gadis lain.”
“Dia belum memberi tahumu tentang gadis itu kan. Jadi kamu masih punya kesempatan. Dan menurut Adly, gadis itu sangat mirip denganmu. Atau kalau aku pikir-pikir, gadis itu memang kamu. Semoga pikiranku tidak meleset,” Sony tersenyum. Dia sengaja mengatakan hal itu supaya Selenna lebih percaya diri. Walaupun hatinya terasa berdenyut, dia rela. Asalkan Selenna bisa bahagia.
Selenna hanya menunduk malu. Dia juga berharap demikian. Sony benar, lebih baik dia mengatakan perasaannya ke Adly, sebelum Adly menyatakan cintanya kepada seorang gadis yang entah siapa dan membuat Adly bingung nantinya karena ulah sahabatnya ini. Tannggapan apa yang diberikan Adly itu urusan belakangan. Selenna menatap Sony, “terima kasih, Sony. Kamu adalah teman terbaikku.”
“Senang bisa menjadi teman terbaikmu. Sekarang lebih baik kamu pergi ke kelas, karena bel sebentar lagi berbunyi.” Tepat setelah Sony mengatakan hal itu, bel langsung berbunyi. Selenna membereskan bukunya dan membawanya bergegas menuju kelas. Tidak lupa dia melemparkan senyuman ke arah Sony.
—
“Nanti jalan yuk?” aku berkata kepada Selenna sambil membereskan buku yang ada di atas mejanya. Siswa lain sudah keluar kelas untuk pulang ke rumah masing-masing. Selenna menyipitkan matanya, “Lo ngomong sama gue, ya?”
“Enggak, sama tembok,” jawabku dengan ketus lalu kulanjutkan ucapanku,
“ya iya lah gue ngomong sama lo. Mau atau enggak?”
Selenna tersenyum sendiri. ‘Tidak biasanya Adly mau mengajak gue jalan.’ Hatinya sedang bersorak gembira sekarang. Aku yang melihat Selenna senyum-senyum sendiri menepuk pundak Selenna. “Hoi, lo kenapa senyum-senyum begitu?”
Selenna kalap dan malu didapati Adly senyum-senyum sendiri. Selenna menundukkan muka dan mencari kata-kata untuk menjawab, “eh, enggak. Yaa, gue ngerasa lucu aja lo mau ngajak gue jalan. Biasanya kan nggak pernah. Aneh aja gitu.”
Aku dan Selenna berjalan meninggalkan kelas. Sambil berjalan beriringan kami terus berbicara. “Gue sumpek aja hari ini. Apalagi seharian ini wajah lo seperti benang kusut. Ya tambah bete gue. Makanya, mau atau enggak?”
Selenna mengangguk cepat, “Ok, jam berapa entar? Dan ketemuan dimana?”
“Jam 19.30. Gue jemput lo. Oh ya. Lo mau gue antar pulang?”
Selenna tersikap. Belum pernah sebelumnya Adly menawarkannya tumpangan. Selenna menggeleng, “Abang gue mungkin udah jemput. Lo duluan aja.”
Dengan sedikit kecewa, Aku mengengguk. Aku kemudian pamit pada Selenna dan melangkahkan kakiku menuju tempat parkir. Mungkin nantilah saatnya aku akan menyatakan cintaku padanya.
Jam 19.15 Selenna sedang bersiap-siap. Entah kenapa dia merasa harus tampil cantik. Dia kembali menatap dirinya di depan cermin. Hmm, sudah rapi belum ya? Tanya Selenna dalam hati. Selenna berpikir sejenak. Dia ingin mengungkapkan perasaannya ke Adly, dan Selenna berharap jika pun Adly sudah ada yang lain, perhatian Adly untuknya tidak akan pernah berkurang. Walaupun hanya sebagai sahabat.
Terdengar suara bel berbunyi. Selenna segera melihat jam. 19.25. Mungkin itu Adly. Selenna kembali melihat dirinya di cermin, tersenyum lalu bergegas turun ke lantai bawah. Dibukanya pintu dan terlihatlah seorang pria berdiri di depan rumahnya, sedikit terpaku melihat Selenna. Selenna hanya tersenyim, lalu menyapanya.
“Hai, Adly. Sorry ya, gue kelamaan.”
Tanpa membalas ucapan Selenna, Adly langsung berkata, “lo… Ehm, lo kelihatan beda. Terlihat cantik.”
Selenna merasa pipinya memerah karena mendengar pujian Adly. “Oh ya? Terima kasih. Tetapi gue kan emamg cantik,” canda Selenna.
Adly hanya tertawa, “Hahaha. Iya deh. Pergi sekarang yuk.”
Selenna mengangguk. Setelah Selenna pamit dengan mamanya, mereka pun pergi. Adly menjalankan motornya ke arah taman kota. Mereka berdua lalu berjalan melihat-lihat suasana taman kota pada malam hari. Ternyata walaupun malam ini bukan week end, taman kota tetap ramai.
Selenna dan Adly berhenti pada sebuah tempat makan yang ada di dekat taman kota tersebut. Lama berkeliling ternyata cukup untuk membuat perut mereka keroncongan. Sambil menunggu makanan dating, mereka hanya berdiam. Tiba-tiba saja suasana terasa canggung. Selenna merasa mungkin sekarang saatnya. Tidak akan ada lagi kesempatan dia. Ayo, Selenna. Sekarang atau tidak sama sekali. Bisik batin nya.
“Adly.”
“Selenna.”
Mereka saling memandang. Tanpa disengaja, mereka memanggil secara serentak. Adly merasa dia akan mendengarkan Selenna terlebih dahulu.
“Kamu saja duluan.”
Selenna tersanjung dengan sikap mengalah Adly. Dan dia juga agak sedikit kaget, karena Adly memanggilnya dengan sebutan kamu, bukan lo. Selenna semakin gugup, tetapi dia berusaha mengalahkan rasa gugupnya.
“Sebenarnya aku mau bilang, aku takut kehilangan kamu.” Selenna dapat melihat raut wajah Adly, keningnya berkerut menandakan Adly tidak mengerti dengan ucapannya.
“Maksud kamu?”
“Ini soal kamu bilang kamu sudah menyukai seorang gadis. Seharusnya aku sebagai sahabat kamu merasa gembira. Tetapi tidak demikian. Aku takut kamu melupakan aku, tidak melihat aku lagi.” Adly mendengarkan tiap-tiap kata yang keluar dari mulut Selenna. Selenna kembali melanjutkan ucapannya. “Aku baru sadar, Dly. Aku tidak bisa melihat kamu sama orang lain. Aku … aku cemburu. Aku terlanjur suka sama kamu.”
Selenna akhirnya bisa menyelesaikan ucapannya. Sedikit perasaan lega karena telah mengatakan isi hatinya. Tetapi Selenna juga merasa malu, dia takut Adly malah menjauhinya. Selenna hanya menunduk. Sesaat kemudian dia merasa ada yang menggenggam tangannya. Dia mengangkat kepala dan melihat ternyata Adly yang mengenggam tangannya sambil tersenyum kepadanya.
“Ok. Sekarang giliran aku yang bicara.”
Adly menatap mata Selenna, “Aku sayang kamu, Selenna.”
Selenna terpaku. Tidak tahu harus bicara apa. Terlalu kaget mendengar pernyataan Adly. Pertanyaan muncul di benaknya, bukankah Adly suka sama seorang cewek.
Seakan bisa membaca pikiran Selenna, Adly tersenyum. “Aku kan pernah bilang, kamu sangat mengenal gadis yang aku suka. Dan sekarang gadis itu ada di depan aku. Gadis itu kamu. Aku tidak tahu kapan rasa ini muncul. Tetapi aku tahu aku tidak bisa membuang rasa ini. Aku suka semua tentang kamu, terutama senyum kamu. Itu yang membuat aku tidak ingin jauh dari kamu.”
Adly menatap Selenna. Dengan tetap mengenggam tangan Selenna, Adly menyambung kembali ucapannya, “Selenna, would you be my girl?”
Selenna hanya terdiam. Mulutnya mendadak menjadi kaku. Kepalanya terasa begitu ringan. Hatinya sekarang begitu riang. Tak menyangka Adly akan mempunyai rasa yang sama dengan yang dia rasakan. Selenna ingin sekali menjawab iya, tetapi mulutnya terkunci. Terlalu senang menyadari kenyataan. Akhirnya dia hanya bisa menganggukkan kepala.
Adly merasa lega. Tercapai juga tujuannya. Dia semakin mempererat genggamannya. Kemudian menatap Selenna. “Terima Kasih.” Ucapnya pelan, tetapi penuh dengan nada sayang. Selenna akhirnya bersuara. “Terima kasih kembali. Maaf, aku terlalu gugup.”
Adly tertawa kecil, “jadi, Selenna sayang. Aku mau bilang, aku sudah punya pacar baru. Kamu tidak perlu cemburu kok dengan pacar aku. Orangnya sekarang ada di depan aku, sedang malu-malu.” Canda Adly.
Selenna memukul Adly pelan. Malu dengan apa yang diungkapkan Adly. “Kamu tuh. Jago bikin aku deg-degan. Aku sebel nih…”
“Sebel-sebel, kamu juga sayang kan sama aku?”. Selenna tersenyum. Senyum yang membuat Adly makin jatuh hati. Senyum yang berhasil memikat hati Adly. Dan mereka berdua akan memulai hari baru dengan gembira dengan status bukan lagi sahabat. Tetapi status baru sebagai sepasang kekasih.
Cerpen Karangan: Nizahsy Lubis
0 komentar:
Posting Komentar