Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Siang Itu Masih Berbekas


“Umi jahat! Umi gak sayang sama Meta!” begitulah kata Meta dengan nada tinggi sambil membanting pintu kamarnya. Entah perasaan apa yang berrkelebat di benaknya hingga ia menaikkan nada suaranya sampai tiga oktaf yang ia senandungkan untuk ibunya. Dia tahu ini tidak pantas, tapi ini sudah terlanjur. Lagipula hatinya belum mau mengakui kesalahan yang keluar dari lidahnya. Sebelumnya, dia tidak pernah semarah ini kepada siapapun apalagi kepada ibunya. Dia tidak mau kehilangan surga di telapak kaki Umi. Tapi kali ini Umi sudah keterlaluan yang membuat darah Meta mendidih.
Meta sadar, dia tidak mau larut dalam amarahnya dan mencoba membendung air matanya yang sepertinya hampir tumpah melengkapi pergolakan jiwanya. Dia beusaha untuk menenangkan dirinya dan memuntahkan segala unek-unek yang tak pernah sanggup dia muntahkan sembarangan karena dia sadar bawa setiap pasang mata yang dia jumpai belum tentu rela menjadi kantong kresek untuk menampung muntahan unek-uneknya. Tiba-tiba dia punya ilham untuk menenangkan jiwanya. Musik! Ya musik! barangkali musik mampu menjadi bius lokal bagi jiwanya yang bergolak merintih kesakitan. Dan, tanpa pikir panjang, dia menyabet MP3 di meja belajarnya lengkap dengan headset yang mampu menjaga rahasia dibalik irama-irama yang mengalun syahdu. Meta ingin hanya telinganya saja yang mendengar irama-irama itu, walau dia tahu bawa itu mustahil karena Tuhan tak pernah tuli, walau suara dengan getaran kurang dari 20Hz sekalipun, Tuhan pasti mendengar. Apalagi suara yang tadi dia alamatkan kepada Uminya. Barangkali semut-semut yang ada di lantai rumahnya pun mendengar.
Dia hidupkan MP3 itu, dia pencet-pencet semau jari-jarinya. Dan ketika jari-jarinya berhenti untuk mencet-mencet tombol di MP3 itu, sebuah lagu yang bejudul “Bunda” pun mengalun dengan syahdu. Kali ini, bendungaan di kelopak matanya telah jebol. Dia menangis, tapi dia tak mau orang lain mendengar tangisannya, termasuk umi.
Di antara barang-barang yang berhamburan yang jatuh di mata hitamnya, dia menemukan sesuatu yang sangat ingin ia hampiri dan dia buka-buka. Sepertinya ada seseorang yang memencet tombol pause yang membuat yang membuat pikiran Meta tertuju pada suatu benda yang orang memenggilnya dengan sebutan ‘album foto”. Dengan tangan yang gemetaran dia pelan-pelan membuka album itu. Dia tatap setiap gambar-gambar yang mengisahkan masa lalunya, masa lau bersama ayah, kakak dan… Umi. Walau sampul album foto itu tidak berwarna biru seperti penggalan lirik lagu yang sedang dia dengarkan, tapi satu titik di relung sukmanya merasakan haru biru. Apalagi ketika dia menatap sebuah hasil jepetan yang berdasarkan akal sehat pasti berrnama “sepeda”. Kemudian, ia coba kumpulkan serpihan-serpihan kenangannya dengan sepeda itu.
Kala sang surya memancarkan radiasi ke bumi ini, meta tak kuasa menghindar dari pancaan sinar kehidupan yang membaka suasana siang itu. Tidak ada sedikitpun titik kelabu di langit nan biru walau domba-domba bertebaran seperti membentuk rasi bintang saat mentari belum berniat untuk pulang. Tiada sesuatu yang spesial di siang itu, Meta masih merasa siang itu adalah siang yang datar, sedatar hidupnya yang tak juga merasakan pasang atau surut terus. Mungkin karena Meta tak pernah berada di tepi laut kala bulan menyambangi malam atau kala surya terang benderang. Hidup boleh dikatan sama dengan laut. Laut terhampar luas tiada berujung, terus bersambung dan, hidup itu panjang, walau berujung kematian. Namun, bukankah hidup itu kelak abadi di alam yang abadi pula? Yang perlu kita lakukan untuk mengarungi gelombang hanyalah, hadapi! tapi bagaimana Meta mau meenghadapi gelombang kehidupan kalau dirinya sama sekali belum pernah berpapasan. Meta ingin merasakan gelombang itu. Tapi bagaimana caranya?
Bel telah berbunyi dan tanap harus mengucapkan kata-kata semua murid sudah mampu mencerna apa yang bel itu maksud termasuk Meta. Dia bergegas meninggalkan kelas 3 yang ia singgahi selama hampir 1 tahun. Dia merasa bahagia karena tes akhir semester telah usai. Itu berarti dia tak perlu belajar dengan porsi seperti beberapa hari yang lalu sampai kemarin. Tanpa mau membuang-buang waktu, Meta segera mengambil sepedanya yang ia parkir di samping parkiran guru dan menggowesnya dengan semangat ’45. Melewati jalan raya yang sesak akan kepulan asap-asap kendaraan bermotor. “Uhuk!uhuk!” Meta berbatuk-batuk ketika dia berada persis di belakang motor 2 yang tak mampu diajak ngebut lagi. Meta sabar menanti belokan tegang menuju rumahnya. Setelah sepedanya berjalan kalem sejauh 200 meter, gang itupun memeberi ucapan selamat datang dan di satu sisi tugu itu, masih terlihat jelas angka 17 dan 8 namun ‘45nya sudah tidak jelas karena kapilaritas. Dan semangat Meta untuk bertemu gelombang kehidupan, melengkapi angka ’45 yang buram itu dan… merdeka! Kali ini hati Meta benar-benar merdeka.
Ketika raga dan sepedanya sudah berada di depan pintu rumahnya, Meta mendengar telepon berdering dari ruang keluarga. Dia meletakkan sepedanya begitu saja di samping jendela dan berlari sambil mengucapkan assalamu’alaikum! tanpa mengharap jawaban dari siapapun. Dia sudah tidak peduli lagi siapa yang akan menjawab salamnya itu, entah umi, semut-semut, lalat-lalat, atau mungkin malaikat. Dia tidak menghitung beberapa kecepatan berlarinya, kelajuannya, percepatannya. Yang dia tahu hanyalah mengangkat gagang teleponnya. Dia tak peduli siapa saingannya, pokoknya suaranya harus terdengar pertama kali oleh si penelepon. Dia tidak peduli penelepon mengalamatkan panggilannya itu. Yang sudah pasti bukan dirinya. Yang penting Meta yang pertama. Dasar anak kecil!
Petak demi petak keramik telah dia lewati. Dia menganggap lantai di seluruh sudut rumahnya itu sejajar, lurus. Padahal… Bruk! Meta lupa bahwa ada bagian dari lantai rumahnya yang membentuk lipatan yang mampu membuat patahan di jidat dekat rambutnya. Ia tersandung lipatan itu dan terjatuh lunglai sebelum mencapai titik finish. Ada rasa pening dan perih yang menggerogoti tubuhnya yang lunglai. Dia belum mengetahui bagaimana kondisi terakhir tubuhnya, adakah luka di tubuhnya? Jika ada, seberapa parahkah luka itu?
Meta merasakan kesakitan jidatnya lebih dari bagian tubuh yang lain. Jari-jari kecilnya dengan tergopoh-gopoh berusaha mendekati jidatnya itu, dengan hati-hati dia meraba jidatnya. Dia mendapati sebuah goresan di jidatnya. Seberapa dalam dan panjang goresan itu? Mengapa goresan itu menangis? Dan ketika Meta menyentuhkan tangannya di sekitar goresan itu untuk dia bawa ke depan kedua matanya, kedua mata Meta tertular tangisan di jidatnya itu. Ada tiga sumber yang mengeluarkan cairan, dia tahu betul nama-nama cairan itu. Cairan yang keluar dari kedua matanya itu bernama air mata. Dan cairan yang keluar dari robekan di jidatnya itu bernama darah! Oh tidak! Meta takut melihat darah meski kalau ditanya “Mau jadi apa kamu kalau sudah besar?” Meta selalu menjawabnya “Mau jadi dokter!”
“Ha! Darah! Umi!” Meta memanggil-manggil uminya dengan tangisnya yang menderu melebihi dering telepon di ruang keluarga dekat TKP. Saat Umi akan mendekati Meta dering telepon itu sudah enggan memanggil-manggil. Dan ketika Umi melihat kondisi anak perempuan satu-satunya itu, wajah umi pucat pasi tak kalah pucat dengan wajah Meta. Bagaimana mungkin seorang ibu tak menderita jika anaknya menderita. Umi bergegas menghampiri kotak P3K di dinding menuju dapur, dan diambilnya perban dan mitela untuk membalut luka Meta. Setelah luka di jidat Meta terbalut Umi bergegas menstarter motor untuk membawa Meta ke dokter. Yang tadi itu hanya pertolongan pertama.
Umi seperti ingin menguntir gasnya sampai batas kecepatan tertinggi. Tapi Umi sadar, ini Negara hukum. Sebagai warga Negara yang baik, seharusnya Umi juga harus baik berlalu lintas. Tidak seenaknya. Tidak berselang lama setelah itu, motor yang mereka naiki berhenti di sebuah klinik bernama “Kasih Ibu”.
Di dalam klinik itu, jidat Meta mendapat jahitan tiga. Meta menangis sejadinya mencoba membebaskan rasa takutnya. Sebenarnya dokter telah membius Meta, tetapi melihat jarum yang keluar masuk kulit keningnya untuk menutup luka itu, tangis Meta semakin menjadi. Umi memeluk Meta dengan penuh kehangatan. Hati Meta merasa tentram dan seperti berada di rerimbunan ilalang tanpa ada yang mengusiknya.
Meta terbangun dari lamunannya. Dia menyadari ibunya begitu menyayanginya. Dia harus meminta maaf atas kekhilafannya tadi. Meta dengan antusias mencari Uminya dan dia menemukan Umi di ruang keluarga. “Umi, maafin Meta!” Meta meletakkan kepalanya di dada Umi dan meletakkan tangannya di punggung Umi. Umi juga memeluk Meta. Peluk Umi hangat sekali. Sehangat pelukannya dahulu ketika jidatnya dijahit, lukanya ditutupi. Meta mencoba menutupi luka umi dan menjahit keakraban di antara mereka dengan permintaan maaf ini.
Seharusnya, Meta tidak serta merta marah kepada umi. Hanya karena umi tidak mengizinkan dia menonton konser boyband kesukaannya, sedangkan kakaknya diperbolehkan. Paling tidak, mereka berjalan seperti semula. Dan Meta masih merasakan bekas siang itu di pelukan Umi.
Cerpen Karangan: Raisa Arum Azimah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar