Yogi tak menyadari ketika roh kekasihnya Dara yang baru saja meninggal karena sakit jantungnya masuk ke dalam jasad Dido, korban tabrak lari kemarin sore. Tidak masuk akal memang tapi inilah kenyataanya yang tidak bisa di pungkiri oleh keluarga termasuk Yogi kekasih Dara. Dido yang akan di makamkan tiba-tiba bangun dari tidurnya setelah satu hari terbaring di kamar mayat. Dido hidup kembali dengan roh Dara di dalam tubuhnya. Dara kaget saat bangun ia telah menjadi seorang laki-laki muda. Ada apa denganku? Itu lah yang ada di benak Dara sekarang. Ia mencari keluarganya yang sedang berduka atas kehilangannya termasuk kekasihnya Yogi yang tak sanggup menyaksikan jasad Dara yang terbujur tak berdaya. Di rumah sakit yang sama, Yogi tepat di samping Dara saat penghembusan nafas terakhir Dara kekasihnya yang telah lama di vonis sakit jantung.
Dara dengan wajahnya sebagai Dido masuk ke kamar dimana ia di rawat. Ia kaget saat melihat jasadnya yang telah terbujur tak bernyawa di kelilingi keluarga yang di iringi isak tangis duka.
“Mamah, Papa, Yogi kalian kenapa?” Dara dengan wajah Dido menyapa. Yogi yang duluan melihat ke belakang aneh tak mengenal siapa pemuda yang menyapa ini. Mereka tak memeperdulikanya.
“Mamah kenapa? Kenapa menangis?”
“Kamu siapa?” Tanya Papa aneh sambil berduka.
“Ini aku Dara, anak papa.”
Yogi langsung menarik tangan Dido dari belakang menarik ke luar kamar.
“Siapa sih loe, jangan buat orang tua Dara semakin sedih. Jangan ganggu, mereka sedang berduka.” Yogi tampak kesal. Tapi Dido yang di dalamnya adalah Dara malah heran dengan sikap Yogi yang tak mengenali pacarnya sendiri.
“Yogi! Kamu apa-apaan sih. Ini aku Dara aku enggak meninggal aku hidup.”
“Eh loe jangan bercanda ya! Pergi loe dari sini!” Bentak Yogi menarik kerah baju Dara dengan pandangan matanya yang tajam. Yogi masuk kembali ke kamar.
Sementara Dara yang kini berwajah Dido memandang keluarganya yang sedang berduka dari balik pintu. Ia sadar bahwa ia telah meninggal namun rohnya masih hidup yang kini telah melekat di dalam tubuh Dido.
“Apa yang terjadi sama aku. Aku masih hidup tapi kenapa roh ku bukanya kembali ke badanku tapi kenapa malah pindah ke roh laki-laki yang bernama Dido ini?” Dara menangis.
“Mamah, Papa, Yogi kalian kenapa?” Dara dengan wajah Dido menyapa. Yogi yang duluan melihat ke belakang aneh tak mengenal siapa pemuda yang menyapa ini. Mereka tak memeperdulikanya.
“Mamah kenapa? Kenapa menangis?”
“Kamu siapa?” Tanya Papa aneh sambil berduka.
“Ini aku Dara, anak papa.”
Yogi langsung menarik tangan Dido dari belakang menarik ke luar kamar.
“Siapa sih loe, jangan buat orang tua Dara semakin sedih. Jangan ganggu, mereka sedang berduka.” Yogi tampak kesal. Tapi Dido yang di dalamnya adalah Dara malah heran dengan sikap Yogi yang tak mengenali pacarnya sendiri.
“Yogi! Kamu apa-apaan sih. Ini aku Dara aku enggak meninggal aku hidup.”
“Eh loe jangan bercanda ya! Pergi loe dari sini!” Bentak Yogi menarik kerah baju Dara dengan pandangan matanya yang tajam. Yogi masuk kembali ke kamar.
Sementara Dara yang kini berwajah Dido memandang keluarganya yang sedang berduka dari balik pintu. Ia sadar bahwa ia telah meninggal namun rohnya masih hidup yang kini telah melekat di dalam tubuh Dido.
“Apa yang terjadi sama aku. Aku masih hidup tapi kenapa roh ku bukanya kembali ke badanku tapi kenapa malah pindah ke roh laki-laki yang bernama Dido ini?” Dara menangis.
Pemakaman baru saja selesai. Jasad Dara telah terbaring di dalam tanah. Semua orang yang menyaksikan ikut berduka atas kepergiannya. Terutama Papa dan Mama Dara. Terlebih Yogi yang baru saja bertunangan dengan Dara, tapi sayang ajal telah menjemput Dara. Tapi tak pernah ada yang tahu kalau sebenarnya Dara masih hidup hanya jasadnya saja yang mati karena tak bisa bersatu lagi dengan rohnya. Namun rohnya, jiwanya masih hidup namun sebagai wujud Dido. Pelayat telah sepi kini giliran Dido yang menabur bunga di atas nisan Dara.
“Kenapa kamu di kubur Dara? Kamu tuh masih hidup?” Tutur Dido menangis ia belum menerima kenyataan yang terjadi sekarang Dara adalah Dido, dan Didolah yang akan melanjutkan hidup Dara. Dido memandang ke langit ini takdir Yang Kuasa.
Dido termenung memikirkan nasibnya, ia harus bagaimana agar bisa meyakinkan orang tuanya bahwa Dara masih hidup. Tidak mungkin orang tuanya percaya apalagi jasadnya baru saja di kuburkan.
“Oh Tuhan aku harus bagaimana…?” Ia menangis.
Dari kejauhan Yogi melihat lalu mendekat ke kuburan Dara.
“Loe? Kenapa loe ada di sini?”
Dido kaget karena Yogi datang tiba-tiba.
“Yogi, kamu?”
“Loe kenal gue? Siapa loe sebenarnya kenapa loe ada sejak di rumah sakit tadi? Loe siapanya Dara?”
“Yogi-yogi dengerin aku dulu, ya jelas aku kenal kamu aku Dara tunangan kamu.” Dido keceplosan ia lupa bahwa dia sekarang adalah Dido, bukan Dara.
“Loe jangan gila. Dari rumah sakit tadi elo ngaku-ngaku Dara melulu!” Tangan Yogi hampir melayang.
“Jangan Yogi. Gue teman dara please… jangan pukul gue.”
Kemarahan Yogi berkurang, tapi sebenarnya ia bingung secara dia belum pernah melihat Dido sebelumnya. Yogi segera beranjak dari pemakaman, ia kembali pulang.
“Kenapa kamu di kubur Dara? Kamu tuh masih hidup?” Tutur Dido menangis ia belum menerima kenyataan yang terjadi sekarang Dara adalah Dido, dan Didolah yang akan melanjutkan hidup Dara. Dido memandang ke langit ini takdir Yang Kuasa.
Dido termenung memikirkan nasibnya, ia harus bagaimana agar bisa meyakinkan orang tuanya bahwa Dara masih hidup. Tidak mungkin orang tuanya percaya apalagi jasadnya baru saja di kuburkan.
“Oh Tuhan aku harus bagaimana…?” Ia menangis.
Dari kejauhan Yogi melihat lalu mendekat ke kuburan Dara.
“Loe? Kenapa loe ada di sini?”
Dido kaget karena Yogi datang tiba-tiba.
“Yogi, kamu?”
“Loe kenal gue? Siapa loe sebenarnya kenapa loe ada sejak di rumah sakit tadi? Loe siapanya Dara?”
“Yogi-yogi dengerin aku dulu, ya jelas aku kenal kamu aku Dara tunangan kamu.” Dido keceplosan ia lupa bahwa dia sekarang adalah Dido, bukan Dara.
“Loe jangan gila. Dari rumah sakit tadi elo ngaku-ngaku Dara melulu!” Tangan Yogi hampir melayang.
“Jangan Yogi. Gue teman dara please… jangan pukul gue.”
Kemarahan Yogi berkurang, tapi sebenarnya ia bingung secara dia belum pernah melihat Dido sebelumnya. Yogi segera beranjak dari pemakaman, ia kembali pulang.
Sementara Dido bingung harus tinggal dimana, hari sudah malam. Ingin rasanya ia ke rumah orang tuanya tapi itu tidak mungkin mengingat orang tuanya tidak akan mengenalnya di tambah lagi mereka yang tengah berduka. Ia tak ingin menambah masalah kalau harus menceritakan yang sebenarnya. Kalau orang tuanya mendengar ceritanya bisa-bisa mereka tambah gila di buatnya. Dido menghampiri rumah Yogi ia melihat Yogi hendak pergi dengan mobilnya, Dido menyusup untuk mengikutinya dengan masuk bagasi mobil tanpa sepengetahuan Yogi.
Sampai sudah tepat di depan Clubbing tempat dugem, tampaknya Yogi mulai stres atas kepergian kekasihnya makanya ia hendak menghilangkan kepenatanya dengan minum-minuman k*ras. Dido keluar dari bagasi diam-diam ikut masuk ke dalam.
“Ngapain Yogi ke tempat seperti ini? Aku harus mencegahnya.” Ujarnya pelan. Ia masuk ke dalam cafe. Dalam kerlap-kerlip dunia gemerlap malam di tempat dugem Dido merayap mencari-cari Yogi dalam samar-samarnya lampu. Di tambah alunan musik yang membuatnya berisik. Cahaya lampu yang samar alunan musik yang menghanyutkan, Yogi asik minum hampir-hampir mabuk di buatnya. Baru kali ini dia seperti itu, mungkin kematian Dara lah yang menjadi sebab ia jadi seperti ini. Dido yang melihat Yogi mabuk segera menghampiri.
“Yogi kamu apa-apaan sih, pake acara mabuk segala?” Sahut Dido memegang lengan Yogi.
“Elo lagi-elo lagi, loe ngikutin gue ya!”
“Aku khawatir sama kamu…”
“Loe siapa sih, nggak usah sok akrab deh!” Kata Yogi sambil sempoyongan dan akhirnya jatuh pingsan di pangkuan Dido. Dido membawanya pulang ke rumah Yogi yang kebetulan tidak jauh dari Cafe.
“Ngapain Yogi ke tempat seperti ini? Aku harus mencegahnya.” Ujarnya pelan. Ia masuk ke dalam cafe. Dalam kerlap-kerlip dunia gemerlap malam di tempat dugem Dido merayap mencari-cari Yogi dalam samar-samarnya lampu. Di tambah alunan musik yang membuatnya berisik. Cahaya lampu yang samar alunan musik yang menghanyutkan, Yogi asik minum hampir-hampir mabuk di buatnya. Baru kali ini dia seperti itu, mungkin kematian Dara lah yang menjadi sebab ia jadi seperti ini. Dido yang melihat Yogi mabuk segera menghampiri.
“Yogi kamu apa-apaan sih, pake acara mabuk segala?” Sahut Dido memegang lengan Yogi.
“Elo lagi-elo lagi, loe ngikutin gue ya!”
“Aku khawatir sama kamu…”
“Loe siapa sih, nggak usah sok akrab deh!” Kata Yogi sambil sempoyongan dan akhirnya jatuh pingsan di pangkuan Dido. Dido membawanya pulang ke rumah Yogi yang kebetulan tidak jauh dari Cafe.
Ketika surya menampakkan cahayanya, pagi cerah langit pun merah lembayung segarnya suasana pagi benar-benar menghangatkan bumi. Cahaya mentari yang bersinar dari celah-celah jendela membangunkan Yogi dari tidurnya. Ia berusaha memulihkan ingatanya setelah semalam mabuk-mabukan. Ia kaget ketika melihat badanya yang sudah tak berbaju, tinggal sepenggal celana yang ia pakai semalam. Siapa yang menbuka bajuku? Itulah yang di pikiranya. Lalu ia melihat ke kanan seorang laki-laki sebayanya tengah tidur pulas di sofa kamarnya. Dialah Dido yang sejak semalam menolongnya dari aksi mabuk-mabukanya.
“Bangun! Apa-apaan loe di rumah gue? Di kamar gue pula!” Mendengar teriak Yogi, Dido pun tersentak bangun.
“Maaf-maaf Gi, semalam sehabis mengantar kamu pulang aku ketiduran di sofa, abis aku sudah ngantuk. Tapi nggak tahu harus tidur dimana, akhirnya aku tidur di kamar kamu.”
“Jadi semalem loe yang bawa gue pulang? Kenapa sih loe jadi ganggu hidup gue? Apa benar loe temenya Dara?”
“I iya-iya aku temenya Dara.” Jawabnya terbata-bata.
“Tapi kenapa gue baru lihat loe sekarang, dan kenapa loe jadi ada dalam kehidupan gue. Sepertinya loe selalu ngikutin gue!”
“Maaf Yogi, aku nggak bermaksud apa-apa cuma kebetulan aja ketemu kamu.”
“Lalu kenapa loe ada di Cafe semalam?”
“Aku mau nolong kamu, aku nggak mau loe jadi begini gara-gara kepergian Dara…”
“Itu bukan urusan loe!”
“Tapi…”
Yogi tampak cuek ia keluar dari kamar lalu pergi mandi menyegarkan badanya.
“Bangun! Apa-apaan loe di rumah gue? Di kamar gue pula!” Mendengar teriak Yogi, Dido pun tersentak bangun.
“Maaf-maaf Gi, semalam sehabis mengantar kamu pulang aku ketiduran di sofa, abis aku sudah ngantuk. Tapi nggak tahu harus tidur dimana, akhirnya aku tidur di kamar kamu.”
“Jadi semalem loe yang bawa gue pulang? Kenapa sih loe jadi ganggu hidup gue? Apa benar loe temenya Dara?”
“I iya-iya aku temenya Dara.” Jawabnya terbata-bata.
“Tapi kenapa gue baru lihat loe sekarang, dan kenapa loe jadi ada dalam kehidupan gue. Sepertinya loe selalu ngikutin gue!”
“Maaf Yogi, aku nggak bermaksud apa-apa cuma kebetulan aja ketemu kamu.”
“Lalu kenapa loe ada di Cafe semalam?”
“Aku mau nolong kamu, aku nggak mau loe jadi begini gara-gara kepergian Dara…”
“Itu bukan urusan loe!”
“Tapi…”
Yogi tampak cuek ia keluar dari kamar lalu pergi mandi menyegarkan badanya.
Dido membuka-buka kulkas di dapur, ia benar-benar lapar dari semalam perutnya kosong dan kini perutnya terasa keroncongan tak bisa di ajak kompromi lagi. Yogi yang hanya mengenakan handuk keluar dari kamar mandi.
“Loe? Kenapa loe masih di rumah gue?” Tanya Yogi tiba-tiba yang melihat Dido sedang makan kue. Hal ini membuat Dido kaget dan tersedak.
“Maaf… aku lapar..” Jawabnya. Tapi Yogi paham akan itu ia tidak marah justru membiarkanya makan setidaknya sebagai ucapan terima kasih karena Dido telah menolongnya semalam.
“Nama loe siapa?” Tanya Yogi.
“Kenalin, aku Dido.” Sambil mengulurkan tangannya.
“Oke. Gue ngucapin terima kasih karena loe udah ngantar gue pulang semalam, tapi… mau sampai kapan loe di rumah gue?” Tanya Yogi lagi. Mendengar pertanyaan itu Dido berhenti dari makannya.
“Hmm, emm aku… aku… sebenarnya aku nggak punya tempat tinggal, aku bingung harus tinggal dimana?”
“Loe nggak punya rumah?”
Dido diam, haruskah dia bilang kalau di dalam tubuhnya adalah Dara.
“Jadi selama ini loe tinggal dimana?” Sambung Yogi. Lagi-lagi Dido hanya diam.
“Aku… aku…”
“Ya sudah, loe boleh tinggal di rumah gue. Ya anggap saja sekarang gue yang nolong loe, lagi pula gue cuma sendiri di rumah.” Mendengar tawaran ini Dido senang kegirangan sampai-sampai ia lupa diri.
“Bener aku boleh tinggal di sini, terima kasih Gi…” Tak sadar ia mencium pipi Yogi. Yogi jadi marah.
“Loe apa-apaan sih, pake acara cium-cium segala!”
“Maaf… aku kebablasan, abis aku seneng banget.”
“Loe? Kenapa loe masih di rumah gue?” Tanya Yogi tiba-tiba yang melihat Dido sedang makan kue. Hal ini membuat Dido kaget dan tersedak.
“Maaf… aku lapar..” Jawabnya. Tapi Yogi paham akan itu ia tidak marah justru membiarkanya makan setidaknya sebagai ucapan terima kasih karena Dido telah menolongnya semalam.
“Nama loe siapa?” Tanya Yogi.
“Kenalin, aku Dido.” Sambil mengulurkan tangannya.
“Oke. Gue ngucapin terima kasih karena loe udah ngantar gue pulang semalam, tapi… mau sampai kapan loe di rumah gue?” Tanya Yogi lagi. Mendengar pertanyaan itu Dido berhenti dari makannya.
“Hmm, emm aku… aku… sebenarnya aku nggak punya tempat tinggal, aku bingung harus tinggal dimana?”
“Loe nggak punya rumah?”
Dido diam, haruskah dia bilang kalau di dalam tubuhnya adalah Dara.
“Jadi selama ini loe tinggal dimana?” Sambung Yogi. Lagi-lagi Dido hanya diam.
“Aku… aku…”
“Ya sudah, loe boleh tinggal di rumah gue. Ya anggap saja sekarang gue yang nolong loe, lagi pula gue cuma sendiri di rumah.” Mendengar tawaran ini Dido senang kegirangan sampai-sampai ia lupa diri.
“Bener aku boleh tinggal di sini, terima kasih Gi…” Tak sadar ia mencium pipi Yogi. Yogi jadi marah.
“Loe apa-apaan sih, pake acara cium-cium segala!”
“Maaf… aku kebablasan, abis aku seneng banget.”
Mereka diam, Yogi mengganti bajunya. Dido juga terdiam sepertinya ia memikirkan sesuatu. Meskipun luarnya adalah Dido tetapi di dalamnya adalah seorang Dara yang masih mencintai Yogi, tentu membuatnya bahagia karena bisa bersama dengan Yogi. Walaupun Yogi tidak menganggap dia sebagai Dara lagi, tapi tak apalah bisa bersama lagi saja itu sudah cukup bagi Dara alias Dido.
Dua minggu telah berlalu…
Yogi sedang menelepon seseorang, sementara Dido menonton tv. Terdengar pintu di ketuk, mereka kedatangan tamu.
“Do, bukain pintunya.”
“Ya…” Jawabnya melenggang ke depan dan membukakan pintu. Terkejut ia melihat Wirra sahabat Dara datang ke rumah Yogi. Mau ngapain dia? Itulah yang ada di benak Dido secara sahabatnya Wirra kan tahu Yogi adalah pacar sahabatnya sendiri Dara.
“Wirra?” Sapa Dido duluan. Wirra yang tak mengenalnya mengernyitkan dahinya.
“Siapa loe? gue nggak kenal sama elo?”
“Aku kan…” Dido berhenti hampir ia keceplosan akan mengatakan kalau ia adalah Dara.
“Yogi ada?”
“Ada, silahkan masuk.”
Yogi menyapanya dengan cipika-cipiki jelas membuat Dido yang dalamnya adalah Dara cemburu. Pake acara cium pipi segala. Gerutunya dalam hati.
“Yogi aku punya oleh-oleh buat kamu dari Belanda kemarin.” Kata Wirra.
“Oh ya, wah.. jadi ngerepotin.”
“Nggak apa-apa lagi. Cobain di kamar kamu yuk…” Wirra langsung menarik lengan Yogi menggiring ke kamar, Yogi harus mencoba baju dari Wirra yang sempat di belinya ketika jalan-jalan ke Belanda. Dido alias Dara cemburu atas kedatangan Wirra, apa lagi mereka masuk ke kamar apa yang akan mereka lakukan Dido tak tahu. Ingin rasanya ia mencegahnya tapi tidak mungkin Yogi pasti akan marah besar. Dara yang ada di dalam tubuh Dido baru sadar ternyata selama ini sahabatnya Wirra di belakangnya juga menyukai Yogi. Apalagi semenjak kematian Dara, ia pasti bebas kalau mau mendekati Yogi. Dasar pagar makan tanaman! Loe munafik! Loe bilang nggak suka sama Yogi!, itulah perasaan kesal yang saat ini ada di benak Dido alias Dara.
Yogi sedang menelepon seseorang, sementara Dido menonton tv. Terdengar pintu di ketuk, mereka kedatangan tamu.
“Do, bukain pintunya.”
“Ya…” Jawabnya melenggang ke depan dan membukakan pintu. Terkejut ia melihat Wirra sahabat Dara datang ke rumah Yogi. Mau ngapain dia? Itulah yang ada di benak Dido secara sahabatnya Wirra kan tahu Yogi adalah pacar sahabatnya sendiri Dara.
“Wirra?” Sapa Dido duluan. Wirra yang tak mengenalnya mengernyitkan dahinya.
“Siapa loe? gue nggak kenal sama elo?”
“Aku kan…” Dido berhenti hampir ia keceplosan akan mengatakan kalau ia adalah Dara.
“Yogi ada?”
“Ada, silahkan masuk.”
Yogi menyapanya dengan cipika-cipiki jelas membuat Dido yang dalamnya adalah Dara cemburu. Pake acara cium pipi segala. Gerutunya dalam hati.
“Yogi aku punya oleh-oleh buat kamu dari Belanda kemarin.” Kata Wirra.
“Oh ya, wah.. jadi ngerepotin.”
“Nggak apa-apa lagi. Cobain di kamar kamu yuk…” Wirra langsung menarik lengan Yogi menggiring ke kamar, Yogi harus mencoba baju dari Wirra yang sempat di belinya ketika jalan-jalan ke Belanda. Dido alias Dara cemburu atas kedatangan Wirra, apa lagi mereka masuk ke kamar apa yang akan mereka lakukan Dido tak tahu. Ingin rasanya ia mencegahnya tapi tidak mungkin Yogi pasti akan marah besar. Dara yang ada di dalam tubuh Dido baru sadar ternyata selama ini sahabatnya Wirra di belakangnya juga menyukai Yogi. Apalagi semenjak kematian Dara, ia pasti bebas kalau mau mendekati Yogi. Dasar pagar makan tanaman! Loe munafik! Loe bilang nggak suka sama Yogi!, itulah perasaan kesal yang saat ini ada di benak Dido alias Dara.
Dido berusaha mendengar pembicaraan antara Yogi dan Wirra dari balik pintu kamar.
“Gimana? bagus kan bajunya cocok banget sama kamu, nggak salah jauh-jauh aku beli dari Belanda.” Kata Wirra memegang-megang kerah baju yang di pakai Yogi.
“Thanks ya Wirr, kamu tahu saja seleraku.” Jawab Yogi.
“Oh ya gi, cowok tadi siapa? kok aku baru lihat, mana sok kenal lagi sama aku.”
“Dia emang baru tinggal di sini, katanya sih teman Dara.”
“Teman Dara? kok aku nggak pernah tahu ya, atau jangan-jangan… itu selingkuhannya. Soalnya semua teman Dara aku kenal, tapi yang satu ini… I don’t know!”
Dido menggerutu dalam hati enak saja Wirra mengata-ngatainya dan menjelek-jelekkan dia di depan Yogi. Dia melanjutkan aksi ngupingnya.
“Thanks ya Wirr, kamu sudah perhatian sama aku.” Lanjut Yogi menggenggam tangan Wirra. Ia memang merindukan perhatian seseorang kepadanya. Terlebih semenjak kematian Dara, tak seorang pun yang memanjakannya.
“Gi, aku sayang banget sama kamu. Selama ini aku hanya bisa memendam perasaan ini.” Kata Wirra dengan lembutnya, Yogi bagai terhipnotis ia tampak luluh di depan wanita cantik ini. Wirra mulai merayu lelaki di hadapanya. Ia menggantungkan tanganya di leher Yogi.
“Benarkah kamu sayang sama aku?” Tanya Yogi lagi penasaran.
“Ya, tentu. Aku sangat menyayangimu, aku nggak mau kamu terus-terusan terlarut dalam kesedihan. Aku siap menggantikan Dara dalam hidup kamu.” Wirra meyakinkan.
Dido melotot sekaligus terkejut mendengar ucapan Wirra hatinya bagai di sayat sembilu, begitu perih rasanya. Benar-benar Wirra menusuknya dari belakang. Sementara itu masih di dalam kamar Yogi dan Wirra semakin dekat, mereka terlarut dalam balutan cinta. Wajah keduanya kian mendekat. Yogi akan mencium Wirra, Wirra mulai terpejam matanya. Bibir Yogi semakin mendekat pada Bibir merah Wirra.
“Oh tidak!!” Dido yang menyaksikan dari balik pintu sungguh tak sanggup melihat pemandangan yang akan berlangsung.
“Ini tidak boleh terjadi!” pikir Dido dalam hati. Tiba-tiba Dido membuka dengan kuat pintu kamar, Yogi dan Wirra terkejut. Alhasil Wirra gagal mendapat ciuman pertama dari Yogi.
“Dido! Loe apa-apaan sih.” Kata Yogi marah.
“Ketuk dulu dong kalau mau masuk! Main nyelonong aja!” Sambung Wirra kesal juga.
“Maaf, maaf nggak sengaja. Aku cuma mau ngajak Yogi makan soalnya makanan cateringnya sudah datang, maaf ya. Permisi.” Dido keluar dengan seuntai senyum di balik bibirnya. Ia berhasil menggagalkan aksi mesra mereka. Kemudian Yogi dan Dido makan siang dan Wirra pamit pulang dengan hati kesal.
“Gimana? bagus kan bajunya cocok banget sama kamu, nggak salah jauh-jauh aku beli dari Belanda.” Kata Wirra memegang-megang kerah baju yang di pakai Yogi.
“Thanks ya Wirr, kamu tahu saja seleraku.” Jawab Yogi.
“Oh ya gi, cowok tadi siapa? kok aku baru lihat, mana sok kenal lagi sama aku.”
“Dia emang baru tinggal di sini, katanya sih teman Dara.”
“Teman Dara? kok aku nggak pernah tahu ya, atau jangan-jangan… itu selingkuhannya. Soalnya semua teman Dara aku kenal, tapi yang satu ini… I don’t know!”
Dido menggerutu dalam hati enak saja Wirra mengata-ngatainya dan menjelek-jelekkan dia di depan Yogi. Dia melanjutkan aksi ngupingnya.
“Thanks ya Wirr, kamu sudah perhatian sama aku.” Lanjut Yogi menggenggam tangan Wirra. Ia memang merindukan perhatian seseorang kepadanya. Terlebih semenjak kematian Dara, tak seorang pun yang memanjakannya.
“Gi, aku sayang banget sama kamu. Selama ini aku hanya bisa memendam perasaan ini.” Kata Wirra dengan lembutnya, Yogi bagai terhipnotis ia tampak luluh di depan wanita cantik ini. Wirra mulai merayu lelaki di hadapanya. Ia menggantungkan tanganya di leher Yogi.
“Benarkah kamu sayang sama aku?” Tanya Yogi lagi penasaran.
“Ya, tentu. Aku sangat menyayangimu, aku nggak mau kamu terus-terusan terlarut dalam kesedihan. Aku siap menggantikan Dara dalam hidup kamu.” Wirra meyakinkan.
Dido melotot sekaligus terkejut mendengar ucapan Wirra hatinya bagai di sayat sembilu, begitu perih rasanya. Benar-benar Wirra menusuknya dari belakang. Sementara itu masih di dalam kamar Yogi dan Wirra semakin dekat, mereka terlarut dalam balutan cinta. Wajah keduanya kian mendekat. Yogi akan mencium Wirra, Wirra mulai terpejam matanya. Bibir Yogi semakin mendekat pada Bibir merah Wirra.
“Oh tidak!!” Dido yang menyaksikan dari balik pintu sungguh tak sanggup melihat pemandangan yang akan berlangsung.
“Ini tidak boleh terjadi!” pikir Dido dalam hati. Tiba-tiba Dido membuka dengan kuat pintu kamar, Yogi dan Wirra terkejut. Alhasil Wirra gagal mendapat ciuman pertama dari Yogi.
“Dido! Loe apa-apaan sih.” Kata Yogi marah.
“Ketuk dulu dong kalau mau masuk! Main nyelonong aja!” Sambung Wirra kesal juga.
“Maaf, maaf nggak sengaja. Aku cuma mau ngajak Yogi makan soalnya makanan cateringnya sudah datang, maaf ya. Permisi.” Dido keluar dengan seuntai senyum di balik bibirnya. Ia berhasil menggagalkan aksi mesra mereka. Kemudian Yogi dan Dido makan siang dan Wirra pamit pulang dengan hati kesal.
Malam hari. Wirra datang lagi ke rumah Yogi tampaknya ia senang karena berhasil mengambil hati Yogi sehingga Yogi mencintai Wirra dan berusaha melupakan Dara yang hanya bagian masa lalunya. Tentu ini bukanlah yang di kehendaki Dara. Dara yang sekarang berwajah Dido sangat kecewa dengan keputusan Yogi yang menjadikan Wirra sebagai pacarnya. Padahal Dara merelakan Yogi berhubungan lagi dengan wanita lain, tapi kenapa harus Wirra wanita itu? Ia tahu Sifat Wirra bagaimana.
Di ruang tamu tampak Yogi dan Wirra sedang asik ngobrol sementara Dido hanya nonton tv di temani cemilannya. Dido tahu Wirra pasti mau bermesraan lagi dengan Yogi menyambung tadi siang yang sempat gagal, hal ini tentu membuat Dido cemas ia tampak gelisah melihat Yogi di pegang-pegang oleh Wirra.
“Dasar! Cewek gatel!” kesalnya dalam hati. “Pasti mau cari-cari kesempatan!!”
Dido sebenarnya tak fokus pada tontonan televisi melainkan mengawasi apa yang di lakukan Wirra terhadap Yogi, ia tak ingin Wirra yang ganjen terlalu berlebihan. Lalu Yogi dan Wirra mendekat ikut menonoton televisi, Dido benar-benar jadi kambing congek di buatnya. Wirra menggandeng mesra Yogi. Dido yang menyaksikkan kemesraan mereka hanya diam di sampingnya. Menyaksikan kemesraan mereka yang senbenarnya Dido alias Dara pun mengharapkannya.
“Film nya romantis ya.” Kata Yogi sambil ngemil cemilan Dido.
“Oh ya, kalau ini romantis nggak?” Wirra langsung nyelonong mencium pipi kanan Yogi. Membuat Dido makin panas.
“Dasar cewek gatel!!” Kesal Dido dalam hati benar-benar panas dengan aksi Wirra yang ganjen. Sungguh tak malu dia main nyelonong cium Yogi gitu aja. Dalam hatinya ia sakit benar-benar cemburu atas kemesraan Yogi dan Wirra. Andai Yogi tahu bahwa Dara tengah menyaksikkan dia, Yogi pasti malu karena telah berpaling darinya. Yogi terus menggenggam erat tangan Wirra.
“Aku sayang kamu.” Bisik Wirra di telinga Yogi.
“Iya, aku percaya.” Balas Yogi.
Dido menangis, andai Dara tak meninggal semua ini tidak akan terjadi. Andai saja Roh Dara tidak masuk ke dalam tubuh Dido mungkin Yogi masih menjadi kekasih Dara. Sedihnya dalam hati membuat matanya berkaca-kaca dan akhirnya meneteskan air mata, ya air mata kesedihan. Dido alias Dara menangis menyesali semua yang terjadi, seharusnya dia yang berada di samping Yogi bukan Wirra. Yogi melihat aneh Dido yang menangis.
“Loe kenapa nangis?” Dido segera menghapus air matanya.
“Enggak apa-apa aku cuma sedih aja. Film nya sedih banget.”
“Ohh…”
“Dasar! Cewek gatel!” kesalnya dalam hati. “Pasti mau cari-cari kesempatan!!”
Dido sebenarnya tak fokus pada tontonan televisi melainkan mengawasi apa yang di lakukan Wirra terhadap Yogi, ia tak ingin Wirra yang ganjen terlalu berlebihan. Lalu Yogi dan Wirra mendekat ikut menonoton televisi, Dido benar-benar jadi kambing congek di buatnya. Wirra menggandeng mesra Yogi. Dido yang menyaksikkan kemesraan mereka hanya diam di sampingnya. Menyaksikan kemesraan mereka yang senbenarnya Dido alias Dara pun mengharapkannya.
“Film nya romantis ya.” Kata Yogi sambil ngemil cemilan Dido.
“Oh ya, kalau ini romantis nggak?” Wirra langsung nyelonong mencium pipi kanan Yogi. Membuat Dido makin panas.
“Dasar cewek gatel!!” Kesal Dido dalam hati benar-benar panas dengan aksi Wirra yang ganjen. Sungguh tak malu dia main nyelonong cium Yogi gitu aja. Dalam hatinya ia sakit benar-benar cemburu atas kemesraan Yogi dan Wirra. Andai Yogi tahu bahwa Dara tengah menyaksikkan dia, Yogi pasti malu karena telah berpaling darinya. Yogi terus menggenggam erat tangan Wirra.
“Aku sayang kamu.” Bisik Wirra di telinga Yogi.
“Iya, aku percaya.” Balas Yogi.
Dido menangis, andai Dara tak meninggal semua ini tidak akan terjadi. Andai saja Roh Dara tidak masuk ke dalam tubuh Dido mungkin Yogi masih menjadi kekasih Dara. Sedihnya dalam hati membuat matanya berkaca-kaca dan akhirnya meneteskan air mata, ya air mata kesedihan. Dido alias Dara menangis menyesali semua yang terjadi, seharusnya dia yang berada di samping Yogi bukan Wirra. Yogi melihat aneh Dido yang menangis.
“Loe kenapa nangis?” Dido segera menghapus air matanya.
“Enggak apa-apa aku cuma sedih aja. Film nya sedih banget.”
“Ohh…”
Malam semakin sunyi, tampak Yogi mulai naik ranjang karena mulai mengantuk sementara Dido menangis sesunggukan di kamarnya karena sedih akan nasibnya yang menjadi seperti ini, ia tak pernah menyangka akan menjalani hidupnya sebagai seorang Dido. Sungguh tidak ada harapan lagi untuk ia menjadi Dara. Karena jasad Dara telah terkubur di dalam tanah. Sementara rohnya tetap abadi di dalam tubuh Dido untuk selamanya. Yogi tiba-tiba masuk ke kamar Dido.
“Loe kenapa nangis? Loe masih mikirin cerita film tadi?”
“Bukan urusan kamu.”
“Gue mau bantu kalau loe punya masalah.”
“Peduli apa kamu sama aku?” Yogi yang mendengar kata-kata itu mulai tersinggung.
“Eh, asal loe tahu aja ya. Gue ngebiarin loe tinggal di rumah gue itu karena gue care sama loe gue peduli sama loe. Meskipun gue nggak kenal loe sebelumnya. Apa itu kurang ngebuktiin kalau gue peduli sama elo! Gak tahu terima kasih banget sih!” Yogi mulai kesal.
“Kamu peduli sama aku lantaran aku temannya Dara kan?”
“Up to you deh. Kalau elo nggak suka silahkan kalau mau angkat kaki dari rumah gue. Loe yang datang sendiri ke rumah gue, bukan gue yang minta loe kesini!”
Tangisan Dido semakin menjadi layaknya seorang wanita. Luarnya memang Dido yang tampak tegar dan kuat tetapi di dalam tubuhnya adalah Dara wanita yang lemah dan sangat sensitif atas gertakan yang menyakitkan hatinya.
“Loe kok malah makin jadi sih meweknya. Kayak cewek aja tahu nggak.”
“Asal kamu tahu. Kesedihanku ini tidak sebanding dengan kesedihan yang Dara rasakan.”
“Maksud loe?”
“Ya! Aku nggak ngebayang betapa sedihnya Dara melihat pacarnya berpaling ke cewek lain. Ini yang kamu sebut cinta sejati!”
“Dan perlu elo tahu Do, ini urusan gue mau pacaran sama siapa aja. Bukan urusan loe!”
“Jelas menjadi urusan aku, Dara adalah sahabat aku. Apapun yang menyangkut dia menjadi urusanku termasuk perselingkuhan yang kamu lakukan sama Wirra.”
“Alah… itu alasan loe aja kan, bilang aja loe suka sama Wirra, sehingga Dara jadi alasan agar gue ngejauhin Wirra. Supaya loe bisa ngedapetin dia! Ngaku deh! Munafik loe!”
PRAAKKK!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Yogi atas kemarahan Dido.
“Asal kamu tahu. Aku tulus care sama Dara aku sedih karena Dara harus pergi sementara dia sangat mencintai kamu. Tapi apa balasan kamu terhadapnya semenjak kamu jadian sama Wirra sekalipun kamu nggak pernah datang ke makamnya.”
“Sekali lagi gue peringatin sama loe. Ini bukan urusan loe! dan mulai sekarang loe angkat kaki dari rumah gue. Gue nggak mau loe terlalu jauh mencampuri hidup gue.” Ujar Yogi menarik kerah baju Dido dengan raut wajah emosi penuh kebencian. Ia tak tahu kalau yang di hadapannya adalah Dara bukan Dido.
“Oke. Aku pergi sekarang aku baru tahu sifat kamu yang sebenarnya. Ternyata kamu tidak pernah tulus cinta pada Dara. Thanks atas semua kebaikan kamu yang sudah mempersilahkan aku tinggal di rumah kamu.” Kata Dido alias Dara mengakhiri pembicaraan mereka. Dido keluar dari rumah Yogi meski di luar sedang hujan deras. Derasnya hujan di sertai petir mengalahkan teriakkan Yogi di malam yang dingin dengan penuh amarahnya.
“Loe nggak usah ngatur hidup gue! Dara sudah mati! Dia nggak mungkin ada lagi…!”
Dido semakin menjauh dari penglihatan Yogi dan akhirnya menghilang. Yogi membiarkannya begitu saja. Hujan semakin deras.
Dido alias Dara menangis sesunggukan, mengapa semua jadi begini? Yogi kasar terhadapnya. Padahal sebelumnya mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Derasnya hujan tak mengalahkan kesedihan yang di rasakan Dido.
“Loe kenapa nangis? Loe masih mikirin cerita film tadi?”
“Bukan urusan kamu.”
“Gue mau bantu kalau loe punya masalah.”
“Peduli apa kamu sama aku?” Yogi yang mendengar kata-kata itu mulai tersinggung.
“Eh, asal loe tahu aja ya. Gue ngebiarin loe tinggal di rumah gue itu karena gue care sama loe gue peduli sama loe. Meskipun gue nggak kenal loe sebelumnya. Apa itu kurang ngebuktiin kalau gue peduli sama elo! Gak tahu terima kasih banget sih!” Yogi mulai kesal.
“Kamu peduli sama aku lantaran aku temannya Dara kan?”
“Up to you deh. Kalau elo nggak suka silahkan kalau mau angkat kaki dari rumah gue. Loe yang datang sendiri ke rumah gue, bukan gue yang minta loe kesini!”
Tangisan Dido semakin menjadi layaknya seorang wanita. Luarnya memang Dido yang tampak tegar dan kuat tetapi di dalam tubuhnya adalah Dara wanita yang lemah dan sangat sensitif atas gertakan yang menyakitkan hatinya.
“Loe kok malah makin jadi sih meweknya. Kayak cewek aja tahu nggak.”
“Asal kamu tahu. Kesedihanku ini tidak sebanding dengan kesedihan yang Dara rasakan.”
“Maksud loe?”
“Ya! Aku nggak ngebayang betapa sedihnya Dara melihat pacarnya berpaling ke cewek lain. Ini yang kamu sebut cinta sejati!”
“Dan perlu elo tahu Do, ini urusan gue mau pacaran sama siapa aja. Bukan urusan loe!”
“Jelas menjadi urusan aku, Dara adalah sahabat aku. Apapun yang menyangkut dia menjadi urusanku termasuk perselingkuhan yang kamu lakukan sama Wirra.”
“Alah… itu alasan loe aja kan, bilang aja loe suka sama Wirra, sehingga Dara jadi alasan agar gue ngejauhin Wirra. Supaya loe bisa ngedapetin dia! Ngaku deh! Munafik loe!”
PRAAKKK!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Yogi atas kemarahan Dido.
“Asal kamu tahu. Aku tulus care sama Dara aku sedih karena Dara harus pergi sementara dia sangat mencintai kamu. Tapi apa balasan kamu terhadapnya semenjak kamu jadian sama Wirra sekalipun kamu nggak pernah datang ke makamnya.”
“Sekali lagi gue peringatin sama loe. Ini bukan urusan loe! dan mulai sekarang loe angkat kaki dari rumah gue. Gue nggak mau loe terlalu jauh mencampuri hidup gue.” Ujar Yogi menarik kerah baju Dido dengan raut wajah emosi penuh kebencian. Ia tak tahu kalau yang di hadapannya adalah Dara bukan Dido.
“Oke. Aku pergi sekarang aku baru tahu sifat kamu yang sebenarnya. Ternyata kamu tidak pernah tulus cinta pada Dara. Thanks atas semua kebaikan kamu yang sudah mempersilahkan aku tinggal di rumah kamu.” Kata Dido alias Dara mengakhiri pembicaraan mereka. Dido keluar dari rumah Yogi meski di luar sedang hujan deras. Derasnya hujan di sertai petir mengalahkan teriakkan Yogi di malam yang dingin dengan penuh amarahnya.
“Loe nggak usah ngatur hidup gue! Dara sudah mati! Dia nggak mungkin ada lagi…!”
Dido semakin menjauh dari penglihatan Yogi dan akhirnya menghilang. Yogi membiarkannya begitu saja. Hujan semakin deras.
Dido alias Dara menangis sesunggukan, mengapa semua jadi begini? Yogi kasar terhadapnya. Padahal sebelumnya mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Derasnya hujan tak mengalahkan kesedihan yang di rasakan Dido.
Ketika surya menampakkan cahayanya, membangunkan Yogi dari tidurnya. Ia melihat Wirra sudah berada di sampingnya.
“Wirra? Ngapain kamu pagi-pagi sudah di rumahku?” Yogi mengusap wajahnya yang masih mengantuk.
“Kok kamu ngomongnya seperti itu? Aku kan pacar kamu bebas dong mau datang kapan aja. Lagian kan hari ini hari minggu aku mau ngajak kamu jalan-jalan.”
“Iya tapi kan masih pagi.”
“Oke. Nggak apa-apa aku bisa nunggu kamu kok, say…”
Setelah mandi Yogi segera mengganti pakaiannya. Sementara Wirra membuatkan sarapan untuknya.
“Say, kamu udah usir ya cowok yang ngaku-ngaku temen dara itu. Bagus deh lagian dia cuma bisa jadi pengacau tahu nggak.” Kata Wirra sinis.
“Kok kamu tahu?” Balik tanya Yogi.
“Ya tahu lah, secara dia tidur kayak gembel di pos ronda!”
“Apa? Di pos ronda?”
“Kok kamu kaget gitu, nggak penting banget sih mikirin dia.”
Yogi terdiam entah apa yang ia pikirkan. Ia merasa bersalah karena harus mengusir Dido yang sebenarnya dia tidak salah. Dido sebenarnya orang yang baik. Dia perduli pada Dara.
“Ternyata Dido tidak berbohong, dia benar-benar tidak punya tempat tinggal. Buktinya semalam dia tidur di pos ronda. Kasihan, gue jadi ngerasa bersalah. Gue harus nyamperi dia.” Yogi pergi dengan mobilnya untuk menemui Dido di pos ronda dekat kompleks rumahnya.
“Eh sayang, mau kemana?” Yogi pergi begitu saja tanpa menghiraukan Wirra.
“Wirra? Ngapain kamu pagi-pagi sudah di rumahku?” Yogi mengusap wajahnya yang masih mengantuk.
“Kok kamu ngomongnya seperti itu? Aku kan pacar kamu bebas dong mau datang kapan aja. Lagian kan hari ini hari minggu aku mau ngajak kamu jalan-jalan.”
“Iya tapi kan masih pagi.”
“Oke. Nggak apa-apa aku bisa nunggu kamu kok, say…”
Setelah mandi Yogi segera mengganti pakaiannya. Sementara Wirra membuatkan sarapan untuknya.
“Say, kamu udah usir ya cowok yang ngaku-ngaku temen dara itu. Bagus deh lagian dia cuma bisa jadi pengacau tahu nggak.” Kata Wirra sinis.
“Kok kamu tahu?” Balik tanya Yogi.
“Ya tahu lah, secara dia tidur kayak gembel di pos ronda!”
“Apa? Di pos ronda?”
“Kok kamu kaget gitu, nggak penting banget sih mikirin dia.”
Yogi terdiam entah apa yang ia pikirkan. Ia merasa bersalah karena harus mengusir Dido yang sebenarnya dia tidak salah. Dido sebenarnya orang yang baik. Dia perduli pada Dara.
“Ternyata Dido tidak berbohong, dia benar-benar tidak punya tempat tinggal. Buktinya semalam dia tidur di pos ronda. Kasihan, gue jadi ngerasa bersalah. Gue harus nyamperi dia.” Yogi pergi dengan mobilnya untuk menemui Dido di pos ronda dekat kompleks rumahnya.
“Eh sayang, mau kemana?” Yogi pergi begitu saja tanpa menghiraukan Wirra.
Mobil Yogi berhenti saat melihat Dido terbaring lemas di pos ronda, badannya tampak menggigil setelah semalaman kehujanan di luar. Dido demam, badannya panas. Tanpa di sadari Dido, Yogi memasukkanya ke mobil membawanya ke rumah Yogi. Karena Dido butuh pertolongan.
“Ngapain kamu bawa cowok ini lagi, dia kan bukan siapa-siapa kamu?” Wirra kaget saat Yogi kembali membawa Dido.
“Gue nggak tega ngebiarin dia sendirian di pos ronda. Dia benar-benar nggak punya tempat tinggal.”
“Perduli apa sih sama dia. Bukan siapa-siapa kamu juga!”
“Kalau loe nggak suka, silahakan tinggalin rumah gue.” Yogi membentak Wirra jelas membuat Wirra marah besar, ia pun meninggalkan rumah Yogi.
“Ngapain kamu bawa cowok ini lagi, dia kan bukan siapa-siapa kamu?” Wirra kaget saat Yogi kembali membawa Dido.
“Gue nggak tega ngebiarin dia sendirian di pos ronda. Dia benar-benar nggak punya tempat tinggal.”
“Perduli apa sih sama dia. Bukan siapa-siapa kamu juga!”
“Kalau loe nggak suka, silahakan tinggalin rumah gue.” Yogi membentak Wirra jelas membuat Wirra marah besar, ia pun meninggalkan rumah Yogi.
Setelah siuman Dido berterima kasih pada Yogi karena sudah berbaik hati padanya. Yogi pun meminta maaf karena telah lancang mengusirnya.
Malam hari. Yogi telah lelap dalam tidurnya, sementara mata Dido sedikitpun tak mengantuk. Ia tak bisa tidur walaupun badannya sudah terasa sehat kembali. Ia teringat Yogi yang telah berbaik hati merawatnya ketika ia sakit.
“Apakah Yogi sudah tahu siapa aku sebenarnya?” Ujarnya pelan. “Nggak mungkin, nggak mungkin banget wajahku aja masih tetap wajah Dido. Gimana Yogi bisa tahu kalau aku adalah Dara.” Sambungnya lagi melihat-lihat wajahnya di cermin. Dido diam-diam ke kamar Yogi. Begitu senang ia melihat Yogi yang terlelap dengan nyenyaknya. Yogi tetap terlihat tampan meski sedang tidur itu yang membuat Dara tak bisa melupakan wajah tampannya.
“Apakah Yogi sudah tahu siapa aku sebenarnya?” Ujarnya pelan. “Nggak mungkin, nggak mungkin banget wajahku aja masih tetap wajah Dido. Gimana Yogi bisa tahu kalau aku adalah Dara.” Sambungnya lagi melihat-lihat wajahnya di cermin. Dido diam-diam ke kamar Yogi. Begitu senang ia melihat Yogi yang terlelap dengan nyenyaknya. Yogi tetap terlihat tampan meski sedang tidur itu yang membuat Dara tak bisa melupakan wajah tampannya.
Yogi tertidur di atas ranjangnya, sementara Dido membelai-belai rambut Yogi tanpa sepengetahuannya.
“Aku sayang kamu Gi, aku tahu kamu sayang banget sama aku. Kamu tahu, aku baru sadar sekarang kalau aku tidak mungkin bersama kamu lagi. Dan aku harus ikhlas dan menerima kalau aku tidak mungkin menjadi Dara lagi. Sekarang aku adalah Dido tapi… di dalam tubuh Dido ini adalah Dara. Ya, Dara yang tetap mencintaimu. Terima kasih karena kamu mau mencintaiku dan setia mendampingiku sampai ketika maut menjemputku. Sekarang aku akan hidup sebagai Dido dan akan melanjutkan hidup seorang Dido. Sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa aku adalah Dido bukan Dara lagi dan aku harus merelakan kamu untuk mencari pendampingmu yang sudah menjadi jodohmu, dan tentu bukan aku jodohmu. Aku tidak akan melanjutkan cintaku ini sama kamu. Karena sekarang aku adalah seorang lelaki yang bernama Dido. Dan apabila aku tetap mengharap cinta dari kamu itu akan menjadi cinta yang terlarang. Ya, cinta terlarang antara aku dan kamu. Dan aku tak ingn semua ini terjadi.” Ujarnya pelan tapi tidak membangunkan Yogi dalam tidurnya. Yogi tetap lelap.
“Aku sayang kamu Gi, aku tahu kamu sayang banget sama aku. Kamu tahu, aku baru sadar sekarang kalau aku tidak mungkin bersama kamu lagi. Dan aku harus ikhlas dan menerima kalau aku tidak mungkin menjadi Dara lagi. Sekarang aku adalah Dido tapi… di dalam tubuh Dido ini adalah Dara. Ya, Dara yang tetap mencintaimu. Terima kasih karena kamu mau mencintaiku dan setia mendampingiku sampai ketika maut menjemputku. Sekarang aku akan hidup sebagai Dido dan akan melanjutkan hidup seorang Dido. Sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa aku adalah Dido bukan Dara lagi dan aku harus merelakan kamu untuk mencari pendampingmu yang sudah menjadi jodohmu, dan tentu bukan aku jodohmu. Aku tidak akan melanjutkan cintaku ini sama kamu. Karena sekarang aku adalah seorang lelaki yang bernama Dido. Dan apabila aku tetap mengharap cinta dari kamu itu akan menjadi cinta yang terlarang. Ya, cinta terlarang antara aku dan kamu. Dan aku tak ingn semua ini terjadi.” Ujarnya pelan tapi tidak membangunkan Yogi dalam tidurnya. Yogi tetap lelap.
Dara alias Dido meneteskan air mata sempat menetes di kening Yogi, cepat-cepat ia mengusapnya takut-takut kalau Yogi terbangun. Ia ingin kembali ke kehidupannya yang normal seperti dahulu. Mungkin inilah jalan terbaik untuk mereka Dara menjadi Dido. Dan membiarkan Yogi menjalani kehidupannya yang normal dengan menjadi seorang lelaki yang tetap mencintai wanita dan mencari jodoh yang akan menjadi pendamping hidupnya untuk selamanya. Di malam yang sunyi Dido mencium pipi Yogi sebagai ciuman terakhirnya sebagai Dara kemudian mencium keningnya sebagai ucapan selamat malam. Sementara Yogi tetap dalam tidurnya. Di dalam mimpinya Yogi merasakan ciuman hangat seorang Dara kekasihnya yang telah tiada.
Esoknya….
“Dido? Ya ampun kamu kemana aja sayang… kami semua nyari kamu kemana-mana?” Sapa seorang wanita yang mengaku bernama Della kekasih Dido yang sebenarnya. Ketika itu Dido sedang makan bersama Yogi di sebuah Cafe.
“Kamu siapa?” Tanya Dido heran.
“Aku Della pacar kamu. Kita malah akan tunangan sebelum kamu kecelakaan. Oh My God aku kira kamu benar-benar sudah meninggal. Tapi ketika kami ke kamar mayat kamu sudah nggak ada. Om sama tante bingung banget nyariin kamu. Ternyata kamu ada di sini.”
Yogi tambah heran. Ia menoleh ke arah Della.
“Kamu keluarga Dido?” Tanyanya.
“Iya. Aku pacarnya Dido, sebenarnya apa yang terjadi? kenapa Dido seperti hilang ingatan dia sama sekali nggak ingat aku pacarnya sendiri.”
“Kamu harus tabah, selama ini Dido tinggal bersamaku yang dia ingat cuma aku dan Dara sahabatnya yang sudah meninggal. Aku tidak tahu kalau Dido amnesia. Kamu boleh membawanya pulang.” Jelas Yogi.
“Thanks ya, kamu udah ngerawat Dido. Ortunya pasti seneng banget karena Dido udah kembali.” Sambung Della. Sementara Dido menjerit dalam hati semua telah mengira ia amnesia termasuk Yogi. Hati Dido berkata. “Badan ini memang Dido, tapi di dalamnya adalah aku, Dara.”
Namun sayang yang semua orang lihat adalah sosok Dido bukan Dara.
“Aku tidak amnesia.” Jeritan hati Dara.
“Dido? Ya ampun kamu kemana aja sayang… kami semua nyari kamu kemana-mana?” Sapa seorang wanita yang mengaku bernama Della kekasih Dido yang sebenarnya. Ketika itu Dido sedang makan bersama Yogi di sebuah Cafe.
“Kamu siapa?” Tanya Dido heran.
“Aku Della pacar kamu. Kita malah akan tunangan sebelum kamu kecelakaan. Oh My God aku kira kamu benar-benar sudah meninggal. Tapi ketika kami ke kamar mayat kamu sudah nggak ada. Om sama tante bingung banget nyariin kamu. Ternyata kamu ada di sini.”
Yogi tambah heran. Ia menoleh ke arah Della.
“Kamu keluarga Dido?” Tanyanya.
“Iya. Aku pacarnya Dido, sebenarnya apa yang terjadi? kenapa Dido seperti hilang ingatan dia sama sekali nggak ingat aku pacarnya sendiri.”
“Kamu harus tabah, selama ini Dido tinggal bersamaku yang dia ingat cuma aku dan Dara sahabatnya yang sudah meninggal. Aku tidak tahu kalau Dido amnesia. Kamu boleh membawanya pulang.” Jelas Yogi.
“Thanks ya, kamu udah ngerawat Dido. Ortunya pasti seneng banget karena Dido udah kembali.” Sambung Della. Sementara Dido menjerit dalam hati semua telah mengira ia amnesia termasuk Yogi. Hati Dido berkata. “Badan ini memang Dido, tapi di dalamnya adalah aku, Dara.”
Namun sayang yang semua orang lihat adalah sosok Dido bukan Dara.
“Aku tidak amnesia.” Jeritan hati Dara.
Della membawa Dido pergi dari hadapan Yogi. Pertemuan ini menjadi yang terakhir kalinya Dido alias Dara bisa melihat Yogi.
“Sayang, ayo kita pulang…” Della membimbing Dido masuk ke dalam mobil meninggalkan Yogi sendiri di Cafe. Yogi terhanyut dalam kebisuan begitu pula Dido alias Dara yang akan memulai hidup barunya bersama keluarga baru. Orang tua Dido kini menjadi Orangtua Dara.
Sejak saat itu Dido tak pernah bertemu lagi dengan Yogi. Kata orang Yogi telah pindah ke luar negeri. Namun cinta Dara pada Yogi tetap melekat di tubuh Dido…
“Sayang, ayo kita pulang…” Della membimbing Dido masuk ke dalam mobil meninggalkan Yogi sendiri di Cafe. Yogi terhanyut dalam kebisuan begitu pula Dido alias Dara yang akan memulai hidup barunya bersama keluarga baru. Orang tua Dido kini menjadi Orangtua Dara.
Sejak saat itu Dido tak pernah bertemu lagi dengan Yogi. Kata orang Yogi telah pindah ke luar negeri. Namun cinta Dara pada Yogi tetap melekat di tubuh Dido…
The End
Cerpen Karangan: Agus Sholihin Al Abrar
0 komentar:
Posting Komentar