Semilir angin datang berhembus, menerbangkan lembut rambut gadis jelita yang tidak jauh dari hadapanku. Tawanya yang bisa membuat pikiranku tak pernah lepas dari dirinya. Senyumnya, sifat ramah tamahnya yang membuat hampir semua orang yang mengenalinya sayang terhadapnya. Bahkan ada beberapa orang yang terang-terangan menunjukkan perasaan mereka pada gadis itu. Tak terkecuali diriku.
“Udahlah, bro. Mau sampai kapan lo begini terus. Lo tu harus bangkit, cari gebetan baru. Nah ini, malah asyik lihatin mantan. Kurang kerjaan lo..” Robi, teman dekatku sudah duduk dengan nyaman di sampingku sambil membawa makanan yang aku pesan. Ya, Robi sudah seringkali menyuruhku untuk melupakan Viana, gadis yang kuperhatikan sekarang. Sayangnya seberapa keras aku mencoba melupakan Viana, semakin sakit rasanya hatiku ketika menyadari aku tak bisa lagi menjadi orang terdekatnya.
“Lo tau kan, Rob? Gue masih sayang sama dia. Jadi percuma kalau lo nyuruh gue untuk lupain dia sekarang.”
“Terus? Kenapa nggak lo ajak balikan aja?” tanya Robi dengan santainya. Aku menatap Robi tajam, berusaha membuatnya sadar akan sesuatu. Robi yang awalnya cuek mulai melirikku, mengalihkan pandangannya ke tempat lain sambil asyik mengunyah makanannya. Aku tetap tidak melepaskan pandanganku dari Robi sampai akhirnya dia menyerah dengan mengangkat kedua tangannya, “oke-oke. Gue tahu lo sudah bilang alasannya ke gue. Tetapi kan nggak ada salahnya mencoba, Vikri?”
Aku menghela nafas berat, kembali melihat Viana. “Aku rasa percuma, Rob. Dia tidak akan mau balikan lagi denganku.”
6 bulan yang lalu…
“Kamu mau nggak jadi pacar aku?” tanyaku pada Viana. Viana menatapku tidak percaya. Dia bahkan belum mengeluarkan sepatah katapun sejak pengutaraan cintaku padanya tadi.
“Ehmm, tapi kenapa aku, Ri? Kamu itu pintar, juara umum malah, kapten futsal, banyak cewek yang mau sama kamu. Sedangkan aku hanya siswi biasa di sekolah ini, aku hanya….”
“Bagi aku, kamu itu gadis yang istimewa,” aku langsung memotong kata-kata Viona. “kamu itu baik, suka menolong teman-teman yang butuh bantuan kamu. Bahkan aku mendengar dari banyak orang, kamu sering meminjamkan laptop kamu ke teman-teman kita yang ingin mengerjakan tugas mereka, padahal tugas kamu sendiri belum selesai.”
“Itu karena aku bisa meminjam laptop orang tuaku untuk mengerjakan tugas. ”
“Karena itulah aku suka kamu. Tidak banyak gadis yang seperti kamu, yang mementingkan orang lain. Banyak gadis lain yang bersikap egois, tidak peduli pada orang lain. Kebaikan hati kamu yang membuat aku suka sama kamu, Vi.”
Kulihat Viana menghela nafasnya, “aku yakin jika gadis lain yang ada di hadapanmu sekarang akan langsung menerimamu.”
“Maksudmu, kamu tidak mau menerimaku?” aku bertanya gusar. Apakah Viana tidak menyukaiku?
“Entahlah Vikri. Aku sendiri belum yakin tentang perasaanku padamu. Apakah rasa suka atau hanya kagum.”
“Kamu mau nggak jadi pacar aku?” tanyaku pada Viana. Viana menatapku tidak percaya. Dia bahkan belum mengeluarkan sepatah katapun sejak pengutaraan cintaku padanya tadi.
“Ehmm, tapi kenapa aku, Ri? Kamu itu pintar, juara umum malah, kapten futsal, banyak cewek yang mau sama kamu. Sedangkan aku hanya siswi biasa di sekolah ini, aku hanya….”
“Bagi aku, kamu itu gadis yang istimewa,” aku langsung memotong kata-kata Viona. “kamu itu baik, suka menolong teman-teman yang butuh bantuan kamu. Bahkan aku mendengar dari banyak orang, kamu sering meminjamkan laptop kamu ke teman-teman kita yang ingin mengerjakan tugas mereka, padahal tugas kamu sendiri belum selesai.”
“Itu karena aku bisa meminjam laptop orang tuaku untuk mengerjakan tugas. ”
“Karena itulah aku suka kamu. Tidak banyak gadis yang seperti kamu, yang mementingkan orang lain. Banyak gadis lain yang bersikap egois, tidak peduli pada orang lain. Kebaikan hati kamu yang membuat aku suka sama kamu, Vi.”
Kulihat Viana menghela nafasnya, “aku yakin jika gadis lain yang ada di hadapanmu sekarang akan langsung menerimamu.”
“Maksudmu, kamu tidak mau menerimaku?” aku bertanya gusar. Apakah Viana tidak menyukaiku?
“Entahlah Vikri. Aku sendiri belum yakin tentang perasaanku padamu. Apakah rasa suka atau hanya kagum.”
Aku menggenggam tangan Viana erat-erat. Aku sudah lama menantikan saat ini saat dimana aku akan mendengar Viana menerima cintaku. Tapi entah kenapa sekarang aku ragu kalau Viana akan menerimaku. Tidak! Aku harus bisa membuat Viana menerimaku.
“Setidaknya bisakah kamu mencobanya, Viana. Kumohon Viana?”
Aku menatap Viana. Dia hanya menunduk, seperti sedang memikirkan sesuatu. Kumohon Viana, katakan jika kamu mau mencoba. Aku yakin perasaanmu itu bukan hanya sekedar kekaguman.
Viana mengangkat kepalanya, kemudian menatapku dengan tersenyum, “baiklah, aku mau. Aku akan mencobanya.”
Hari-hari berikutnya aku jalani dengan penuh kebahagiaan karena adanya Viana. Kami mulai sering menghabiskan waktu bersama seprti layaknya orang-orang pacaran. Waktu terasa begitu sangat cepat berlalu. Hingga bulan kelima kami lewati dengan begitu gembira.
Tetapi tak lama setelah itu, aku mulai merasa ada yang aneh dengan Viana. Dia lebih pendiam, tak seceria awal kami pacaran. Lebih sering melamun dan mulai tidak mendengarkan aku ketika aku mengajaknya berbicara.
Hingga suatu kekika Viana mengajakku untuk bertemu di tempat biasa kami menghabiskan waktu untuk bercerita banyak hal. Tempat yang juga menjadi saksi bisu ketika aku menyatakan perasaanku pada Viana.
“Vikri, aku ingin kita putus!” ujarnya tanpa basa-basi. Aku hanya bisa melongo, terdiam mendengar kata-katanya. Aku hanya berharap aku salah dengar, tetapi tidak. Aku memang tidak salah dengar, Viana ingin mengakhiri hubungan kami.
“Tetapi kenapa, Vi?”
“Aku sudah berusaha, Ri. Selama lima bulan ini aku jalani hubungan kita, berusaha menumbuhkan perasaan kepadamu. Tetapi aku tidak bisa, Ri. Perasaanku padamu hanya sebatas teman. Nggak lebih. Dan kalau aku tetap mempertahankan hubungan kita, sama aja aku membohongi kamu, membohongi diriku juga. Yah, aku harap kamu ngerti, Ri. Masih banyak cewek yang mau sama kamu, yang lebih baik dari aku. Kita masih tetap jadi teman, kan?”
Viana tersenyum ketika melontarkan kalimat terakhirnya. Aku tersenyum masam, membalas senyumannya. Sejujurnya aku tidak mau putus darinya. Tetapi jika aku pertahankan, itu tidak adil bagi Viana yang tidak memiliki perasaan apa-apa padaku.
“Ia, kita teman,” ujarku membalas pertanyaannya.
“Tetapi kenapa, Vi?”
“Aku sudah berusaha, Ri. Selama lima bulan ini aku jalani hubungan kita, berusaha menumbuhkan perasaan kepadamu. Tetapi aku tidak bisa, Ri. Perasaanku padamu hanya sebatas teman. Nggak lebih. Dan kalau aku tetap mempertahankan hubungan kita, sama aja aku membohongi kamu, membohongi diriku juga. Yah, aku harap kamu ngerti, Ri. Masih banyak cewek yang mau sama kamu, yang lebih baik dari aku. Kita masih tetap jadi teman, kan?”
Viana tersenyum ketika melontarkan kalimat terakhirnya. Aku tersenyum masam, membalas senyumannya. Sejujurnya aku tidak mau putus darinya. Tetapi jika aku pertahankan, itu tidak adil bagi Viana yang tidak memiliki perasaan apa-apa padaku.
“Ia, kita teman,” ujarku membalas pertanyaannya.
—
“Woi, Vikri!!! Melamun terus lo. Nggak capek apa?” Robi kembali mengagetkanku. Sontak aku menjauhi telingaku dari jeritannya.
“Berisik lo! Suka-suka gue dong mau melamun atau enggak.”
“Yee, lo pikir enak apa cerita panjang lebar tapi nggak ada yang dengerin?”
“Iya, sory…”
“Huh…” Robi sepertinya kesal padaku. Aku mengambil minumanku yang tinggal setengah, lalu meminumnya sampai habis. Kurasakan bahuku disenggol Robi. “Eh, Vik. Viana lewat tuh..”
“Berisik lo! Suka-suka gue dong mau melamun atau enggak.”
“Yee, lo pikir enak apa cerita panjang lebar tapi nggak ada yang dengerin?”
“Iya, sory…”
“Huh…” Robi sepertinya kesal padaku. Aku mengambil minumanku yang tinggal setengah, lalu meminumnya sampai habis. Kurasakan bahuku disenggol Robi. “Eh, Vik. Viana lewat tuh..”
Aku melihat ke arah pandangan Robi. Viana sedang berjalan melewati kami, dan sekilas kulihat dia tersenyum kepada kami. Sifatnya yang ramah ternyata masih sangat melekat pada dirinya.
“Lo beneran masih cinta sama dia ya? Ketahuan dari cara lo liatin dia,” Robi bergumam di sampngku. Aku hanya mengangkat bahuku tak membantah ucapan Robi. Untuk saat ini masih terlalu sulit untuk melupakan Viana.
“Mungkin lo perlu seseorang, Vik. Jika lo nggak bisa melupakan Viana dengan usaha lo sendiri, mungkin harus ada cewek lain yang membantu lo. Setidaknya cewek yang bisa memikat hati lo. Gue punya kenalan cewek di SMA Bakti sana. Orangnya baik kok. Lo mau gue kenalin?”
Aku mengangkat alisku melihat Robi. “Ciela, tumben kata-kata bijaksana tadi keluar dari mulut lo. Atau lo lagi kesambet?” candaku.
“Apaan sih lo? Eh, serius nih. Mau nggak gue kenalih?” tanya Robi lagi.
Aku hanya menggeleng lalu berdiri dari tempat dudukku. “Lain kali deh Rob. Ke kelas yuk, bentar lagi masuk.”
“Tapi beneran ya. Lain kali pasti gue kenalin loh?” ujar Robi sambil mengikuti langkahku. Aku hanya tertawa kecil melihat keantusiasannya. Yah, mungkin kata-kata Robi ada benarnya juga. Aku tidak bisa melupakan Viana dengan usahaku sendiri. Yang aku harap sekarang hanya semoga aku masih bisa melihat Viana tertawa bahagia, karena itu sudah cukup bagiku.
“Mungkin lo perlu seseorang, Vik. Jika lo nggak bisa melupakan Viana dengan usaha lo sendiri, mungkin harus ada cewek lain yang membantu lo. Setidaknya cewek yang bisa memikat hati lo. Gue punya kenalan cewek di SMA Bakti sana. Orangnya baik kok. Lo mau gue kenalin?”
Aku mengangkat alisku melihat Robi. “Ciela, tumben kata-kata bijaksana tadi keluar dari mulut lo. Atau lo lagi kesambet?” candaku.
“Apaan sih lo? Eh, serius nih. Mau nggak gue kenalih?” tanya Robi lagi.
Aku hanya menggeleng lalu berdiri dari tempat dudukku. “Lain kali deh Rob. Ke kelas yuk, bentar lagi masuk.”
“Tapi beneran ya. Lain kali pasti gue kenalin loh?” ujar Robi sambil mengikuti langkahku. Aku hanya tertawa kecil melihat keantusiasannya. Yah, mungkin kata-kata Robi ada benarnya juga. Aku tidak bisa melupakan Viana dengan usahaku sendiri. Yang aku harap sekarang hanya semoga aku masih bisa melihat Viana tertawa bahagia, karena itu sudah cukup bagiku.
Cerpen Karangan: NiZahsy Lubis
0 komentar:
Posting Komentar