Cinta,
Apa itu cinta? Aku tak tahu apa itu cinta. Banyak orang bilang, cinta itu indah. Seindah melihat bunga mekar, seindah melihat matahari terbit, seindah melihat partikel salju. Indah.
Definisi cinta, karena perkataan itu, yang ku tahu, cinta itu indah. Seindah melihat hal-hal yang tadi aku sebutkan. Seindah itukah? Aku tak tahu. Jangan tanya aku, karena aku belum pernah merasakannya. Aku masih sebiji beras kalau di tanya tentang cinta.
Kalau kata anak muda, cinta itu pacar. Pacar? Kekasih? Apa hubungan semua itu dengan cinta? Aku tak tahu. Banyak orang bertanya, siapa yang engkau cintai? Dan, banyak orang juga menjawab, pacar. Aku pernah bertanya kepada sahabatku, sahabat yang sangat begitu mendalami agamanya. Agama islam. Aku bertanya, apakah berpacaran itu dosa? Dan, ia menjawab, iya. Sekarang, kesimpulannya, pacar yang ‘katanya’ atas nama cinta, itu dosa. Apakah cinta membuat dosa? Entahlah!
Apa itu cinta? Aku tak tahu apa itu cinta. Banyak orang bilang, cinta itu indah. Seindah melihat bunga mekar, seindah melihat matahari terbit, seindah melihat partikel salju. Indah.
Definisi cinta, karena perkataan itu, yang ku tahu, cinta itu indah. Seindah melihat hal-hal yang tadi aku sebutkan. Seindah itukah? Aku tak tahu. Jangan tanya aku, karena aku belum pernah merasakannya. Aku masih sebiji beras kalau di tanya tentang cinta.
Kalau kata anak muda, cinta itu pacar. Pacar? Kekasih? Apa hubungan semua itu dengan cinta? Aku tak tahu. Banyak orang bertanya, siapa yang engkau cintai? Dan, banyak orang juga menjawab, pacar. Aku pernah bertanya kepada sahabatku, sahabat yang sangat begitu mendalami agamanya. Agama islam. Aku bertanya, apakah berpacaran itu dosa? Dan, ia menjawab, iya. Sekarang, kesimpulannya, pacar yang ‘katanya’ atas nama cinta, itu dosa. Apakah cinta membuat dosa? Entahlah!
November, 2012
Dia datang. Langkahnya seirama dengan detak jantung ini. Aku tak tahu kenapa aku sangat ingin dia datang kepadaku. Menghadapku. Menatap mataku. Namun, aku tahu itu tidak mungkin. Dia bahkan tidak kenal denganku! Bagaimana dia datang kepadaku? Aneh!
Namanya Al. Dia seumuran denganku, Cuma berjarak beberapa bulan. Aku kenal dengannya, namun dia tidak kenal denganku. Aku selalu melihatnya bermain dengan teman-temannya, namun dia tidak pernah melihatku yang sedang melihatnya. Ironis. Namun, mau bilang apa? Aku sendiri tidak berani berkata bahwa aku mencintainya.
Cinta? Beginilah rasanya? Setiap hari, berkhayal tentangnya. Setiap malam, bermimpi tentangnya. Setiap melihatnya, langsung jantung ini berdetak lebih kencang. Saat mendengar suaranya, darah langsung berhenti, serasa tidak mau berjalan dan ingin terus mendengarkannya. Suaranya. Suara Al.
Dia datang. Langkahnya seirama dengan detak jantung ini. Aku tak tahu kenapa aku sangat ingin dia datang kepadaku. Menghadapku. Menatap mataku. Namun, aku tahu itu tidak mungkin. Dia bahkan tidak kenal denganku! Bagaimana dia datang kepadaku? Aneh!
Namanya Al. Dia seumuran denganku, Cuma berjarak beberapa bulan. Aku kenal dengannya, namun dia tidak kenal denganku. Aku selalu melihatnya bermain dengan teman-temannya, namun dia tidak pernah melihatku yang sedang melihatnya. Ironis. Namun, mau bilang apa? Aku sendiri tidak berani berkata bahwa aku mencintainya.
Cinta? Beginilah rasanya? Setiap hari, berkhayal tentangnya. Setiap malam, bermimpi tentangnya. Setiap melihatnya, langsung jantung ini berdetak lebih kencang. Saat mendengar suaranya, darah langsung berhenti, serasa tidak mau berjalan dan ingin terus mendengarkannya. Suaranya. Suara Al.
Desember, 2012
Sekarang, aku dan dia sudah resmi saling mengenal. Ia tahu namaku, wajahku, bahkan nomor teleponku. Dia tahu!
Alasannya dia tahu, karena sekarang aku mengikuti salah satu ekstrakulikuler yang juga diikutinya. Aku tidak tahu ia ikut ekstrakulikuler itu, tapi bukannya tidak ada yang kebetulan? Kata orang, itu takdir.
Al semakin gagah. Wajah rupawannya membuat jantung ini berhenti berdetak, mungkin karena terlalu capek untuk berdetak keras saat melihatnya. Mungkin… Namun, aku tambah yakin, ini cinta.
Sekarang, aku dan dia sudah resmi saling mengenal. Ia tahu namaku, wajahku, bahkan nomor teleponku. Dia tahu!
Alasannya dia tahu, karena sekarang aku mengikuti salah satu ekstrakulikuler yang juga diikutinya. Aku tidak tahu ia ikut ekstrakulikuler itu, tapi bukannya tidak ada yang kebetulan? Kata orang, itu takdir.
Al semakin gagah. Wajah rupawannya membuat jantung ini berhenti berdetak, mungkin karena terlalu capek untuk berdetak keras saat melihatnya. Mungkin… Namun, aku tambah yakin, ini cinta.
Tahun Baru 2013
“Selamat tahun baru!” Aku mengirim SMS kepadanya. Melewati jaringan-jaringan yang entah aku tidak tahu cara membuatnya, pesan itu sudah terdapat di teleponnya. Sudah ada di sana, dan ia membacanya, bahkan membalasnya.
“Selamat tahun baru juga!” Kalian tahu? Saat ini aku merasa ingin mati!
“Selamat tahun baru!” Aku mengirim SMS kepadanya. Melewati jaringan-jaringan yang entah aku tidak tahu cara membuatnya, pesan itu sudah terdapat di teleponnya. Sudah ada di sana, dan ia membacanya, bahkan membalasnya.
“Selamat tahun baru juga!” Kalian tahu? Saat ini aku merasa ingin mati!
Januari, 2013
Aku dan Al semakin dekat. Aku bahkan sering berbicara, bercanda, tertawa dengannya. Aku juga pernah mencubit kulitnya. Dan, aku menyukai itu, tapi aku tahu, itu membuatnya sakit. Aku tak mau dia sakit.
“Al, kau tahu?” Tanyaku sambil memasang tampang serius. Seserius wajahku saat sedang mengerjakan Ujian Kenaikan Kelas.
“Tahu apa?” Balasnya, juga dengan tampang serius.
“Aku juga nggak tahu.” Ucapku. Tersenyum. Dan, tertawa. Kulihat dia juga tertawa. Kami resmi tertawa bersama. Aku semakin mencintainya.
Aku dan Al semakin dekat. Aku bahkan sering berbicara, bercanda, tertawa dengannya. Aku juga pernah mencubit kulitnya. Dan, aku menyukai itu, tapi aku tahu, itu membuatnya sakit. Aku tak mau dia sakit.
“Al, kau tahu?” Tanyaku sambil memasang tampang serius. Seserius wajahku saat sedang mengerjakan Ujian Kenaikan Kelas.
“Tahu apa?” Balasnya, juga dengan tampang serius.
“Aku juga nggak tahu.” Ucapku. Tersenyum. Dan, tertawa. Kulihat dia juga tertawa. Kami resmi tertawa bersama. Aku semakin mencintainya.
Februari, 2013
Kedekatan kami bahkan katanya seperti orang berpacaran. Wajarkan kalau kami pulang bareng, karena arah rumah kami sama. Wajarkan kalau kami sering berbicara, karena kami memang dekat. Wajarkan kalau kami sering tertawa, karena kami memang sering bercanda. Semua itu wajarkan?
Aku dan dia sering saling mencurahkan perasaan hati masing-masing. Karena memang kami itu suka menulis, jadi kalau kami sedang ‘membuka perasaan’ masing-masing, ya lewat menulis. Ya, tulis.
Dan, hari ini. Aku dan dia melakukan hal itu. ‘Membuka perasan’ dimulai. Se sobek kertas, kami tulis di situ, tentang perasaan kami.
Selesai.
Kami lalu menukarkan kertas yang sudah terdapat perasaan kami itu, dan aku sekarang membaca perasaannya,
‘Aku mengenalnya,
Dia mengenalku,
Kita saling kenal, dia sering mengirim aku pesan singkat, dan aku juga selalu membalas pesan itu. Kami saling membalas SMS masing-masing. Pernah aku merasa dia menyukaiku. Aku kenal dekat dengan sahabat dekatnya. Aku sangat kenal. Namun, aku malu untuk menanyakan hal itu. Aku sangat malu. Jadi, aku pilih untuk tidak mempertanyakannya, dan memendam rasa itu.’
Aku tidak tahu, siapa lakon yang ada di tulisan perasaannya itu, aku tidak tahu. Yang aku tahu Cuma, tokoh ‘aku’ itu adalah Al. Itu saja. Aku langsung melihatnya yang juga sedang membaca perasaanku.
“Bagaimana perasaanku?” Tanyaku. “Ada solusi?”.
“Aku tidak tahu, perasaanmu seharusnya gampang kalau kau mau menyatakannya.” Jawabnya dengan tampang seriusnya. “Kalau perasaanku?” Tanyanya, sambil memasang tampang penasaran. Aku suka saat ia memasang tampang itu.
“Sama, kalau saja kau mau menanyakan hal itu kepada sahabat orang yang kau sukai, mungkin masalah itu takkan seberat ini.” Jawabku sambil meletakkan kertas itu di meja dan melipat tangan.
“Oke, kalau begitu aku akan tanya kepada sahabat orang yang aku sukai itu.” Katanya sambil melipat tangannya juga. “Sekarang juga.”. Apa? Maksudnya? Ap… “Menurutmu, Jane bagaimana? Cocokkah denganku?”.
Deg!
Tiba-tiba dunia berhenti. Jam dinding juga berhenti. Udara, angin, air, awan, hujan yang sedang turun, televisi, dan dia. Semuanya berhenti. Dan, tiba-tiba ada suara, seperti suara patah. Patah, tidak membelah jadi dua, namun berjuta-juta. Pecah, menjadi berkeping-keping. Ia menyukai sahabatku. Jane. Si gadis yang memang sempurna, ia penyanyi di sekolahku, sering mewakili sekolah untuk lomba-lomba menyanyi. Ia juga rupawan, putih, setinggi Al. Ia juga cemerlang, sering menjadi juara kelas. Tapi? Aku? Aku! Aku terlalu bermimpi untuk bersama dengannya.
“Jane?” Kataku, sedikit terbata-bata.
“Iya, Jane. Sahabatmu itu, bagaimana kalau ia berpacaran denganku? Pantas tak?” Sekarang, suara yang dulu membuatku terbang tinggi, tiba-tiba menjadi suara yang ingin membunuhku. Menyakitiku lewat dalam.
“Dia… cocok untukmu.” Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata ini. Air mata patah hati ini.
“Menurutmu, kalau aku menembaknya besok, dia akan menerimanya atau tidak?” Besok? Besok!
Aku langsung menarik nafas sedalam-dalamnya. Sangat dalam.
Kedekatan kami bahkan katanya seperti orang berpacaran. Wajarkan kalau kami pulang bareng, karena arah rumah kami sama. Wajarkan kalau kami sering berbicara, karena kami memang dekat. Wajarkan kalau kami sering tertawa, karena kami memang sering bercanda. Semua itu wajarkan?
Aku dan dia sering saling mencurahkan perasaan hati masing-masing. Karena memang kami itu suka menulis, jadi kalau kami sedang ‘membuka perasaan’ masing-masing, ya lewat menulis. Ya, tulis.
Dan, hari ini. Aku dan dia melakukan hal itu. ‘Membuka perasan’ dimulai. Se sobek kertas, kami tulis di situ, tentang perasaan kami.
Selesai.
Kami lalu menukarkan kertas yang sudah terdapat perasaan kami itu, dan aku sekarang membaca perasaannya,
‘Aku mengenalnya,
Dia mengenalku,
Kita saling kenal, dia sering mengirim aku pesan singkat, dan aku juga selalu membalas pesan itu. Kami saling membalas SMS masing-masing. Pernah aku merasa dia menyukaiku. Aku kenal dekat dengan sahabat dekatnya. Aku sangat kenal. Namun, aku malu untuk menanyakan hal itu. Aku sangat malu. Jadi, aku pilih untuk tidak mempertanyakannya, dan memendam rasa itu.’
Aku tidak tahu, siapa lakon yang ada di tulisan perasaannya itu, aku tidak tahu. Yang aku tahu Cuma, tokoh ‘aku’ itu adalah Al. Itu saja. Aku langsung melihatnya yang juga sedang membaca perasaanku.
“Bagaimana perasaanku?” Tanyaku. “Ada solusi?”.
“Aku tidak tahu, perasaanmu seharusnya gampang kalau kau mau menyatakannya.” Jawabnya dengan tampang seriusnya. “Kalau perasaanku?” Tanyanya, sambil memasang tampang penasaran. Aku suka saat ia memasang tampang itu.
“Sama, kalau saja kau mau menanyakan hal itu kepada sahabat orang yang kau sukai, mungkin masalah itu takkan seberat ini.” Jawabku sambil meletakkan kertas itu di meja dan melipat tangan.
“Oke, kalau begitu aku akan tanya kepada sahabat orang yang aku sukai itu.” Katanya sambil melipat tangannya juga. “Sekarang juga.”. Apa? Maksudnya? Ap… “Menurutmu, Jane bagaimana? Cocokkah denganku?”.
Deg!
Tiba-tiba dunia berhenti. Jam dinding juga berhenti. Udara, angin, air, awan, hujan yang sedang turun, televisi, dan dia. Semuanya berhenti. Dan, tiba-tiba ada suara, seperti suara patah. Patah, tidak membelah jadi dua, namun berjuta-juta. Pecah, menjadi berkeping-keping. Ia menyukai sahabatku. Jane. Si gadis yang memang sempurna, ia penyanyi di sekolahku, sering mewakili sekolah untuk lomba-lomba menyanyi. Ia juga rupawan, putih, setinggi Al. Ia juga cemerlang, sering menjadi juara kelas. Tapi? Aku? Aku! Aku terlalu bermimpi untuk bersama dengannya.
“Jane?” Kataku, sedikit terbata-bata.
“Iya, Jane. Sahabatmu itu, bagaimana kalau ia berpacaran denganku? Pantas tak?” Sekarang, suara yang dulu membuatku terbang tinggi, tiba-tiba menjadi suara yang ingin membunuhku. Menyakitiku lewat dalam.
“Dia… cocok untukmu.” Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata ini. Air mata patah hati ini.
“Menurutmu, kalau aku menembaknya besok, dia akan menerimanya atau tidak?” Besok? Besok!
Aku langsung menarik nafas sedalam-dalamnya. Sangat dalam.
Keesokan Harinya, Senin
Akan ada peristiwa istimewa hari ini. Peristiwa yang lebih baik aku lewatkan. Jadi, setelah jam pulang, aku langsung berlari keluar. Pulang, dengan bercucuran air mata.
Aku tidak bisa melihatnya, aku tidak bisa mendengarnya, aku tidak bisa! Aku tidak mau hatiku semakin hancur! Jadi, lebih baik aku pergi.
Sore ini, aku mematikan teleponku. Aku tidak mau di ganggu hari ini. Aku sangat tidak mau. Aku ingin menyendiri. Aku ingin mengelem hatiku yang ternyata susah untuk di lem. Aku yang dulu yakin air mataku habis saat aku kehilangan Nenek tersayangku, ternyata saat ini tidak berhenti mengalir. Aku sakit.
“Sakit.”
Malamnya, aku langsung panas. Badanku panas, tapi aku merasa dingin. Aku pusing, aku merasa bumi ini sudah mulai kehilangan keseimbangan. Mataku juga sembab. Aku sakit.
Akan ada peristiwa istimewa hari ini. Peristiwa yang lebih baik aku lewatkan. Jadi, setelah jam pulang, aku langsung berlari keluar. Pulang, dengan bercucuran air mata.
Aku tidak bisa melihatnya, aku tidak bisa mendengarnya, aku tidak bisa! Aku tidak mau hatiku semakin hancur! Jadi, lebih baik aku pergi.
Sore ini, aku mematikan teleponku. Aku tidak mau di ganggu hari ini. Aku sangat tidak mau. Aku ingin menyendiri. Aku ingin mengelem hatiku yang ternyata susah untuk di lem. Aku yang dulu yakin air mataku habis saat aku kehilangan Nenek tersayangku, ternyata saat ini tidak berhenti mengalir. Aku sakit.
“Sakit.”
Malamnya, aku langsung panas. Badanku panas, tapi aku merasa dingin. Aku pusing, aku merasa bumi ini sudah mulai kehilangan keseimbangan. Mataku juga sembab. Aku sakit.
Selasa
Aku menyerah,
Aku tak mau lagi mempermasalahkannya lagi. Cukup air mata buat Al! Cukup! Biarkan dia senang dengan kehidupannya. Biarkan saja. Di sini aku hanya menjadi pemain pembantu, hanya muncul sekejap, habis itu hilang bak ditelan bumi.
Aku ingin menjadi diriku yang dulu, diriku yang belum mengenal cinta. Diriku yang masih mempertanyakan apa itu cinta. Diriku yang masih bingung dengan kata cinta. Diriku yang hanya bisa menjadi sebiji beras saat ditanyai tentang cinta. Aku ingin itu! Dan, aku akan mengusahakannya.
Al, datang ke rumahku. Membawakan beberapa buah dan camilan. Kurasa dia akan lama di sini, dan kurasa hati ini akan hancur lagi. Kurasa…
“Kemarin kenapa kamu pulang cepat?” Tanyanya sambil duduk di kursi berwarna cokelat itu.
“Aku ada acara, kamu kemarin bagaimana? Berhasil?” Tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan tentang aku pulang cepat. Namun, malah ketemunya dengan masalah dia yang ingin menembak sahabatku itu. Sakit, ya sakitlah.
“Dia menerimaku.”. Aku hanya membalasnya dengan senyuman yang paling manis, dan berkata, “Selamat.”.
Aku menyerah,
Aku tak mau lagi mempermasalahkannya lagi. Cukup air mata buat Al! Cukup! Biarkan dia senang dengan kehidupannya. Biarkan saja. Di sini aku hanya menjadi pemain pembantu, hanya muncul sekejap, habis itu hilang bak ditelan bumi.
Aku ingin menjadi diriku yang dulu, diriku yang belum mengenal cinta. Diriku yang masih mempertanyakan apa itu cinta. Diriku yang masih bingung dengan kata cinta. Diriku yang hanya bisa menjadi sebiji beras saat ditanyai tentang cinta. Aku ingin itu! Dan, aku akan mengusahakannya.
Al, datang ke rumahku. Membawakan beberapa buah dan camilan. Kurasa dia akan lama di sini, dan kurasa hati ini akan hancur lagi. Kurasa…
“Kemarin kenapa kamu pulang cepat?” Tanyanya sambil duduk di kursi berwarna cokelat itu.
“Aku ada acara, kamu kemarin bagaimana? Berhasil?” Tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan tentang aku pulang cepat. Namun, malah ketemunya dengan masalah dia yang ingin menembak sahabatku itu. Sakit, ya sakitlah.
“Dia menerimaku.”. Aku hanya membalasnya dengan senyuman yang paling manis, dan berkata, “Selamat.”.
Aku ingin kembali!
Aku ingin diriku yang dulu!
Namun, mau bagaimana lagi? Ini sudah terjadi… Dan, ini takkan bisa berubah, namun ini akan berganti… Sebagaimana ia putus dengan Jane, dan kembali berbicara denganku, kembali bercanda denganku, kembali tertawa denganku. Dan, kembali ‘menulis perasaan’ denganku.
Aku ingin diriku yang dulu!
Namun, mau bagaimana lagi? Ini sudah terjadi… Dan, ini takkan bisa berubah, namun ini akan berganti… Sebagaimana ia putus dengan Jane, dan kembali berbicara denganku, kembali bercanda denganku, kembali tertawa denganku. Dan, kembali ‘menulis perasaan’ denganku.
Al. Dia cinta pertamaku. Dan, soal cinta, di saat aku menyerah. Dia datang, dengan membawa gambar hati yang diwarnai dengan spidol merah. Itu hati yang berwarna merah. Dia tunjukan, kepadaku.
Aku tersenyum. Dan berkata, “Itu dosa, aku hanya ingin kita bersahabat.”. Dia tersenyum, dan kemudian, kami tertawa bersama. Ya, bersama.
Aku tersenyum. Dan berkata, “Itu dosa, aku hanya ingin kita bersahabat.”. Dia tersenyum, dan kemudian, kami tertawa bersama. Ya, bersama.
Cerpen Karangan: Wahyu Tio
0 komentar:
Posting Komentar