Aku masih menatapnya tidak percaya saat ia mengatakan dengan jelas, di depan wajahku, dia memutuskan tali persahabatan yang telah terjalin sejak lima tahun yang lalu. Aku menggeleng-geleng, menatapnya nanar. Persahabatan yang telah susah payah dibangun dengan rasa sabar, hancur untuk alasan yang tidak kuketahui? Hoh, memalukan. Apa persahabatan ini serapuh itu?
“Kamu kenapa? Aneh. Jangan bercanda di saat-saat seperti ini, deh. Kenapa kamu tiba-tiba datang kesini, sambil berteriak kencang seolah-olah aku ini orang tuli, ‘persahabatan kita putus!’ apa itu cara yang baik untuk mengerjaiku?!” suaraku meninggi. Biar ini hanya bercanda, ini sungguh menyebalkan. Otakku masih berputar-putar, masih mencari-cari alasan ia mengatakan hal itu. Sudah jelas, ia tak mungkin mengatakannya untuk bercanda. Ia pasti punya alasan mengapa ia mengutarakan hal itu di depan wajahku tanpa memikirkan apa yang sedang dikatakannya.
“Aku kecewa sama kamu. Kecewa!” teriaknya. Kata-kata itu cukup mampu menusuk jantungku.
“Kamu kenapa? Aneh. Jangan bercanda di saat-saat seperti ini, deh. Kenapa kamu tiba-tiba datang kesini, sambil berteriak kencang seolah-olah aku ini orang tuli, ‘persahabatan kita putus!’ apa itu cara yang baik untuk mengerjaiku?!” suaraku meninggi. Biar ini hanya bercanda, ini sungguh menyebalkan. Otakku masih berputar-putar, masih mencari-cari alasan ia mengatakan hal itu. Sudah jelas, ia tak mungkin mengatakannya untuk bercanda. Ia pasti punya alasan mengapa ia mengutarakan hal itu di depan wajahku tanpa memikirkan apa yang sedang dikatakannya.
“Aku kecewa sama kamu. Kecewa!” teriaknya. Kata-kata itu cukup mampu menusuk jantungku.
Kami berargumen sangat lama, dengan cukup alot, hingga akhirnya aku kesal dan pergi. Ngapain masih disitu, memperjuangkan persahabatan yang memang sudah jatuh ke jurang? Aku juga masih punya harga diri untuk mengusiknya lagi. Biar saja dia bersama dengan teman-teman barunya, kita lihat saja siapa yang terbaik! Sebentar lagi, ketika mereka sudah tidak membutuhkan kamu lagi, kamu pasti kembali padaku! Kamu pasti malu!
Dia mengatakan, aku telah merebut orang yang disukainya. Pasti anak-anak penyebar gosip itu lagi. Kenapa sih mulut mereka itu tidak bisa direm? Seharusnya mulut-mulut mereka itu ikut dioperasi agar tidak bisa lagi menyebarkan hal yang nggak jelas kebenarannya. Huh.
Esoknya, aku berangkat sekolah dengan wajah sedikit menyeramkan. Semalam aku tidak tidur, hanya tertawa dendam dan kesal-kesal sendiri. Aku rasa aku sudah gila. Pada saat acara sarapan pagi. Aku memelototi seluruh anggota keluargaku yang ada di meja makan. Ayah, ibu, kakak. Mereka semua telah dapat mataku yang mematikan ini. Mereka salah tingkah. Kakakku mengejekku lagi, ‘dasar perempuan mengerikan!’ sahutnya dari kejauhan.
“Kalau kau bicara lagi, besok kepalamu akan tergantung di depan sekolah,” ancamku sambil tersenyum licik. “Khu, Khu, khu…”
“Kalau kau bicara lagi, besok kepalamu akan tergantung di depan sekolah,” ancamku sambil tersenyum licik. “Khu, Khu, khu…”
Di sekolah, aku langsung menuju kelasku, dan menduduki bangkuku tanpa menoleh sedikitpun ke arah belakang. Aku membiarkan bangku di sebelahku kosong. Daripada tasku harus tertindih, lebih baik ia mendapatkan kursi kosong itu sebagai tempat yang layak. Aku menggambar-gambar anime dan berusaha tidak menoleh.
Salah satu dari mereka, mulai menunjukkan kekesalannya padaku. Karen menggebrak mejaku dengan kerasnya. Aku sama sekali tidak terkejut ataupun kesal karena dibandingkan ini, penganiayaan kakakku di rumah jauh lebih kejam, hehe.
“Sudah ditinggal sahabat begitu masih sombong. Pura-pura kuat. Memangnya kamu tidak punya rasa malu sampai-sampai mendekati cowok orang?!” bentaknya khas. Aku berdiri. Semua kata-kata yang akan kukeluarkan adalah kata-kata yang sudah kurancang selama semalaman penuh.
“Hei, berisik. Seharusnya aku yang tanya pada kalian, apa kalian tidak malu menyebarkan berita bohong seperti itu dan menghancurkan persahabatan orang?!” bentakku. “Kalau nggak tahu apa-apa, lebih baik diam dan jaga mulut lentur kalian itu. Dan, jangan campuri urusan orang. Apa kalian senang jika melihat orang menderita, hah?!”
“Tch…” Karen menggerakkan tangannya, ia mungkin ingin menamparku.
“Tampar saja kalau berani. Setelah kamu menamparku, tulang punggungmu akan kupatahkan dan kau akan kugantung di depan ruang kepala sekolah. Mau?”
Akhirnya dia menarik tangannya kembali, lalu duduk di bangkunya sambil mengumpat padaku.
Salah satu dari mereka, mulai menunjukkan kekesalannya padaku. Karen menggebrak mejaku dengan kerasnya. Aku sama sekali tidak terkejut ataupun kesal karena dibandingkan ini, penganiayaan kakakku di rumah jauh lebih kejam, hehe.
“Sudah ditinggal sahabat begitu masih sombong. Pura-pura kuat. Memangnya kamu tidak punya rasa malu sampai-sampai mendekati cowok orang?!” bentaknya khas. Aku berdiri. Semua kata-kata yang akan kukeluarkan adalah kata-kata yang sudah kurancang selama semalaman penuh.
“Hei, berisik. Seharusnya aku yang tanya pada kalian, apa kalian tidak malu menyebarkan berita bohong seperti itu dan menghancurkan persahabatan orang?!” bentakku. “Kalau nggak tahu apa-apa, lebih baik diam dan jaga mulut lentur kalian itu. Dan, jangan campuri urusan orang. Apa kalian senang jika melihat orang menderita, hah?!”
“Tch…” Karen menggerakkan tangannya, ia mungkin ingin menamparku.
“Tampar saja kalau berani. Setelah kamu menamparku, tulang punggungmu akan kupatahkan dan kau akan kugantung di depan ruang kepala sekolah. Mau?”
Akhirnya dia menarik tangannya kembali, lalu duduk di bangkunya sambil mengumpat padaku.
—
“Sebenarnya kenapa sih kamu?” Aku masih tidak mengerti. “Tiba-tiba percaya dengan pembicaraan mereka, padahal kita sama-sama tahu kalau sifat mereka seperti itu!”
“Aku nggak bisa percaya sama kamu lagi,” Isaknya. “Kamu jahat. Kamu ‘kan tahu aku suka sama Zumi. Kenapa kamu malah deket-deket dia?”
“Yumi, aku nggak bermaksud deket-deket, tapi memang ada pekerjaan yang harus kita selesaikan, itu alasannya…”
“Aku nggak percaya…” Dia tambah terisak. “Risa jahat!”
Dia lalu berlari tanpa mendengarku. Aduh, gimana nih? Mungkin lebih baik aku bicara pada Zumi agar semua masalah selesai. Tapi, buat apa aku ngomong sama dia? Alasan apa yang harus aku bicarakan, ‘jelaskan kalau kita bukan apa-apa.’ Lalu dia akan bertanya, ‘memangnya kenapa?’ lalu aku jawab, ‘Yumi marah sama aku karena dia mengira kita pacaran.’ Lalu, berarti perasaan Yumi pada Zumi akan terbongkar. Sama saja menyiram bensin di atas api. Oh, oh, itu pikirkan nanti saja. Yang penting, Zumi harus kupaksa untuk bicara semuanya. Yeay!
“Zumi, teman-teman mengira kita sedang dalam hubungan yang lebih dari teman, mereka salah paham, jadi mereka bermasalah denganku. Bisa bantu aku menjelaskannya?” akhirnya aku menemukan alasan yang tepat.
“Biar kutebak. Anak-anak bermulut setan itu?” ujarnya emosi. “Baik. Biar aku jelaskan pada mereka. Mereka memang tidak bisa berhenti beraksi.”
“Aku nggak bisa percaya sama kamu lagi,” Isaknya. “Kamu jahat. Kamu ‘kan tahu aku suka sama Zumi. Kenapa kamu malah deket-deket dia?”
“Yumi, aku nggak bermaksud deket-deket, tapi memang ada pekerjaan yang harus kita selesaikan, itu alasannya…”
“Aku nggak percaya…” Dia tambah terisak. “Risa jahat!”
Dia lalu berlari tanpa mendengarku. Aduh, gimana nih? Mungkin lebih baik aku bicara pada Zumi agar semua masalah selesai. Tapi, buat apa aku ngomong sama dia? Alasan apa yang harus aku bicarakan, ‘jelaskan kalau kita bukan apa-apa.’ Lalu dia akan bertanya, ‘memangnya kenapa?’ lalu aku jawab, ‘Yumi marah sama aku karena dia mengira kita pacaran.’ Lalu, berarti perasaan Yumi pada Zumi akan terbongkar. Sama saja menyiram bensin di atas api. Oh, oh, itu pikirkan nanti saja. Yang penting, Zumi harus kupaksa untuk bicara semuanya. Yeay!
“Zumi, teman-teman mengira kita sedang dalam hubungan yang lebih dari teman, mereka salah paham, jadi mereka bermasalah denganku. Bisa bantu aku menjelaskannya?” akhirnya aku menemukan alasan yang tepat.
“Biar kutebak. Anak-anak bermulut setan itu?” ujarnya emosi. “Baik. Biar aku jelaskan pada mereka. Mereka memang tidak bisa berhenti beraksi.”
Zumi bersedia membantuku. Esoknya, aku menyeret paksa Zumi ke hadapan anak-anak itu. Beberapa ada yang mencibir, mengejek, menghina, dan ucapan-ucapan menyakitkan semacamnya. Aku tidak begitu menghiraukan. Nggak ada gunanya juga.
“Jadi begini,” Zumi menjelaskannya dnegan gugup. “Kami ini sama sekali tidak ada apa-apa. Ingat festival pekan seni budaya yang akan diadakan minggu depan? Kami berdua diperintahkan oleh kepala sekolah untuk membuat event-event di dalamnya menjadi lebih hidup, dan mengatur jalannya festival. Kami juga bertanggung jawab atas dekorasi, tiket dan letak-letak stand. Jadi sejauh ini, kami hanya partner sementara yang disewa oleh sekolah untuk kelangsungan pekan seni budaya. Mengerti?”
“Jadi, kalian sebenarnya tidak ada apa-apa?” Yumi membuka mulutnya.
“Tidak,” Zumi menjawab. “Semua ini adalah tugas dari sekolah. Ingin lebih akurat? Mau kupanggil kepala sekolah untuk menjelaskannya sekarang?”
“Eh, tidak perlu repot-repot,” Karen mengelak. “Kami percaya kok.”
“Jadi begini,” Zumi menjelaskannya dnegan gugup. “Kami ini sama sekali tidak ada apa-apa. Ingat festival pekan seni budaya yang akan diadakan minggu depan? Kami berdua diperintahkan oleh kepala sekolah untuk membuat event-event di dalamnya menjadi lebih hidup, dan mengatur jalannya festival. Kami juga bertanggung jawab atas dekorasi, tiket dan letak-letak stand. Jadi sejauh ini, kami hanya partner sementara yang disewa oleh sekolah untuk kelangsungan pekan seni budaya. Mengerti?”
“Jadi, kalian sebenarnya tidak ada apa-apa?” Yumi membuka mulutnya.
“Tidak,” Zumi menjawab. “Semua ini adalah tugas dari sekolah. Ingin lebih akurat? Mau kupanggil kepala sekolah untuk menjelaskannya sekarang?”
“Eh, tidak perlu repot-repot,” Karen mengelak. “Kami percaya kok.”
Lalu gerombolan sial itu pergi ke luar, atau lebih tepatnya kabur. Aku dan Yumi sama-sama tersenyum, lalu kami berpelukan. Ia meminta maaf karena sempat tak percaya padaku. Tentu, aku memaafkannya. Persahabatan kami terjalin kembali. Lalu, kami berdua menatap ke arah Zumi, yang keheranan dengan sikap kami berdua.
“Sebenarnya ini ada apa sih? Kok jadi drama gini?” tanyanya bingung.
Aku tersenyum. Biar saja waktu mengungkap rahasia ini pada saatnya…
“Sebenarnya ini ada apa sih? Kok jadi drama gini?” tanyanya bingung.
Aku tersenyum. Biar saja waktu mengungkap rahasia ini pada saatnya…
Cerpen Karangan: Audrey
0 komentar:
Posting Komentar