Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Remember


Aku memandangi orang-orang yang berlalu-lalang dari jendela kaca. Ada kenikmatan tersendiri yang kudapat saat menatapi orang-orang di sana. Entah ada ekspresi kecewa, senang, sedih akan berpisah, bahagia, semua itu tercampur dalam bauran orang-orang di sekitarku. Aku meregangkan punggung, lalu menoleh ke samping. Terlihat Sivia yang masih asyik dengan roti cokelatnya. Aku tersenyum kecil. Dasar, di kereta gini masih doyan aja makan!
“Enak banget sih, Siv?” Sivia menoleh ke arahku, lalu nyengir.
“Salah sendiri nggak mau. Masih ada kan?” aku menggeleng.
“Nanti aja deh, kalau keretanya udah jalan.” Pandanganku teralih pada segerombolan laki-laki yang masing-masing memanggul tas gunung yang gede-nya nggak kira-kira. Mereka terlihat mencari seat kursi yang tertera pada karcis.
Aku terus memandangi mereka. Entahlah, ada yang mendorongku untuk terus mengawasi mereka.
“Itu mau ke gunung ya, Fy?” aku mengedikkan bahu.
“Entahlah, mungkin mau ke Bromo.” Mata Sivia membulat.
“Wow, Bromo? Kita besok ke sana yuuk!” Sivia merajuk sambil mengedipkan sebelah matanya. Aku langsung melotot, membuatnya malah tergelak.
“Tas yang kecil mending ditaroh di bawah kursi aja. Yang gede taruh di atas.” Aku langsung menoleh ke sumber suara. Terlihat cowok putih berwajah tegas yang kepalanya terbalut slayer berwarna abu-abu bermotif kotak-kotak tengah mengatur teman-temannya. Aku termangu menatapnya. Wajahnya yang tampan. Rahang yang kuat. Mata yang berbinar-binar cerah. Kulit yang berkilauan, membuatku ingin terus menatap orang itu.
“Permisi ya.” Aku refleks langsung mengangkat kedua kakiku, agar memudahkan tas carier berwarna merah itu masuk ke dalam kolong bangkuku.
“Mau ke mana?” Sivia bertanya sambil memasukkan bekas plastik roti cokelatnya yang sudah habis ke kantung plastik berwarna putih yang memang sengaja kusiapkan untuk menampung bekas plastik makanan.
Laki-laki berbaju coklat di samping Sivia menoleh, aku hanya memandangnya tak acuh, masih penasaran dengan teman laki-laki itu yang kini tengah duduk manis di kursinya sambil memandangi sekitarnya.
“Kita mau ke Lombok.” Aku langsung menoleh. Lombok?
“Wow, Lombok? Kok jauh? Gimana ke sananya?” Sivia malah semangat banget. Dasar!
Laki-laki itu malah tertawa. “Kita nanti transit ke Banyuwangi. Terus naik bus deh ke Lombok.” Sivia terlihat mengangguk-anggukan kepalanya. Aku masih diam dalam posisiku.
“Acara apa?” aku akhirnya membuka mulut, penasaran juga lama-lama.
“Ekspedisi Rinjani. Sekitar sebulan kita di sana.” Aku melotot, Sivia dan laki-laki itu malah tergelak.
“Keren ya! Kalian MAPALA ya?” laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum. Kok aku jadi ketularan Sivia gini sih?
“Oh iya, aku Alvin. Kalian mau ke mana?” laki-laki itu mengulurkan tangan ke Sivia.
“Aku Sivia. Kita mau ke Surabaya. Ke rumah neneknya Ify. Lumayan, buat liburan.” Sivia tersenyum. Hihi, mereka kelihatan cocok ya?
“Aku Ify.” Aku menerima uluran tangan Alvin sambil tersenyum sungkan.
“Ini Gabriel, Ray, dan Goldi.” Aku mengangguk-anggukan kepala sambil terus memamerkan senyum sungkanku pada ke-3 teman Alvin yang duduk tepat di depan bangkuku.
Dan akhirnya kereta berjalan lambat meninggalkan stasiun. Meninggalkan penat yang memang sengaja ingin kubuang, mulai hari ini… dan seterusnya.
Pepohonan dan hamparan sawah yang menghijau seakan membiusku. Kereta melaju semakin cepat, bergojes sesuka hati. Langit cerah, awan-awan tipis berarak seakan mengikuti langkah kereta api yang seolah tak ingin berhenti. Aku masih sibuk menelusuri kata demi kata yang tertera di dalam novel tebal yang sengaja kubawa. Headset masih setia menggantung di telinga kananku. Aku menoleh ke arah Sivia, ternyata dia sudah tertidur pulas dalam posisi duduk. Di sampingnya, Alvin terlihat sibuk dengan buku agenda putih miliknya.
DEG…
Aku terpaku beberapa saat, ketika mata bening itu menatapku. Seakan ada yang menghipnotisku untuk tetap bertahan pada posisi yang sangat kunikmati ini. Dia melemparkan seulas senyum tulus ke arahku, yang malah membuatku tersadar dari bius memabukkan itu.
Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela kaca. Jantungku masih berdebar tak karuan. Mata itu. Senyum itu. Entahlah, seperti ada magnet yang menarikku untuk terus menatap matanya. Menikmati senyum tulusnya.
Tapi, membiarkan jantungku melompat ke sana ke mari bukanlah penyelesaian yang baik. Karena aku tak mau, rasa yang salah ini menyelusup masuk ke dalam celah hatiku.
Hh, aku merenggangkan tubuh sembari memandangi nikmat Tuhan berupa deretan pegunungan yang menjulang jauh di sana. Hamparan hijau sawah mampu membuatku tak bisa berpaling darinya. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Dan oh, aku mengerjap beberapa kali saat tak sengaja pandanganku bertemu dengan pandangan perempuan berkerudung hitam itu.
Aku menampilkan seulas senyum di wajahku, saat ia masih terus menatapku. Oh Tuhan, rasanya ada yang berdetak beberapa kali di dalam hatiku. Sepertinya, jantungku sudah tak berada lagi di tempat yang semestinya. Aku melihatnya mengerjap beberapa kali dan langsung membuang muka. Oh Tuhan, apa aku menakutkan di matanya? Apakah aku… Oh tidak, sepertinya ada yang tak beres denganku kali ini.
Aku beranjak dari tempat dudukku sembari membawa SLR yang setia menggantung di leherku sejak pagi. Aku menyambar jaket hitam kesayanganku dan langsung menuju tempat dimana perempuan yang berhasil membuatku serba salah tengah sibuk memandangi sawah di luar jendela kereta.
“Hey,” aku mengerjap beberapa kali. Dan seketika, tubuhku menegang. Jantungku berdegup sangat cepat. Dia. Dia di sini, di hadapanku sekarang. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
“Hey,” dia menggerak-gerakkan tangannya di hadapanku, membuat aku tersentak. Aku tersadar beberapa saat kemudian. Lalu melempar senyum canggung yang malah dibalasnya dengan uluran tangan.
“Aku Cakka.” Aku mengulum senyum tipis. Cakka? Baru ini kudengar nama itu.
“Aku Ify.” Kubalas uluran tangannya, yang langsung membuat hatiku berdesir. Rasa apa ini, Tuhan? Bukankah aku hanya mengagumi kedewasaannya tadi?
“Mau ke mana, Fy?” aku mengangguk seadanya. Aku harus sekuat tenaga menghilangkan perasaan gugup ini. Aku harus bersikap bagaimana mestinya di depannya.
“Aku? Aku mau ke Surabaya.” Cakka mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sama siapa?” aku hanya melirik Sivia yang masih tertidur. Cakka hanya mengangguk-anggukkan kepala seadanya.
Hening. Hanya ada suara deru mesin kereta api yang terus bergojes, seolah tak ada yang bisa menandinginya.
Aku mendadak memejamkan mata ketika wajah Cakka semakin lama semakin mendekat. Jantungku berdegup sangat cepat. Wajahku makin terasa memanas. Dan aku mematung beberapa saat ketika tangannya bergerak menyentuh kedua pipiku. Ya Tuhan, aku ingin menghilang detik ini juga.
“Kka.” Cakka terkesiap. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Kualihkan pandanganku pada sekitar, tak banyak yang masih membuka mata.
“Sorry, Fy. Aku..” aku menggeleng samar. Rasa apa ini, Tuhan? Aku tak mungkin, kan, menyukai orang yang baru aku kenal.
Cakka mendekatkan wajahnya ke arahku, “I love you.” Mulutku terkunci. Lidahku kelu.
“Kka, aku..” Cakka menggeleng sambil tersenyum.
“Nggak perlu dibalas. Aku tahu, kita beda, Fy. Aku Cuma menyampaikan apa yang harus aku sampaikan. Itu aja. Kamu nggak perlu jawab, nggak masalah buat aku. Lagipula, kita beda, Fy.” Aku masih diam. Berusaha mencerna ucapannya. Jujur, ungkapannya tadi membuatku seakan ingin terbang.
“Beda? Maksud kamu?” ia meraih sesuatu di balik kaos hitamnya yang sesaat membuatku terpana. Sebuah kalung perak, kalung yang mendadak menampakkan cahayanya. Sebuah kalung yang secara tak langsung, telah membuat sebuah jurang pemisah di antara kami berdua. Kalung salib. Kalung yang aku yakin, merupakan kebanggaan pemiliknya.
Aku masih terpana, lidahku semakin kelu. Bibirku kaku. Tubuhku membeku. Sebuah jurang yang sangat dalam telah menjadi pemisah kita. Kita? No! Aku dan dia belum menjadi kita.
“Maaf, Fy. Aku tahu aku salah, udah menyimpan perasaan yang salah. Tapi, bolehkah aku masuk ke dalam hatimu?” aku masih diam, entah apa yang harus aku ucapkan. Tapi, getaran ini semakin lama semakin kuat saja.
“Udahlah, nggak usah dipikirin, Fy. Yang penting sekarang aku udah tenang, udah menyampaikan apa yang memang harus aku sampaikan.” Cakka beranjak dari tempat duduknya. Membuatku refleks menahan lengan kanannya.
“I love you, too.”
‘A person who never made mistake never tried anything new’ – Albert Einstein
.FIN.
Cerpen Karangan: Hach Dhini Sekarwangi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar