Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Tiga Sahabat Berakhir Dua


Pagi ini kota indah Jogjakarta diselimuti awan dingin. Selimut tebal masih menempel di tubuh, agar si dingin tak menyambangiku. Tapi tetap saja, aku tak bisa mengalahkan dingin hanya dengan selembar kain selimut. Ku buka pintu, emmmmm bau semerbak pagi menyambutku, menusuk dalam peraduan pernafasanku, “segar dan sejuk.” Gumamku sembari tersenyum pada wajah pagi. Mentari pun belum mau menampakan diri, masih malu-malu di ufuk timur yang jauh di dalam.
“woiii Ndut, ayooo cuss lari, malah masih bangun tidur.”
Suara yang ku kenal menyapaku di depan gerbang kos. Ya, itu suara Mufta bersama Adry. Mereka sahabat karibku. Biasalah kami selalu lari pagi setiap minggu. Emmm aku lupa, sebenarnya aku tidak gendut, hanya pipiku sedikit tembem saja, tapi biasalah mereka selalu usil menggangguku. Kadang mereka memanggilku Ibu. Katanya aku seperti ibu bagi mereka kalau lagi masak. Kadang aku dipanggil Bu Dosen. Karena aku sering membantu mereka menyelesaikan tugas kuliah, biasalah mereka anak-anak sedikit di bahwahku levelnya. “hehehehe. ini cukup aku yang tau…”
Kadang aku juga dipanggil mbok. Ya buat panggilan satu ini aku agak ogah si, karena kalau mereka udah manggil aku mbok, wahhhh berarti dandananku lagi kacau balau gak karuan, ancurrr se ancur-ancurnya.
“tunggu yo, aku ganti celana dulu kep.” Jawabku sembari masuk dalam kamar. Ya, KEP adalah nama panggilan Mufta. Dia mantan penggila b*kep, tapi itu dulu sih. Saat awal kita bertiga baru sahabatan, tapi sekarang telah berubah. Bukan b*kep lagi tontonanya, tapi buku yang jadi sahabatnya. Sungguh perubahan yang luar biasa dan cetar membahana.
Kami sering berlari mengitari kampus.
ya cukup satu putaran saja sudah membuat tulang kaki kami merasa lelah dan keringat kami menetes. Kampus yang cukup nyaman untuk berolahraga. Banyak pepohonan yang masih segar, ada taman yang kanan dan kirinya dihiasi tanaman kecil. Di samping belakang ada kolam yang ditumbuhi teratai dan rumah bagi ikan-ikan cantik.
“duduk situ yuk sob.” Ajak Adry sembari menunjuk kursi besar di taman. Nampaknya dia yang selalu menjadi juara pertama dalam lari. Ya maklumlah, dia atlit futsal. Timnya lumayan disegani oleh mahasiswa kampus. Adry ini cowok yang aneh, perasaanya seperti cewek. Jadi kalau dia main futsal dan kalah, wahhh itu berarti dia lagi galau berat. “Hehehehe sori bos Adry, dikit ngejek gakpapa kan.”
Kami duduk bersama, berbincang-bincang dan tertawa lebar. Bercerita banyak hal. Pagi ini kami membuat topik pembicaraan masalah masa depan kita bertiga. Bagaimanapun kami adalah mahasiswa semester akhir yang dikejar target. Bukan target skripsi sih, kalau itu kami bertiga merasa tidak berat, kami nikmati prosesnya. Tapi target yang kita buat sendiri dan kita ukir kata wajib di otak untuk diwujudkan. Inilah kami, tiga sahabat pemimpi besar. Julukan itu bukan kami yang buat, tapi teman-teman kampus. mereka selalu melihat kami pemimpi, ya pemimpi dalam hal apapun. Karena kami memang benar pemimpi yang akan siap mewujudkan mimpi-mimpi besar itu.
“elu Ndut. Masih nyimpen target yang dulu kita tulis di buku diary tiga sahabat?” tanya Mufta yang tiba-tiba mengingatkan mimpi kami dua tahun yang lalu. mimpi yang kami jaga dan kami perjuangkan hingga esok bisa tercapai.
“masih dong Kep. Aku gak akan melenyapkan target itu. Di otak ini sudah bayak cara buat wujudin mimpiku. Tepat seminggu setelah wisuda, aku bakal balik ke kampung. Aku pengen bantu anak-anak di kampung. Ya taulah kampungku di pelosok negeri ini. mimpiku Cuma satu sob. Aku pengen mengubah cara fikir masyarakat kampung. Aku gak pengen lagi denger anak-anak kampungku dibodohi pemerintah, aku juga gak mau denger anak-anak kampungku dijodohin dan dinikahkan saat mereka lulus SMA. Aku juga gak mau denger lagi anak-anak kampungku yang gak mengerti se*s dan akhirnya mereka hanya hamil diluar nikah tanpa tanggung jawab dari si lelaki. Pokoknya aku pengen mengubah kampungku jadi lebih baik. Ahhhh bakal jadi tugas berat nih target ku.”
Aku menghela nafas dan menatap langit. Seakan langit pagi yang mulai cerah itu mengerti akan beratnya tanggung jawabku di kemudian hari. Tapi, jika bukan aku yang mengubah tanah kelahiranku, lalu siapa? Pemerintah? Oh tidak, mereka tidak benar-benar peduli pada kampungku. Buktinya hingga kini jalanan masih berdebu tanpa aspal. Sekolah-sekolah reot layaknya gubuk mau runtuh. Penduduk yang minim fasilitas dibiarkan begitu saja. entahlah, daerahku termasuk daerah kaya di Negri ini, tapi uangnya kemanapun aku tak tau. “kalo kamu sendiri gimana Adry?” tanyaku tiba-tiba.
“kalau aku tetep. Lulus wisuda langsung ambil tabungan di Bank dan buka usaha di Bandung. Kebetulan Abang juga udah punya usaha disana, jadi aku bisa belajar dari abangku. Aku pengen umur dua puluh lima udah kaya sob. Hehehe. Pokoknya harus udah punya rumah dan mobil sendiri. Itu targetku. Keren kan? Hahaha pemimpi besar.” Adry tersenyum lebar pada kami dengan wajah optimisnya. Adry memang terkenal rajin menabung sejak awal masuk kuliah, jadi ya pasti tabungan di Banknya sudah banyak, apalagi dia juga suka investasi. Dia punya sedikit investasi di saham dan Reksadana. Katanya.
“kalau aku tetep. Aku pengen dapet beasiswa ke luar negri. Aku mau belajar sastra disana. Dan jadi penulis terkenal di luar negri. Aku gak mau pulang ke Indonesia.” Kata-kata terakhir Mufta membuat kami bertiga sejenak diam.
Dari dulu aku selalu tak setuju dengan mimpi Mufta. Karena jauh di lubuk hatiku ingin jika kami bertiga tetap berjuang di satu tanah, Indonesia. Walau beda pulau tak masalah, yang penting tetap di Negri ini. Tapi rasanya semua sia-sia. Mulutku serasa sudah terkunci untuk menasehati Mufta. Apalagi hatiku, sangat lelah jika mendengar mimpi Mufta untuk ke luar negri. Apalagi Adry, Ia sudah sangat enggan meminta agar tetap berkarir di Negri ini.
Aku selalu tersenyum jika ingat masa-masa kuliah. Indah bersama sahabat-sahabat itu. Mereka berdua selalu membuatku kuat dalam kehidupan. Tapi semua itu sudah tiga tahun yang lalu, sekarang disini aku sendiri. Bersama target yang belum tercapai. Sulit dan harus berjuang sendiri di kampungku. Kadang aku lelah mewujudkan target yang aku tulis sendiri.
Layaknya hari ini, aku dimaki oleh seorang Ibu-Ibu di depan forum ibu PKK yang aku bentuk. Dulu belum ada perkumpulan Ibu-Ibu seperti ini. ia memaki aku habis-habisan hanya gara-gara anaknya berhasil aku ubah fikiranya. Anak itu hampir saja dinikahkan dengan seorang duda oleh ibunya, tapi akhirnya anak itu menolak dan meminta kuliah ke tanah jawa. Sontak saja ibu itu tak memiliki biaya dan aku yang dipersalahkan. Katanya aku gak ngerti apa-apa tentang kehidupan rumah tangga.
“ehhh mbak. Anda Itu orang yang baru kemarin sore wisuda. Jadi jangan seenaknya menghantui fikiran anak-anak kami untuk sekolah. Jangankan sekolah, makan pun kami sulit. Sudahlah mbak, tiga tahun anda berjuang tak ada hasil kan. Saya mohon kembalikan kampung ini seperti dulu. Damai tanpa protes anak-anak yang meminta sekolah. Dulu cukup bagi mereka lulus SMP. Tapi lihat sekarang, lihat banyak anak yang meminta kuliah. Ahhhh saya gila dibuat oleh anda.” Begitu kurang lebih caci maki Ibu itu terhadapku.
Tentu saja aku tak ingin memperlihatkan kesedihanku. Aku sudahi saja perkumpulan Ibu-Ibu hari itu. Terasa sakit disini ( hati ). Benar-benar aku butuh seorang teman. Aku rindu akan Adry dan Mufta. Aku benar-benar lelah sekarang. Rasanya aku ingin menyudahi saja. cukup semua sampai disini.
Tapi aku juga heran pada orang-orang kampungku. Mereka bilang susah makan, dan susah menyekolahkan anaknya. Tapi kalau kredit motor mereka bisa. Apalagi Ibu yang baru saja memarahiku, beberapa hari yang lalu Ia baru saja membeli sebuah ladang dengan harga puluhan juta. Tentu saja, bukan alasan tak ada uang untuk menyekolahkan anak. Hanya ada yang salah dalam cara mereka berfikir. Ini yang harus pelan-pelan aku ubah.
Ahhhhhh ingin rasanya aku menangis dan berteriak pada desa tercintaku ini. mengapa mereka tak mengerti maksudku, mengapa Tuhan juga memberiku banyak batu besar di jalanku. Aku benar-benar lelah saat ini. Entah harus kemana kusandarkan hati yang lelah ini. jangankan calon suami, seorang pacarpun aku tak punya. Pacar? Ahhhh tak pernah terfikir olehku untuk berfikir tentang cinta sejenak. Terlalu sakit hati ini mengingat semuanya. Ahhhhh aku bisa gila jika menahan semua rasa ini sendiri. Rasa yang tersimpan rapi dari beberapa tahun yang lalu.
Siang yang cukup terik. Begitu panas dan melelahkan. Aku masih sibuk di sebuah sekolah tepatnya di sebuah SMP. Aku bekerja disini, menjadi salah satu pengurus SMP swasta. Dulunya SMP ini hampir dirobohkan, tapi alkhamdulilah aku bisa meyakinkah dewan sekolah dan pemilik sekolah untuk tetap membuka SMP ini. aku janjikan pada mereka dalam dua tahun sekolah ini menjadi baik. Dan sekarang setelah tiga tahun, SMP ini menjadi SMP favorit para masyarakat.
“Mbak ada yang mencari di ruang tamu.” Sapa salah seorang guru padaku. Tak ada yang memanggilku Ibu disini. Semua memanggil aku Mbak. Tak terkecuali para guru dan siapapun.
Aku mengangguk pelan dan anggun sembari menutup laptopku. Aku segerakan menuju ruang tamu.
Ahhhh betapa kagetnya diriku, sosok yang tak pernah aku sangka akan mengunjungi diriku. Ia terlihat tambah manis dan tampan dengan jas hitamnya. Sepatunya yang bersih, rambutnya yang terawat dan terlihat lembut. Wajahnya tambah putih, nampaknya selalu perawatan. Sungguh, sosok yang hampir tak aku kenali setelah tiga tahun tak bertemu.
“Adry…” kataku sembari sedikit mengerutkan kening, takut jika itu bukan dia, wajahnya banyak berubah.
Ia mengangguk, kami hampir saja berpelukan girang melepas rindu. Tapi aku ingat, ini sekolah, bukan tempat umum. Akhirnya aku tahan. Adry dan aku pergi keluar dari sekolahan ini, tentu setelah aku izin pada para guru.
Adry hampir membuat targetnya tercapai, kini ia telah memiliki mobil mewah, dan masih ada waktu dua tahun lagi untuk menabung membuat rumahnya sendiri. Usahanya sangat lancar karena bantuan dari Abangnya yang telah profesional dalam bisnis. Sesekali ia juga menyumbangkan dana untuk daerahku. Ya aku bisa membuat SMP ini maju tak luput bantuan dari Adry. Ia mengirimkan puluhan komputer, LCD, dan beberapa dana untuk merenovasi SMP ini.
Aku ajak Adry ke perpustakaan umum, disana ada warung kopi kecil. Ya warung ini miliku. Aku bangun dengan jerih payahku sendiri, aku menjual SLR-ku, aku menjual gadget-ku, dan aku menggadaikan motor baruku. Semua demi kemajuan desa ini, Desa tercintaku. Desa yang menerimaku lahir di tanahnya. Desa yang rela airnya aku gunakan. Dan desa yang tanahnya siap untuk sekali lagi aku injak-injak mewujudkan mimpi besarku.
Ada perpustakaan mini disini, ada kaset film yang bagus disini, tentu film yang baik-baik. Tak ada satupun film yang berbau p*rno. Di bagian belakang aku bangun sebuah taman kecil tempat membaca. Ya jam segini warung ini sepi, biasa ramai kalau anak-anak sudah pulang sekolah. Sekitar jam dua siang sampai malam.
Kami berdua berbicara banyak. Aku memeluknya. Aku menangis dalam pelukan Adry. Benar-benar lelah yang selama ini ada akhirnya bisa sedikit sirna, melihat sahabat yang begitu aku rindu hadir saat ini. tapi ada satu lelah yang tak bisa hilang hanya dengan kehadiran Adry. Aku rindu Mufta. Sosok itu yang aku harapkan hadir sekarang.
Aku mencintainya. Ya aku mencintai Mufta sejak awal bertemu, jauh sebelum aku dan dia bersahabat. Itu alasan sebenarnya mengapa aku menahanya pergi keluar negri. Aku terlalu tak kuat jika harus melepaskanya pergi dan tak kembali ke Indonesia. Berarti harapanku untuk memilikinya tidak ada. Aku menghela nafas panjang dan jauh ke dalam paru-paru. Merasakan sakit yang begitu hebat tersimpan disini (hati).
“ada dengar kabar Mufta gak Jen?” tanya Adry padaku. Ya namaku yang sebenarnya adalah Jeny.
Aku hanya menggeleng sembari menyandarkan kepalaku di bahu Adry. Aku menitikan butiran bening, merindukan sosok Mufta yang sangat gokil dan gila. Sosok yang dulu juga membuatku bertahan di Universitas itu. Sosok yang bisa aku jadikan penguat saat lelah. Tapi kini bukan Mufta yang ada, melainkan Adry. Sahabat yang juga begitu aku sayangi. Ya aku begitu menyayangi Adry sebagai sahabat.
Adry tau segala ceritaku di desa ini, dia faham aku begitu lelah. Setiap hari aku selalu sms atau telefon denganya dan bercerita apa saja yang terjadi hari itu. Tapi, tak ada satupun dari kami yang tau dimana Mufta. Terakhir kami bertemu di depan gedung wisuda. Setelah itu, tak ada satu kabar pun dari dirinya. Kami sudah berusaha mencari. Tapi semua akses tentang dirinya tertutup. Facebook, twitter, line, instagram, Hp, BB, dan semuanya tidak ada yang bisa dihubungi. Semua seakan mati tentangnya.
Pagi itu alarm Hp ku berbunyi. Ternyata nada pengingat. Lima tahun sudah kini kami bertiga berpisah. Berlari pada garis masing-masing. Mencari tujuan akhir individu. Tiba-tiba sebuah sms singkat masuk ke Hpku. Betapa senangnya diriku. Sms dari Mufta, mengundangku untuk datang ke Jogjakarta. Ia disana. Ia juga ternyata sudah memesankanku tiket penerbangan hari ini. tentu saja aku langsung pergi dengan baju seadanya di dalam koper.
Delapan jam sudah aku di dalam perjalanan. Di bandara aku disambut oleh orang suruhan Mufta. Ahhh betapa bahagianya aku, sudah ada Adry juga menungguku. Ternyata Mufta mengundang kami. Pasti Mufta mau buat surprise nih untuk aku dan Adry. Kami diantar ke hotel oleh orang suruhan Mufta. Pokoknya mufta telah mempersiapkan segala hal untuk kami.
Setelah kami selesai meletakan koper dalam kamar hotel, orang suruhan Mufta memberikan pakaian bagus untuku dan Adry, katanya kami harus mengganti pakaian sekarang juga. tentu aku dan Adry nurut. Pakaian yang indah dan tentu mahal, Made In Paris di lebelnya.
“Mufta…” aku berbisik lirih saat tiba di lantai sepuluh hotel itu. Airmataku terjatuh. Aku tak bisa membendung airmata ini lagi. terlihat Mufta tengah duduk bersanding di pelaminan dengan seorang wanita cantik. Tentu bukan wanita Indonesia, mungkin Paris, atau Inggris. Entahah aku tak tak tau. Adry menyeka airmataku, Ia mengira ini airmata kebahagiaan, karena ia tak tau jika aku begitu mencintai Mufta.
Kami bergegas menyalami mereka yang sedang asik berbincang di atas pelaminan. Tapi aku dan Adry begitu kaget, Itu bukan Mufta sahabat kami dulu. Tak mungkin jika itu Mufta, seakan Ia tak mengenaliku dan Adry. Ekspresi wajahnya biasa saja saat melihat kami datang, hanya senyum biasa. Sedang aku dan Adry hampir memeluknya, tapi ia enggan kami peluk. Seakan tak ada rindu di dalam hatinya untuk kami.
Ahhhh hatiku tambah perih melihat kenyataan bahwa Mufta sudah tak menganggap kami sahabatnya lagi. aku berlari keluar ruangan. Aku duduk di kursi santai yang menghadap kaca, Adry mengikutiku. Kami menggelengkan kepala, heran apa yang terjadi pada Mufta.
Benar-benar tak ada sambutan hangat dari Mufta. aku memeluk Adry, dan menangis sejadinya. Negeri orang telah membuat Mufta berubah bukan menjadi dirinya. Ia telah melupakanku dan Adry. Ia benar-benar tak ingat dahulu bagaimana aku susah payah mengajarinya bahasa inggris hingga Ia fasih dan bisa mendapat beasiswa. Ia tak ingat bagaimana dulu saat kuliah, kami bertiga tertawa bahagia. Ia benar-benar telah melupakan semuanya. Pantas saja tak ada kabar apapun dari dirinya. Kami kini hanya orang kecil di matanya. Ia telah menjadi pengusaha sukses di Paris, bukan dia, tapi usaha ayahnya yang dipercayakan pada dirinya.
Dan cinta di hatiku memang benar-benar tinggal sebuah harapan tak berjalan. Kupukul-pukul dada ini. ada sesak yang begitu hebat. Cinta yang ku perjuangkan selama delapan tahun, hanya kandas di dalam jalan kepedihan. Aku ingin berteriak pada Tuhan, tapi ahhh sudahlah. Aku nikmati lara ini. Biarkanlah. Aku masih punya Desaku, yang aku cintai dan mencintaiku. Dan ada Adry yang setia menjadi sahabatku, Ia tak pernah lelah untuk tetap bersahabat denganku.
Cerpen Karangan: R. P. Utami.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar