Aku adalah seorang pelajar sekolah menengah negeri. Aku bernama Reza Aditama, biasa dipanggil Reza. Tempat tinggalku tidak terlalu jauh dari tempatku bersekolah. Meskipun cukup dekat, aku jarang sekali berangkat pagi.
Jam dinding menunjukkan pukul 06.40, aku pun berangkat ke sekolah. Dengan seragam yang rapih dan wangi, aku berjalan dengan santai sekali.
“Hey, kamu sudah ulangan Matematika belum?”, tanyaku kepada Romi yang baru turun dari angkutan umum.
“Belum, nanti minggu depan. Memangnya kenapa?”
“Oh, ternyata belum. Padahal, aku ingin bertanya materi apa saja yang keluar,” aku merasa sedikit kecewa karena hari ini aku ada ulangan Matematika.
“Lalu, tugas membuat puisi bagaimana? Apa puisimu sudah dinilai?”, tanya Romi saat melewati pintu gerbang.
“Aduh, aku lupa! Hari ini dikumpulkan, tapi aku belum mengerjakannya,” sambil menuju ke kelasku dengan terburu-buru.
“Woy, mau kemana kamu?”, teriak Romi karena tiba-tiba aku meninggalkannya.
“Hey, kamu sudah ulangan Matematika belum?”, tanyaku kepada Romi yang baru turun dari angkutan umum.
“Belum, nanti minggu depan. Memangnya kenapa?”
“Oh, ternyata belum. Padahal, aku ingin bertanya materi apa saja yang keluar,” aku merasa sedikit kecewa karena hari ini aku ada ulangan Matematika.
“Lalu, tugas membuat puisi bagaimana? Apa puisimu sudah dinilai?”, tanya Romi saat melewati pintu gerbang.
“Aduh, aku lupa! Hari ini dikumpulkan, tapi aku belum mengerjakannya,” sambil menuju ke kelasku dengan terburu-buru.
“Woy, mau kemana kamu?”, teriak Romi karena tiba-tiba aku meninggalkannya.
Terlihat sepi sekali di tempat teman-temanku biasa berkumpul. Ketika aku masuk ke kelas, ternyata banyak juga yang belum selesai mengerjakan tugas itu.
“Za, tugas puisi sudah belum?” tanya salah seorang temanku.
“Belum, aku baru akan mengerjakannya,” sambil menyiapkan alat tulis.
Aku bingung harus menulis apa, teman-temanku yang lain sudah hampir selesai. Bel masuk sebentar lagi berbunyi, meskipun belum menulis apa-apa aku masih santai dan tenang, itulah sifatku.
Tiba-tiba, aku teringat ketika hendak menuju kelas, aku sempat menabrak seseorang dan hampir membuatnya jatuh. Untung saja aku segera memegang tangannya sebelum ia terjatuh. Wajahnya cantik sekali, kulitnya putih, dan saat aku meminta maaf kepadanya ia hanya tersenyum saja. Karena kejadian itu, aku mendapat inspirasi untuk membuat sebuah puisi. Dengan membayangkan wajah dan senyuman manisnya, aku menulis dengan lancar sekali.
“Za, tugas puisi sudah belum?” tanya salah seorang temanku.
“Belum, aku baru akan mengerjakannya,” sambil menyiapkan alat tulis.
Aku bingung harus menulis apa, teman-temanku yang lain sudah hampir selesai. Bel masuk sebentar lagi berbunyi, meskipun belum menulis apa-apa aku masih santai dan tenang, itulah sifatku.
Tiba-tiba, aku teringat ketika hendak menuju kelas, aku sempat menabrak seseorang dan hampir membuatnya jatuh. Untung saja aku segera memegang tangannya sebelum ia terjatuh. Wajahnya cantik sekali, kulitnya putih, dan saat aku meminta maaf kepadanya ia hanya tersenyum saja. Karena kejadian itu, aku mendapat inspirasi untuk membuat sebuah puisi. Dengan membayangkan wajah dan senyuman manisnya, aku menulis dengan lancar sekali.
Beberapa saat kemudian, bel masuk pun berbunyi. Puisi singkat dalam waktu yang mendesak pun telah ku selesaikan. Dari kejauhan aku melihat Bu Indri sedang menuju ke kelasku, beliau adalah guru Bahasa Indonesia.
Setelah selesai membaca doa, Bu Indri menyuruh semuanya untuk mengumpulkan tugas puisi masing-masing ke depan.
Satu per satu teman-temanku mengumpulkannya, aku pun segera meletakkan buku tulisku di atas tumpukan itu. Beberapa menit kemudian, aku dipanggil ke depan.
“Puisimu bagus sekali, apakah puisi ini untuk seseorang?”, tanya Bu Indri sambil tersenyum.
“Oh, bukan, Bu.”, jawabku singkat sambil tersenyum kembali.
Sebenarnya puisi itu hanya ungkapan perasaanku saja, tetapi memang inspirasi puisiku itu berasal dari seseorang. Walaupun dibuat hanya dalam beberapa menit saja, namun aku mendapat nilai yang bagus.
Setelah selesai membaca doa, Bu Indri menyuruh semuanya untuk mengumpulkan tugas puisi masing-masing ke depan.
Satu per satu teman-temanku mengumpulkannya, aku pun segera meletakkan buku tulisku di atas tumpukan itu. Beberapa menit kemudian, aku dipanggil ke depan.
“Puisimu bagus sekali, apakah puisi ini untuk seseorang?”, tanya Bu Indri sambil tersenyum.
“Oh, bukan, Bu.”, jawabku singkat sambil tersenyum kembali.
Sebenarnya puisi itu hanya ungkapan perasaanku saja, tetapi memang inspirasi puisiku itu berasal dari seseorang. Walaupun dibuat hanya dalam beberapa menit saja, namun aku mendapat nilai yang bagus.
Saat aku pergi ke kantin untuk membeli minuman kesukaanku, ternyata minuman itu hanya tinggal satu. Aku pun hendak mengambilnya, tanpa sengaja aku memegang tangan murid perempuan yang tidak sengaja ku tabrak tadi pagi karena ia juga hendak mengambil minuman yang sama denganku.
“Eh, kamu yang tadi hampir jatuh, kan?”
“Iya, memangnya kenapa kamu tadi terburu-buru seperti itu?”, sambil tersenyum kepadaku.
“Hehe.. nggak, kok. Boleh kenalan, gak?”, aku bertanya dengan sedikit malu-malu.
“Boleh, namaku Linda. Nama kamu siapa?”
“Namaku Reza. Oh ya, minuman ini untuk kamu saja,” ku letakkan minuman itu di tangannya.
Walaupun awalnya sedikit ragu, tapi akhirnya Linda pun mau menerima minuman itu. Ia terlihat senang ketika hendak menuju ke kelasnya.
Hari ini aku bertemu dengannya dua kali secara tidak sengaja, namun kali ini aku tahu siapa dia, namanya Linda.
“Eh, kamu yang tadi hampir jatuh, kan?”
“Iya, memangnya kenapa kamu tadi terburu-buru seperti itu?”, sambil tersenyum kepadaku.
“Hehe.. nggak, kok. Boleh kenalan, gak?”, aku bertanya dengan sedikit malu-malu.
“Boleh, namaku Linda. Nama kamu siapa?”
“Namaku Reza. Oh ya, minuman ini untuk kamu saja,” ku letakkan minuman itu di tangannya.
Walaupun awalnya sedikit ragu, tapi akhirnya Linda pun mau menerima minuman itu. Ia terlihat senang ketika hendak menuju ke kelasnya.
Hari ini aku bertemu dengannya dua kali secara tidak sengaja, namun kali ini aku tahu siapa dia, namanya Linda.
“Rom, tunggu dulu!”, teriakku sebelum Romi melewati pintu gerbang sekolah.
Romi pun menengok dan menungguku dekat pintu gerbang. Ia terlihat bingung karena biasanya kami jarang pulang bersama dan kali ini aku menyuruhnya untuk menungguku.
“Ada apa, nih?”, tanyanya heran.
“Nggak, aku cuma lagi seneng aja. Hehe..”
“Oh, aku tahu. Pasti karena Linda, kan?”, kata Romi dengan yakin.
“Kok, kamu tahu? Aku kan belum cerita?”, tanyaku kaget.
Setelah Romi menjelaskan, aku pun baru tahu kalau Linda adalah teman sekelasnya. Linda sudah bercerita kepada Romi bahwa aku dan dia sudah berkenalan di kantin pada waktu istirahat.
“Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku soal Linda?”, aku sedikit kesal.
“Ya soalnya kamu belum pernah bertanya, sih.. hehe..”
“Terus kamu punya no. HP dia, gak?”
“Nanti aku kirim saja lewat SMS!”, jawabnya singkat karena hendak naik angkutan umum.
Romi pun menengok dan menungguku dekat pintu gerbang. Ia terlihat bingung karena biasanya kami jarang pulang bersama dan kali ini aku menyuruhnya untuk menungguku.
“Ada apa, nih?”, tanyanya heran.
“Nggak, aku cuma lagi seneng aja. Hehe..”
“Oh, aku tahu. Pasti karena Linda, kan?”, kata Romi dengan yakin.
“Kok, kamu tahu? Aku kan belum cerita?”, tanyaku kaget.
Setelah Romi menjelaskan, aku pun baru tahu kalau Linda adalah teman sekelasnya. Linda sudah bercerita kepada Romi bahwa aku dan dia sudah berkenalan di kantin pada waktu istirahat.
“Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku soal Linda?”, aku sedikit kesal.
“Ya soalnya kamu belum pernah bertanya, sih.. hehe..”
“Terus kamu punya no. HP dia, gak?”
“Nanti aku kirim saja lewat SMS!”, jawabnya singkat karena hendak naik angkutan umum.
Sore harinya aku baru mendapat SMS dari Romi. Di dalamnya berisi no. HP Linda, aku segera menyimpannya dan berterima kasih kepada Romi.
Ingin sekali aku segera mengirim SMS kepada Linda, tetapi aku takut dia sedang sibuk atau tidak ingin diganggu. Saat aku masih bimbang, tiba-tiba Linda mengirim SMS kepadaku. Aku pun kaget mengapa ia bisa tahu no. HP milikku dan mengirim SMS untukku. Namun, aku juga senang sekali karena hal tersebut.
“Hey, kata Romi kamu minta no. HP aku, ya?”, saat aku baca SMS darinya.
“Iya, aku ingin lebih kenal sama kamu.. hehe..”, balasku kepada Linda.
Ingin sekali aku segera mengirim SMS kepada Linda, tetapi aku takut dia sedang sibuk atau tidak ingin diganggu. Saat aku masih bimbang, tiba-tiba Linda mengirim SMS kepadaku. Aku pun kaget mengapa ia bisa tahu no. HP milikku dan mengirim SMS untukku. Namun, aku juga senang sekali karena hal tersebut.
“Hey, kata Romi kamu minta no. HP aku, ya?”, saat aku baca SMS darinya.
“Iya, aku ingin lebih kenal sama kamu.. hehe..”, balasku kepada Linda.
Hampir satu jam lamanya aku dan Linda saling mengirim SMS. Ternyata ia orangnya baik dan mudah akrab, terlihat dari kata-katanya pada pesan singkat seperti yang sudah kenal lama.
Setelah cukup banyak saling bertanya, tidak aku sangka bahwa aku dan dia ternyata banyak sekali kesamaan. Mulai dari makanan kesukaan masing-masing, acara televisi yang sedang ditonton, bahkan sampai warna baju yang sedang dipakai saat itu pun sama pula.
Linda mempunyai beberapa komik yang bagus dan cukup seru. Saat aku ingin meminjam salah satu dari komiknya, ia memintaku untuk membuatkannya sebuah puisi. Kebetulan sekali, sebelum mengenalnya aku telah membuat sebuah puisi yang terinspirasi olehnya, terutama senyumannya.
Setelah cukup banyak saling bertanya, tidak aku sangka bahwa aku dan dia ternyata banyak sekali kesamaan. Mulai dari makanan kesukaan masing-masing, acara televisi yang sedang ditonton, bahkan sampai warna baju yang sedang dipakai saat itu pun sama pula.
Linda mempunyai beberapa komik yang bagus dan cukup seru. Saat aku ingin meminjam salah satu dari komiknya, ia memintaku untuk membuatkannya sebuah puisi. Kebetulan sekali, sebelum mengenalnya aku telah membuat sebuah puisi yang terinspirasi olehnya, terutama senyumannya.
Pagi ini aku mencoba berangkat lebih pagi dari biasanya. Saat aku melewati pertigaan jalan, aku mendengar ada seseorang yang memanggilku.
“Hey, Reza! Tunggu aku!”, kata Linda tidak terlalu jauh di belakangku.
“Eh, kamu ternyata. Ini puisi yang aku janjikan,” sambil memberikan puisi yang telah aku salin itu dalam selembar kertas.
“Terima kasih, ya. Aku juga mau memberikan buku komik ini.”
“Terima kasih juga.”, dengan senang hati aku menerima buku itu.
“Nanti kita ngobrol di kantin, ya!”
Linda pun berjalan lebih dulu karena hari ini ia ada tugas piket di kelasnya.
“Hey, Reza! Tunggu aku!”, kata Linda tidak terlalu jauh di belakangku.
“Eh, kamu ternyata. Ini puisi yang aku janjikan,” sambil memberikan puisi yang telah aku salin itu dalam selembar kertas.
“Terima kasih, ya. Aku juga mau memberikan buku komik ini.”
“Terima kasih juga.”, dengan senang hati aku menerima buku itu.
“Nanti kita ngobrol di kantin, ya!”
Linda pun berjalan lebih dulu karena hari ini ia ada tugas piket di kelasnya.
Ketika di kelas, aku tidak sabar menunggu waktu istirahat tiba. Aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku. Apakah aku sedang menyukai seseorang? Apakah aku suka kepada Linda?, tanyaku sendiri di dalam hati.
Aku pun sudah menunggu di kantin sekolah dengan gelisah. Aku berharap ia menyukai puisi yang ku berikan kepadanya, tulisannya sudah ku buat dengan sedemikian rupa sehingga terlihat bagus. Tidak lama kemudian, Linda pun duduk di sampingku. Dia ternyata sangat menyukai puisi dariku, saat mengatakan itu ia terlihat senang dan senyumnya yang manis pun muncul di bibirnya.
Beberapa menit kami mengobrol, aku pun ingin jujur tentang perasaanku kepadanya, meskipun belum lama kami saling mengenal.
“Mmmh.. sebenarnya aku, aku.. Aku suka sama kamu, Linda.”, dengan gugup aku bicara.
“Bernarkah? Aku juga sebenarnya sudah mulai menyukaimu, Reza. Kamu orangnya baik dan menyenangkan, selain itu kita juga punya banyak kesamaan.”
“Lalu, kita sekarang bagaimana?”, malu-malu aku menanyakannya.
Saat Linda mengatakan bahwa ia juga menyukaiku, jantungku berdegup kencang. Hatiku senang sekali dan merasa belum percaya dengan apa yang ku dengar.
Setelah terdiam beberapa saat, Linda pun menjawab.
“Aku rasa, kita berteman dulu saja. Lebih baik kita menjadi sahabat daripada langsung berpacaran, kita juga kan masih sekolah. Kamu tidak kecewa, kan?”
“Jika menurutmu lebih baik seperti itu, aku pun setuju saja. Aku juga senang kita masih bisa jadi sahabat, sahabat yang lebih dari sahabat,” meskipun ada rasa kecewa sedikit, aku merasa itu yang terbaik, aku pun tersenyum kepadanya.
Akhirnya, aku dan Linda menjadi sahabat yang dekat sekali. Berawal dari puisi, kantin sekolah, lalu menjadi sebuah persahabatan.
“Mmmh.. sebenarnya aku, aku.. Aku suka sama kamu, Linda.”, dengan gugup aku bicara.
“Bernarkah? Aku juga sebenarnya sudah mulai menyukaimu, Reza. Kamu orangnya baik dan menyenangkan, selain itu kita juga punya banyak kesamaan.”
“Lalu, kita sekarang bagaimana?”, malu-malu aku menanyakannya.
Saat Linda mengatakan bahwa ia juga menyukaiku, jantungku berdegup kencang. Hatiku senang sekali dan merasa belum percaya dengan apa yang ku dengar.
Setelah terdiam beberapa saat, Linda pun menjawab.
“Aku rasa, kita berteman dulu saja. Lebih baik kita menjadi sahabat daripada langsung berpacaran, kita juga kan masih sekolah. Kamu tidak kecewa, kan?”
“Jika menurutmu lebih baik seperti itu, aku pun setuju saja. Aku juga senang kita masih bisa jadi sahabat, sahabat yang lebih dari sahabat,” meskipun ada rasa kecewa sedikit, aku merasa itu yang terbaik, aku pun tersenyum kepadanya.
Akhirnya, aku dan Linda menjadi sahabat yang dekat sekali. Berawal dari puisi, kantin sekolah, lalu menjadi sebuah persahabatan.
Cerpen Karangan: Aris Rizka Fauzi
0 komentar:
Posting Komentar