Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Go to School


Pagi yang cerah kali ini, kupasang sepatu terburu-buru sambil mengunyah roti panggang.
“aku pergi!”
“jangan lari, hati-hati nanti jatuh..”
“ya.. Bu!!”
“terlambat.. Terlambat.. Terlambat..” gumamku dalam hati. Kucoba berlari sekuat tenaga, tapi tak mampu tenagaku hanya sampai sini. Aku berhenti sambil terengah-engah sambil melihat jam tanganku menunjukan pukul 06.25. Perjalanan masih jauh.
“fiuh.. Tidak jadi terlambat” ucapku sambil mengusap keringat yang ada di jidat ku.
“tadi aku sudah bawa semua tapi kok firasat ku nggak enak” gumamku dalam hati. Aku mencoba melupakan firasat buruk itu. Terbayang novel hantu tadi malam yang ku baca.
‘seorang pemuda yang sedang membawa pisau sedang berlari mengejar wanita ketika mau membunuh seorang wanita yang malam tepat di gang sepi’
Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Gang ini sepi.
‘pemuda itu memanggil nama si wanita itu’
“hyun jii.. Hyun jii”
Aku berbalik.
“waaaaaaaa!!! Jangan bunuh saya tolong, saya masih ingin mempunyai masa depan tolong jangan bunuh saya…” aku ketakutan. Kututup mukaku dengan kedua tanaganku dan terduduk menghadap pria tersebut.
“ha..Ha..Ha.. Memangnya aku mau membunuhmu..” Tawa pria tersebut menyadarkanku, suaranya yang tak lagi asing di telingaku suara yang…
“hei hyun jii masih melamun juga”
“t-tame ngapain kamu di sini jangan bilang kalau kau mengikutiku..” Ucapku curiga.
“tentu saja tidak aku kesini cuma ingin mengembalikan notebook mu yang lebih berarti dari nyawamu.”
“haah kamu kok sebaik itu” pikiran ku melayang pada waktu itu.
“memangnya aku orang jahat, nih..” ucapnya sambil melempar notebook ku.
“hei.. Hati hati” ucapku sambil menangkap dan memasukan notebook ku ke dalam tas. Pandangan curigaku pun mulai menghantui wajahnya.
“kenapa kamu?’
“kamu membaca notebook ku ya’
“tentu…”
“haah, kamu mengucapkanya seperti tidak berdosa ya..”
“ya.. Memangnya aku berdosa ya kalau baca buku itu..”
Hening sesaat…
“bukan begitu… Tapi..”
” ‘tame kenapa kamu tidak menadari kalau aku mencintaimu, semoga kamu cepat sadar ya.. Saranghae..’ itu kan katamu di buku..”
Hening sesaat..
“entah lah..” aku hanya menghembuskan nafas ragu. Dan memalingkan muka ke arah lain.
“hyun jii, kenapa selama ini kamu bersembunyi..”
“tidak tame. Aku merasa kurang cocok denganmu kamu itu baik ganteng pintar diidolakan cewek sementara aku…” sesaat aku tertunduk dan mencoba menahan air mataku yang jatuh.
“aku tidak meminta itu semua, aku ya aku aku yang selalu ada dan berharap bisa menjadi pendamping hidupmu..”
Aku terdiam memandangi pagar sekolah ku ternyata kita sudah sampai.
“t-tapi..”
“kenapa harus tapi kalau aku dan kamu bersedia melakukannya..”
Tame melanjutkan kata-katanya…
“saranghae hyun jii ”
Aku terdiam memandangi gedung sekolah
“aku juga mencintai mu tapi… Aku masih ingin belajar dengan tenang menggapai masa depanku denagn gemilang meraih cita-citaku, maaf kan aku tame..”
“tidak apa apa, kitakan masih bisa dekat.. It’s okay…”
Kulihat tame berwajah tegar aku tau dia masih tak percaya apa yang ku ucapkan.
Tapi kuharap sekarang dia sekarang mengerti keadaanku.
Teeet teeeet teeeet
“waaaaah terlambat… Kebanyakan diam sih..” ucap tame sambil berlari menuju kelas kepadaku.
Sementara aku tidak menggubrisnya
“terlambat.. Terlambat.. Terlambat…”
Yaaah.. Akhir yang menyedihkan, cukup adil karena si tame kutolak cintanya dan aku.. Mendapatkan hukuman membersihkan wc sendirian..
“wuaaaaaa!!!”
Cerpen Karangan: Sahira Fara Nabila

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen - Prince Nichkhun Broken Heart


Untuk kebanyakan wanita, Nichkhun adalah seorang pangeran yang sempurna. Siapapun yang dapat dekat dengannya dan menjadi kekasihnya adalah orang yang paling beruntung. Tidak ada yang tidak mengenal Nichkhun. Hampir semua wanita di kalangan mahasiswa sudah tahu siapa pemuda itu dan bagaimana bentuk rupa wajahnya yang bak angel tanpa sayap.
Nichkhun termasuk pemuda yang ramah, atau kalau mau di bilang ‘melayani’ semua wanita, meski sedikit beda ungkapannya, namun sebenarnya sama saja artinya. Nichkhun tidak pernah tidak tersenyum saat ada seorang wanita menyapanya, memberikan surat, coklat, bunga, boneka, dan lain-lain. Nichkhun adalah pemuda yang gelamor. Tidak ada patah hati, tidak ada penolakan, tidak ada kesedihan. Dia bersenang-senang setiap hari, menikmati hari-harinya yang di penuhi oleh cinta.
“Tidak ada waktu untuk bersedih.”
Itu adalah kalimat yang sering di katakannya.
Ya. Memang benar. Bersedih tanda bahwa kita tidak bersyukur. Namun nyatanya, kesenangan Nichkhun juga jauh dari kata bersyukur. Dia hanya membuang-buang uang dan bermain dengan wanita. Lebih banyak yang orang-orang lakukan saat ini adalah mereka bersenang-senang, namun tidak ada rasa syukur di dalamnya.
“Nichkhun-ah,” seorang wanita mengedip genit saat Nichkhun berjalan di koridor kampus.
“Hey, Beb,” balas Nichkhun berkedip, lalu memberikan ciuman jarak jauhnya.
Junho sebagai sahabatnya hanya bisa menghela nafas.
“Sampai kapan kau akan begini?” tanyanya heran. “Umurmu sudah tidak muda lagi. Kau harus mulai bersikap serius.”
Nichkhun berhenti berjalan dan segera menoleh kepada Junho. “Serius hanya untuk orang tuaku,” katanya menyeringai. “Tenang saja, Bro, umurku masih dua puluh empat tahun. Hidupku masih panjang.”
“Terserah kau saja, lah,” kata Junho tak peduli.
“Hidupku memang terserah aku, kan,” Nickhun berbalik hendak jalan lagi, namun saat itu tanpa sengaja dia malah menabrak seorang cewek hingga keduanya terduduk di lantai.
“Aw!” ringis gadis yang baru saja di tabrak Nichkhun sambil mengusap pantatnya.
Naluri playboy Nichkhun segera bereaksi. Dia berdiri dan langsung memasang tampang cool serta senyuman memikat.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya sembari mengulurkan tangannya.
Gadis itu menerima uluran tangan Nichkhun, masih mengusap pantatnya yang sakit. “Hati-hati dong!” serunya kesal. “Kalau mau balik badan, kasih peringatan dulu!”
Nichkhun mengernyit bingung. Namun dia segera bersikap gantle lagi. “Aku kira aku sudah mengirimkan sinyal cinta padamu,” katanya mulai merayu.
Gadis itu malah mengernyit sambil melihat Nichkhun. “Kau sedang sakit?” dia geleng-geleng kepala sambil meninggalkan tempat itu. “Kenapa cowok-cowok di kampus ini tidak ada yang benar, sih?”
Nichkhun masih bengong. Junho sendiri kini mendekati Nichkhun dengan tatapan sedikit cemas. “Kau tidak sakit, kan?” tanyanya.
“Ya! Kau pikir aku kenapa?” seru Nichkhun kesal, matanya kemudian menyipit. “Hey, kau tadi perhatikan tidak?”
“Apa?”
“Gadis itu.. setiap wanita yang dekat denganku pasti akan langsung memerah pipinya. Kenapa dia malah biasa saja,” kata Nichkhun heran.
Junho kini yang mengernyit. “Memangnya setiap wanita yang dekat denganmu harus merah pipinya?”
“Setidaknya harus, kan, kalau dia normal,” kata Nichkhun.
“Jadi kau pikir dia tidak normal?”
“Eoh,” Nichkhun mengangguk.
Junho berdecah. “Aku pikir kau yang tidak normal,” katanya sembari meninggalkan Nichkhun.
“Hey, kau gadis yang tadi, kan?”
Siang itu kantin bisa di bilang cukup ramai. Saat sedang mencari tempat kosong, tanpa sengaja Nichkhun melihat gadis yang tadi pagi dia tabrak dan segera menghampirnya.
“Kau mau apa?” tanya gadis itu agak jutek.
“Kau masih marah rupanya,” tanggap Nichkhun
Gadis itu berdecih. Sebenarnya dia tidak terlalu mempermasalahkan kejadian tadi pagi, dia hanya sedang kesal saja hari ini.
“Tidak,” jawab gadis itu.
“Begitu..” Nichkhun mengangguk sambil tersenyum. “Omong-omong, kenapa kau tidak memerah?”
“Apanya yang memerah?”
“Wajahmu, tentu saja?” kata Nichkhun.
“Kenapa wajahku harus merah?”
“Karena kau duduk bersamaku,” kata Nichkhun pede.
“Hah?”
“Kau pasti tahu, kan, siapa aku,” Nichkhun berkata dengan yakin. “Siapa namamu. Aku sepertinya baru melihatmu di sini.”
Gadis itu berkedip beberapa kali saat Nichkhun bicara seperti itu. “Memangnya siapa kau?” tanyanya bingung.
“Kau tidak tahu aku?” Nichkhun berseru terkejut.
Gadis itu menggeleng. Nichkhun mendesah seolah sangat terluka. “Kau pasti bercanda, kan?”
“Tidak. Memangnya siapa kau hingga aku harus mengenalmu?” tanya gadis itu bingung plus kesal.
“Dengar! Aku Nichkhun. Kau pasti sudah sering mendengar nama itu, kan?” tanya Nichkhun.
Gadis itu menggeleng lagi.
“Kau artis?”
“Aku pangeran kampus ini!” seru Nichkhun agak kesal.
“Oh,” tanggap gadis itu datar.
“Oh?” Nichkhun terpana. “Hanya itu?”
“Memangnya kau mengharapkan apa lagi?” seru gadis itu mulai jengkel, dia mengeluarkan susu kotak di dalam tasnya dan segera meminumnya.
“Kenapa kau meminum susu ibu hamil?” tanya Nichkhun saat melihatnya.
“Memangnya kenapa?”
“Itu kan hanya khusus – ah!” Nichkhun baru sadar. “Kau…”
“So Eun-ah!”
Gadis di samping Nichkhun segera menoleh ke arah sumber suara, lalu melambai pada laki-laki yang tengah berjalan ke arahnya.
“Oppa!” serunya kesal.
Pemuda itu langsung mengacak rambut So Eun setelah sampai. “Maaf, ya, membuatmu menunggu lama,” katanya. Dia kemudian menoleh menatap Nichkhun. “Kau sedang apa di sini, Nichkhun-ssi?”
“Ah? Oh, tidak ada,” Nichkhun segera bangkit, nampak sedikit agak linglung. “Aku pergi dulu, Taecyeon-ssi.”
Dia langsung menjauh dari Taecyeon dan gadis bernama So Eun itu. Hatinya terluka.
“Kau kenapa?” tanya Junho. Tak biasanya Nichkhun nampak sedih.
“Aku jatuh cinta dengan gadis itu,” kata Nichkhun merana.
“Gadis yang mana?” tanya Junho bingung. Masalahnya, gadis yang di taksir Nichkhun itu banyak sekali.
“Gadis yang aku tabrak,” kata Nichkhun.
“Tunggu, tadi kau bilang apa?”
“Gadis yang kutabrak.”
“Bukan. Kau…. kau jatuh cinta?” Junho meyakinkan. Pasalnya, Nichkhun, sekalipun dia playboy, dia tidak pernah menyatakan cinta pada gadis mana pun. Dan kini dia berkata bahwa dia sudah jatuh cinta.
Nichkhun hanya mengangguk, lalu segera menelungkup sedih.
“Tapi dia ternyata sedang hamil!”
“Hah?”
“Heh, kenapa kau minum susu ibu hamil, sih?” tanya Taecyeon saat di perjalanan menuju supermarket.
“Ini gara-gara Oppa salah beli susu,” kata So Eun. “Dari pada di buang, mending di minum, kan..”
“Aish, nanti di sangkanya kau sedang hamil,” kata Taecyeon.
“Memangnya siapa yang peduli?”
“Aku!”
“Oppa?”
“Kau tahu, gara-gara kau meminum susu itu di kampus, orang-orang yang melihat kita mengira kalau kita suami-istri dan kau sedang mengandung,” kata Taecyeon. “Lihat nih!” dia lalu menunjukan beberapa pesan dari teman-temannya yang mengucapkan selamat kepada Taecyeon.
So Eun seketika tertawa. “Mereka bodoh sekali, sih! Kita, kan, sepupuan,” serunya geli. “Tapi, Oppa, ternyata susu ibu hamil itu enak sekali. Apalagi yang rasa stawbery.”
Taecyeon segera melirik So Eun. “Jangan berpikir untuk membeli susu itu!” ancamnya tegas.
“Wae?”
“Pokoknya jangan!”
“Baiklah-baiklah, aku akan membeli susu untuk ibu menyusui saja,” kata So Eun.
“Apalagi itu!” seru Taecyeon
So Eun tertawa. Mereka lalu berbelanja dengan gembira siang itu. Berbeda dengan nasib Nichkhun yang patah hati. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, si pangeran kampus merasakan cinta dan langsung patah hati saat itu juga.
“Dia hamil, Junho-ya, dia hamil!”
Nichkhun terus saja merana. Tidak tahu jika So Eun bahkan masih SMA, jadi dia tidak mungkin sudah menikah apalagi hamil. Salah paham kadang menyusahkan…
END!!!
Cerpen Karangan: Fami Andrias T

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen - Langit Hitam dan Anyelir


“Jika ini adalah masa depan yang kau gambarkan, aku ingin menatap langit yang sama dengan perasaan yang sama. Bersamamu…. Tapi, jalan takdir ini berbeda”.
Aku benci hujan, harusnya hujan tak turun hari ini, di musim ini. Lihat! gaunku basah dan makeup ku luntur. Aku terlihat buruk sekarang. Aku benar-benar benci hujan dan langit hitam itu…
Seorang gadis bergaun kuning tengah berdiri terdiam di tengah sebuah jalan yang sepi dan lenggang. Tubuhnya basah kuyup karena sejak satu jam tadi hujan telah mengguyur tempat itu. Matanya yang sendu menatap langit hitam di atasnya dengan kesedihan. Tidak ada yang tahu jika mata itu kini menangis, karena air hujan telah membawa airmatanya jatuh ke bumi. Ditatapnya seikat bunga anyelir pink basah yang sedari tadi digenggamnya, kesedihan semakin terlihat di raut wajahnya. Berbeda sekali dengan beberapa jam lalu saat ia membeli bunga itu.
Flash back on
“Pagi…” Sapa seorang wanita penjaga toko bunga ramah menyambut seorang gadis bergaun kuning yang menjadi pembeli pertamanya pagi ini. Gadis itu membalasnya dengan senyuman lebar yang ceria.
“Pagi kakak!”
“Ahh, Joo-ya! ternyata kau, aku hampir tidak mengenalimu dengan pakaian seperti ini” ucap penjaga toko itu terkejut mengetahui pembelinya adalah orang yang ia kenal dengan penampilan yang tidak biasanya.
Min In Joo nama gadis itu masih tertawa sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal.
“Tidak pantas ya kak?” Tanya In Joo ragu. Penjaga toko itu mendekat, ditatapnya wajah In Joo lekat-lekat.
“Kau bahkan berdandan, apa ini hari spesial?. Jangan-jangan kau akan pergi kencan ya?, denngan siapa, apa aku mengenalnya?”
“Aku tidak bisa menjelaskannya kak, tapi… Aku membutuhkan bantuanmu sekarang”
“Ah begitu ya…” terlihat kekecewaan dari wajah si penjaga toko. “Baiklah, aku akan menunggumu menceritakannya padaku. Apa yang kau butuhkan? Apa kau memerlukan bunga?”
“Eumm iya, tapi aku tidak tahu bunga apa yang harus kubawa untuk hadiah ulang tahun”, jawab In Joo, pandangannya memutar melihat setiap bunga yang ada di toko itu.
“Memangnya bunga apa yang dia suka?” Tanya si penjaga toko. Terlihat In Joo berpikir sejenak lalu sedetik kemudian ia menjawab.
“Aster, aster putih..”
“Tampaknya pacarmu berhati lembut ya, aster putih simbol cinta, keindahan dan kesabaran. Baiklah akan aku siapkan untukmu” terang si penjaga toko, Joo tersenyum simpul mendengarnya. Sementara In Joo menunggu bunga yang ia pesan. In Joo mengitari isi toko kecil itu, dipandangnya bunga-bunga yang indah, segar dan wangi berjejer rapi ditempatnya. Tiba-tiba matanya tertuju pada satu ikat bunga cantik bewarna pink yang terletak di pojok ruang toko.
“Kak ini anyelir kan?” Tanya In Joo. Penjaga toko menoleh sesaat.
“Iya, benar” jawabnya singkat, tangannya masih terlalu sibuk membungkus Aster pesanan Joo.
“Kak, aku ambil ini saja” ucap In Joo tegas membuat si penjaga toko seketika menghentikan kegiatannya. Matanya menatap Joo dalam.
“Kau yakin?”
“Tentu” jawab Joo tanpa menoleh. Si penjaga toko mengangguk setelah ia yakin bahwa In Joo tau, Anyelir pink adalah bunga perpisahan…
Flashbak of
Hujan masih belum reda. Tubuh In Joo menggigil, namun kedua kakinya seolah menentang otaknya yang memerintahkan untuk beranjak dari tempatnya sekarang. Disini, di tempat ia selalu menunggu orang itu… orang yang membuat hatinya terasa sakit saat dia memikirkannya. Jika In Joo mampu mungkin dia akan membuang jauh-jauh semua memori tentang mereka, namun sayangnya Joo tahu ia tidak akan pernah mampu untuk melakukan itu.
“Joo-ya!” Seorang pemuda berkemeja putih berlari menerjang derasnya hujan. Pemuda itu terus berteriak memanggil nama In Joo sembari menghampirinya.
“Joo-ya, apa yang kau lakukan? kenapa kau hujan-hujan seperti ini?” teriak Lee Donghae, nama sang pemuda tepat di samping In Joo. Terlihat jelas kepanikan di wajah Donghae.
“Kau kan tidak bisa berada di tempat yang dingin, nanti kau bisa sakit, ayo kembali Joo-ya!”. Donghae menatap wajah In Joo yang terus menatap langit. Tatapan sendu itu menyadarkan Donghae akan sesuatu. In Joo menangis. Terlihat kesedihan yang mendalam dari sepasang mata indah gadisnya ini.
“Kau menungguku?” ucap Donghae melemah, ditatapnya In Joo dengan nanar.
In Joo menghela napasnya panjang setelah sekitar sepuluh menit lamanya keduanya saling terdiam. Akhirnya system sarafnya seolah kembali normal saat kedua kakinya berhasil melangkah meninggalkan Donghae. Hujan terlihat telah mereda, hanya gerimis kecil yang menemani langkah In Joo dan Donghae yang masih mengikuti tepat di belakang In Joo. Donghae mempercepat langkahnya mencoba menyamai langkah di samping gadis yang ia tahu tidak akan pernah menghiraukan dirinya ini.
“Aku tahu sekarang” Kata In Joo memecah keheningan. Donghae menoleh membulatkan kedua matanya.
“Apa?, Apa yang kau tahu Joo-ya?” tanya Donghae tidak sabar.
“Saat itu, ketika kau mengatakan hal itu. Ada sesuatu yang aku lupakan” kata In Joo. Donghae menatap penuh kebingungan.
Lima tahun yang lalu…
Terlihat dua siswa SMA sedang duduk di sebuah bangku taman sekolah mereka.
“Yeachhh berhasil!” teriak Donghae gembira, ia baru saja menyelesaikan level akhir dari game favorit di PSP kesayangannya. Joo yang sedari tadi tak melakukan apapun menetapnya dengan jengah.
“Ciihh menyebalkan” gerutu In Joo pelan namun masih bisa didengar telinga Donghae.
“Apa? Siapa yang menyebalkan?” Tanya donghae polos.
“Kau! jawab In Joo ketus. Donghae menggaruk-nggaruk kepalanya yang tak gatal, memikirkan kesalahan apa yang dia buat hingga membuat kekasihnya ini kesal.
“Aku kenapa?”
“Ck! Lihat dirimu ini, sudah setua ini masih saja bermain game, berteriak-teriak seperti anak kecil. Sok ramah pada semua orang. Aku heran bagaimana gadis-gadis itu menjadi penggemar makhluk seperti dirimu ini” jelas In Joo. Donghae hanya bisa menganga sesaat sebelum akhirnya tersenyum simpul.
“Mungkin karena aku pandai dalam fisika dan selalu menjadi juara umum selama dua tahun berturut-turut dan mungkin juga karena aku selalu terlihat keren ketika naik podium saat aku memenangkan berbagai cabang olahraga di festival sekolah. Sepertinya para gadis telah menyadari kharismaku sebagai bintang sekolah ya hahahaha” kata Donghae dan membuat In Joo semakin frustasi. In Joo menghela napasnya singkat dan menyandarkan punggungnya pada sisi belakang bangku, terlihat ia menundukkan kepalanya.
“Ada apa Joo-ya?” Tanya Donghae setelah menyadari ada sesuatu mengganjal yang sedang dipikirkan In Joo.
“Mungkin memang benar kata mereka” ucap In Joo dengan nada berat.
“Mereka? siapa?” Tanya Donghae. In Joo kembali mengangkat wajahnya menatap kedua bola matanya.
“Kakak kelas dan semua gadis di sekolah ini bilang kalau aku selalu membuntuti Lee Donghae, sok dekat dengan Donghae. Mereka bilang aku seperti debu yang menutupi sinar seorang bintang sekolah” jelas In Joo dengan wajah kusut dan bibirnya terlihat manyun persis seperti anak kecil yang sedang mengadukan kenakalan temannya, Donghae hanya tertawa kecil.
“Kau mendengarkan celotehan omong kosong seperti itu? Seperti bukan In Joo saja”.
“Pada awalnya aku juga tidak peduli, tapi lama-lama siapa yang tahan setiap pagi dibicarakan seperti itu haa?!” teriak Joo kesal.
“Mereka juga bilang, jika suatu hari kau bosan. Kau akan meninggalkanku” lanjut In Joo, kali ini dengan suara melemah.
“AAAWW” In Joo mengaduh kesakitan saat sebuah PSP berhasil mendarat tepat di kepalanya.
“Sakit tahu!” ucap In Joo kesal sambil mengusap kepalanya yang terasa perih. Donghae menggeser duduknya memperpendek jarak di antara keduanya.
“Joo bodoh dengarkan aku. Mulai sekarang jangan dengarkan mereka lagi. Mereka hanya sekumpulan manusia yang tidak tahu apa-apa. Mereka yang bilang aku sok dekat denganku tidak tahu kalau kita sudah saling mengenal sejak kita berusia enam tahun. Mereka yang bilang kau selalu membuntutiku tidak pernah tahu kalau aku yang masih kecil selalu bersembunyi di belakangmu saat ketakutan dari anak-anak nakal di SD. Mereka juga tidak tahu kalau kau adalah gadisku sejak kita duduk di kelas 3 SMP, dan satu hal yang harus selalu kau ingat. Aku tidak akan meninggalkanmu Joo.” Jelas Donghae panjang lebar dengan penekanan di bagian akhir kalimatnya.
In Joo hanya terdiam tidak tahu apa yang harus ia katakan. Namun dia bisa merasakan tatapan mata Donghae yang tulus membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ini seperti sebuah janji.
“Lihat itu!” lanjut Donghae. Kedua matanya menatap langit biru di atasnya. Reflek In Joo juga mengikuti arah pandang Donghae.
“Jika hari ini langit biru itu berubah menjadi hitam di saat itulah mungkin aku bisa meninggallkanmu” ucap Donghae lirih. In Joo mengalihkan pandangannya kearah Donghae dengan heran, sesaat ia mendengus kesal.
“Mana mungkin hujan turun di musim kemarau panjang seperti ini. Donghae bodoh!” sanggah In Joo kesal, mood baiknya kini kembali turun.
“Makanya, mana mungkin aku meningggalkanmu. Joo bodoh!” balas donghae dengan senyum menyeringai dan kembali akan memukul kepala kekasihnya. Namun berhasil In Joo cegah.
“Jangan memukulku lagi!”
“Kau tidak mau?” Ucap donghae sembari menggoyang-goyangkan dua buah bungkusan ice cream di tangannya yang tadi akan ia gunakan untuk memukul kepala In Joo. Sontak kedua buah mata In Joo langsung membulat melihat dua ice cream lollipop fruith kesukaannya terpampang di depannya.
“Mau!” Teriak In Joo sembari menyambar satu buah ice cream yang sangat menggoda di cuaca yang sangat panas ini. Dengan cekatan keduanya membuka bungkus ice cream masing-masing kemudian menikmatinya bersama dengan penuh kebahagiaan. Benar-benar terlihat seperti anak kecil.
“Ice creamnya agak mencair” kata Donghae
“Itu karena kau tidak langsung memberikannya padaku” balas In Joo
“Aku lupa karena terlalu bersemangat bermain PSP” sesal Donghae
“Dasar Donghae memang bodoh! Bodoh! Bodoh!” Donghae tersenyum lebar dengan kedua mata sipitnya yang membentuk eye smile. Senyum indah yang takkan pernah bisa dilupakan In Joo, seumur hidupnya.
Joo teruslah seperti ini. bersamaku menatap langit biru itu
Hujan sudah benar-benar reda. In Jo berdiri tepat di depan sebuah makam. Tatapannya yang kosong dan nanar menatap gundukan tanah di depannya. Tak jauh di sampingnya Donghae turduduk lesu di atas sebuah batu nisan dari makam yang lain.
“Kau tahu apa yang aku lupakan?” ucap In Joo datar. Tanpa mengalihkan pandangannya Donghae mengangkat wajahnya yang tertunduk.
“Kau memang pandai di pelajaran fisika, tapi aku lupa kalau kau bodoh dalam bidang geografi sampai kau tidak tahu akibat pemanasan global membuat iklim menjadi kacau. Bahkan hujanpun bisa turun di musim sepanas ini” lanjut In Joo. Terlihat butiran air membentuk sungai kecil di kedua pipinya, membuat donghae bangkit dari duduknya. Tangan kanannya terangkat mencoba menggapai wajah In Joo, namun detik berikutnya tangannya terhenti di udara
“Saranghae, jeongmal saranghae Joo-ya ucap donghae lirih dan lembut. Menatap wajah gadis di depannya dengan kesedihan yang sulit terungkapkan. Donghae hanya berharap kali ini angin sedikit berbaik hati menyampaikan bisikan suaranya ke telinga In Joo, namun ia tahu itu tidak mungkin. Terlihat In Joo menundukan kepalanya sejenak, membuat rambut panjangnya yang basah terjuntai menutupi wajahnya donghae terus memperhatikan, tangan In Joo yang berusaha mengusap air matanya sendiri. Wajah In Joo kembali terangkat.
“Ck! Kenapa kau membuat janji yang bodoh” kali ini donghae melihat In Joo tersenyum, senyum yang menyakitkan baginya.
In Joo menghela nafas panjang.
“Jika ini adalah masa depan yang kau gambarkan. Aku akan terus menatap langit yang sama dengan perasaan yang sama.”
In Joo mengadahkan kepalanya lagi. Menatap langit yang hitam.
“Karena aku tahu, kau ada disana”
In Joo kembali tersenyum, namun kali ini senyumnya terlihat berbeda. Senyum hangat yang membuat Donghae merasa lebih baik, lebih tenang…
In Joo meletakkan seikat bungga anyelir pink di atas sebuah batu nisan di hadapannya. Sudah lima tahun sejak Donghae pergi, tepat dihari ulang tahunnya. Ya, hari ini adalah hari ulang tahunnya sekaligus hari kepergiannya.
In Joo membalikkan badannya beranjak melangkah pergi meninggalkan Donghae di belakangnya. Donghae terus menatap punggung In Joo yang semakin menjauh. Ia memutuskan untuk tidak lagi mengikuti In Joo.
Sore ini langit hitam telah berlalu, digantikan langit cerah dengan bias-bias cahaya matahari bernuansa orange yang hampir terbenam. Mengiringi hilangnya sosok pemuda berkemeja putih yang tersenyum dengan tenangnya…
“Hiduplah dengan bahagia, Joo-ya”
Senja yang indah dengan genangan air hu
jan di sebuah kompleks pemakaman. Terlihat sebuah bunga anyelir pink di atas sebuah batu nisan berukiran sebuah nama “Lee Donghae”
“Apa kau tahu apa arti anyelir pink? Anyelir pink, bunga yang berarti… Aku tidak akan melupakanmu” …
END
Cerpen Karangan: Wiwin Zala

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen - Music Box


Pagi-pagi sekali aku terbangun dari tidurku gara-gara jam Weeker berbentuk kura-kura pink-ku yang sudah terpasang alarm pukul 06.30 a.m.
Aku beranjak dari ranjangku sambil mengucek-ucek mataku agar tidak terkantuk-kantuk lagi. Aku berjalan menuju jendela kamarku dan kubuka korden jendela itu dan betapa terkejutnya diriku di Bulan Desember ini sudah turun salju di wilayah Busan.
Dengan malasnya, aku mengambil handuk dan mandi dengan air hangat serta lulur susu madu.
Terduduk aku di meja rias klasik coklatku sambil me-make-up diriku dengan bedak, lensa mata biru shappire, lipgloss disertai sapuan Blush On merah muda. Hari ini cuaca dingin, aku mengenakan baju kemeja super tebal dilengkapi sarung tangan, syal merah muda, topi rajut dan sepatu boot-ku. Di hari minggu ini, aku akan pergi ke apartement temanku yang berjarak sekitar 10 km dari apartementku ini.
Tanpa sarapan, aku bergegas mengambil kunci mobil Hyundai Merah Mini-ku dari Garasi lantai bawah. Segera ku naiki mobilku dan menancap gas hingga kecepatan 100 km/jam. Selama 25 menit perjalanan dari apartementku akhirnya tiba juga di rumah HyeJung. Aku berjalan menuju depan pintu apartementnya dan mengetuk pintu. Akhirnya dia keluar.
“Ga Eul! Kau sudah sampai ternyata, Ayo masuk! Diluar dingin” Suruhnya
“Ah Baiklah” ucapku sesegera mungkin masuk ke dalam apartement Jungmin
“Duduklah disini. Kau mau minum apa?” Tanya Jungmin padaku
“Terserahmu, Jungmin” Jawabku
Dengan senyuman, dia mengakhiri percakapanku dengannya. Jungmin menuju ke dapur untuk membuatkanku minuman. Setelah beberapa menit, Jungmin berjalan menuju ruang tamu sambil membawa camilan dan minuman yang ia buat tadi. Dia meletakkannya dengan sangat hati-hati.
“Apa kabar? Lama tak berjumpa denganmu.” Sapanya disertai senyuman
“Ah baik. Bagaimana denganmu dan ayahmu?” Tanyaku
“Aku dan ayahku baik. Sebenarnya, hal apa yang membuatmu sampai disini?” Tanyanya dengan hati-hati
“Aku hanya ingin bertanya, apa disini ada toko kotak musik?” tanyaku
“hmm… Kotak musik ya? Dulu memang pernah ada. Tetapi aku tidak tahu sekarang masih buka atau tidak” jawabnya sambil berpikir
“Kau bisa mengantarku ke tempat itu kan?” Pintaku
“Tentu. Kapan? Sekarang” Tanyanya lagi
“Ya, sekarang.” Jawabku yakin dengan mata yang berkaca-kaca
Akhirnya aku dan Jungmin meninggalkan apartement Jungmin. Aku dan Jungmin menaiki mobilku untuk menuju ke toko Kotak Musik yang aka ditunjukkan Jungmin.
Jarak toko itu hanya 4 km dari apartement Jungmin, dan akhirnya kami sampai di Toko itu. Ternyata toko itu masih ada, walaupun luarnya terlihat Kusam, Kumuh dan tak terawat itu. Kami memasuki toko itu dan di dalam ada seseorang sedang menata Kotak Musik agar terlihat rapi di dalam Rak kaca.
“Permisi, anda pemilik toko ini?” Tanya Jungmin dengan hati-hati
“Hm, Iya. Ada yang bisa saya bantu?” Jawab orang itu sambil menengok ke arah kami
“Saya mau membeli kotak musik” Jawabku
“Silahkan dipilih sesuka hati anda.” Ucapnya lalu kembali meneruskan pekerjaannya
Lalu aku melihat-lihat berbagai model Kotak Musik mulai dari bentu Biola, Gitar, Kubus maupun Buah-buahan. Aku bertanya pada pemilik toko itu adakah yang bermodel lain, dan dia mengajakku untuk melihat ke ruangan belakang saja yang lebih lengkap.
Mataku terbelalak betapa indahnya ruangan ini, Besar, Rapi, Mewah dan Klasik. Ribuan Model Kotak Musik berjajar rapi sesuai keinginan sang pemiliknya. ‘Wow’ batinku kagum.
Aku segera mencari Kotak Musik yang sesuai dengan keinginan hatiku. Ditemani sang pemilik yang bernama Cho Kyuhyun itu, aku diarahkan ke Model Kotak Musik Krystal berbentuk piano yang tersedia hanya 1 buah dan itu adalah kotak musik gubahannya.
“Ini adalah Kotak Musik Krystal Piano buatanku. Kau bisa mempertibangkannya untuk membeli ini” Sarannya
“Ini indah, bagaimana dengan musiknya?” Tanyaku takjub
Cerpen Karangan: Mega Amelia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen - My Girl And My Vespa


Kali ini untuk yang berpuluh-puluh kalinya, Karjo kembali ke kebiasaannya setiap pagi sebelum berangkat Sekolah. Kalau sudah pagi, pasti suara Emaknya Karjo kedengaran sampai ujung kampung bahkan menggema ke kampung sebelah. Abis, suaranya Emaknya Karjo cetar membahana, kayak penyanyi terkenal tuh, Syahrini yang terkenal dengan slogannya “Sesuatu”. Dan seperti biasa, Karjo dibangunin Emaknya.
“Karjooooo! Ya Allah, ni anak ye.. molor mulu dari tadi.. Karjooo! bangun lu!,” teriak Emak dengan suaranya yang cetar membahana. Di tangannya sudah siap sepotong rotan buat mukulin si Karjo kalau sampai nggak bangun-bangun.
“Bangun lu! hayo, kaga mau bangun lu, hah?!” teriak Emak sambil berusaha buat nempelin rotan ke tubuhnya Karjo. Karjo merintih kesakitan kemudian segera bangun dengan iler yang masih menetes di bibirnya.
“Iya, mak! Karjo udah bangun. Ya Allah, mak.. sampai kapan sih Emak bangunin Karjo dengan suara yang sampai kedengeran ke kampung sebelah?” kata Karjo dibalas dengan pelototan Emak.
“sampai kapan, sampai kapan? sampai elu bisa bangun pagi! noh, liat noh.. ini udah jam berape? lu kaga mau ke sekolah? lu kaga mau sukses? bilang kalau kaga mau biar Emak kirim elu ke Kalimantan biar lu bisa kerja bantuin abang lu, si Saprin..”
“Ya ela, mak. Tega banget sih ama anak sendiri? Karjo kaga mau ke Kalimantan, Mak. Karjo mah mau sekolah biar bisa sukses, bisa banggain Emak sama Bang Saprin juga. Lagian, ini jam berapa sih, mak?”
“Apee?! jam berape? lu nanya jam berape? udah deh, lu bangun terus mandi biar badan lu wangian dikit baru lu ke sekolah sekarang sebelum lu ke kunci gerbang sama si satpam genit itu. Cepetan!”
“Iya iya, Mak. Oh, ya? jam weker Karjo mana, mak?,”
“Karjo, karjo! lu kayak kaga pernah tau aja ke mana semua jam weker elu kalau elu bangun pagi? noh! di sono!,” tunjuk Emak. Dan seperti biasa, jam weker Karjo yang baru dibeli tempo hari, sekarang rusak gara-gara dibanting Karjo sewaktu jam weker itu berdering. Karjo dengan lugunya tersenyum kepada Emak.
“Apaan lu senyam senyum gitu? udah, lu mandi sono udah telat banget lu, Karjo. Emak nunggu di ruang makan aja, yah? cepetan!,”
“Iya, Iya, mak,” sahut Karjo masih dengan matanya yang bengkak karena baru bangun.
Karjo anak yatim sejak ditinggal mati Ayahnya sewaktu Karjo masih kecil dulu. Sekarang, hanya ada dia dan Emaknya di rumah. Si Saprin, kakak laki-laki Karjo merantau ke Kalimantan buat nyari duit yang banyak. Di sana Saprin kerja di sebuah pabrik sebagai seorang karyawan. Tapi gaji bulanan Saprin tidak banyak, oleh karena itu Emak terpaksa buka warung kopi di depan rumah buat menambah pemasukkan duit. Emak juga tidak tega melihat Saprin kerja siang malam di kota orang demi membiayai sekolah Karjo dan biaya hidup mereka. Apalagi Emak tau kalau Saprin nyisihin sedikit uang buat dirinya yang kemudian sebagaian besar gajinya diberikan kepada Emak dan Karjo. Saprin dan Karjo meskipun keduanya saudara kandung, tetapi mereka mempunyai kepribadian yang berbeda. Saprin anak yang rajin bekerja, giat belajar dan berprestasi ketika ia di sekolah. Sedangkan Karjo, anak yang awut-awutan, nilai sekolah selalu merah, malas belajar tetapi Karjo juga anak yang baik dan patuh sama orang tua. Meskipun begitu, Emak sangat menyayangi keduanya, karena hanya mereka berdua yang Emak punya sekarang.
Karjo keluar kamar dengan pakaian seragam SMA dan tas selempang yang sering dipakainya ke sekolah. Berharap, ada makanan enak tersaji di meja, ternyata dugaannya meleset.
“Singkong? singkong rebus lagi, mak?,” tanya Karjo dengan raut kecewa.
“Iyee! emang tiap hari singkong rebus, kan? kenapa raut muka lu? emang lu berharapnya apa?,”
“Sekali-kali roti selai plus segelas susu, kek mak?,”
“Roti selai? susu? eh, singkong aja udah bagus buat kita, lu maunya roti selai sama susu? lu kata kita mampu beli makanan kayak gitu buat sarapan tiap hari? Jo, lu syukurin aja deh, atas makanan kita hari ini. Ini itu rezeki dari Allah buat kita, kaga baik mengeluh gitu. Udah, ye? lu makan aja daripada ntar di sekolah perut lu keroncongan?” tutur Emak sambil mengunyah singkong rebus. Karjo diam sesaat kemudian segera duduk di depan Emak ikut menikmati singkong rebus seperti pagi biasanya.
Dengan langkah kecil yang dipercepat, Karjo segera menaiki motor vespa putihnya yang sudah terparkir di depan rumah. Vespa itu adalah hadiah terakhir dari Almarhum Ayah Karjo. Karjo juga sayang sekali dengan vespa itu, karena sewaktu detik-detik terakhir Ayah Karjo, ia berjanji akan merawat vespa tersebut. Karena itu, setiap berangkat ke sekolah, Karjo selalu mengendarai vespanya. Setelah berpamitan kepada Emak, Karjo segera melaju dengan vespa putih kesayangannya yang mengeluarkan asap knalpot yang luar biasa mencemari udara pagi menyusuri jalanan berbatu menuju sekolahnya.
Sayangnya, sesampainya di sekolah, Karjo benar-benar terlambat seperti biasanya. Pagar sekolah terkunci rapat dan suasana sekolah sunyi senyap menandakan semua murid telah masuk ke kelasnya masing-masing. Karjo segera memarkir motornya di depan gerbang kemudian berusaha mendobrak-dobrak gerbang sekolah.
“Eh, eh! ngapain lu? dobrak-dobrak pagar sekolah, eh elu tau kaga kalau sekarang waktunya pagar terkunci, elu masih aja dobrak-dobrak sana sini. Sono, lu balik aja ke rumah,” teriak Satpam dengan raut wajah marah mengusir Karjo. Tetapi Karjo tidak menyerah.
“Yah, pak. Hari ini saya ada ulangan matematika,”
“Terus, gue harus bilang wow gitu?,”
“Ya udah, kalau mau bilang gitu bilang aja ga apa-apa, kok,”
“Eh Karjo!,” bentak satpam marah. Karjo terkejut bukan main, karena suara bentakan si satpam lebih cetar membahana dari pada suara Emak kalau bangunin dia ke sekolah.
“Ya Allah, masih ada juga ya suara yang ngalahin suara Emak?,” gumam Karjo.
“Eh, Karjo. Lu pulang aja deh, percuma. Gue kaga bakal ngizinin elu masuk. Lagian emang lu serius mau ngikut ulangan matematika? cuiih, paling tinggi nilai lu 4, iya, kan?,”
“Wa, wa, wa… ngehina nih. Pak, sorry yah, saya Karjo Budiman mengatakan bahwa apa yang bapak katakan tadi adalah… itu… BENAR!,” tuuuiiingg, satpam sekolah hampir terjungkir mendengar ucapan Karjo. Dikiranya Karjo akan mengelak, ternyata oh tenyata Karjo mengakui kalau itu benar.
“Pak, ayo dooong. Pliiisss, kali ini aja, biarin saya masuk. Yah, yah?,”
“Enak aja! kaga ada.. pokoknya gue kaga ngizinin lu masuk, salah sendiri datang telat..,”
“Ya ela Pak. Bantu orang dikit napa? dijamin deh, kalau bapak bantuin saya masuk, bapak akan dapat…,”
“Dapat ape? duit?,” tanya satpam dengan raut berseri-seri.
“Dapat.. pahala deh, pak.. kan menolong sesama, iya ga pak? hehe,” tawa Karjo. Satpam kembali mengeluarkan taringnya dan raut wajah marah sambil berdehem keras. Karjo tahu, sudah sering Karjo membujuk satpam buat bukain pagar, tapi hari ini sepertinya agak berbeda pikirnya.
“Yah… pak.. ayo dong.. kali ini aja, yah?,”
“Kaga bisa! perasaan dari kemarin elu bilangnya “kali ini aja, kali ini aja”.. lu pikir gue kaga tau modus elu? pokoknya kaga bisa!,”
“Ya udah deh, pak saya pulang aja. Padahal, kan ntar Emak saya mau ngantarin makan siang buat saya. Tapi karena bapak ngga ngizinin saya masuk, saya pulang aja deh. Terpaksa… Emak kaga datang sekolah deh hari ini,” kata Karjo sambil berbalik ke belakang hendak pergi tetapi dengan raut jahilnya. Dihitungnya dalam hati sampai tiga kali, satpam itu akan manggil dia kembali. Karjo, kan tahu satpam sekolahnya naksir sama Emak sejak ngantarin Karjo mendaftar SMA waktu itu. Sebaliknya, Emak eneg banget sama satpam itu sampai dikatain satpam genit karena selalu menggoda Emak.
“Satu… dua… tig…,” gumamnya dalam hati sambil menggerakkan mulutnya.
“Tunggu! Karjo, lu jangan pergi dulu. Iya deh, gue bukain elu gerbang tapi elu janji ye, besok kaga datang telat lagi?,” ucap satpam itu sambil membukakan pintu gerbang. Karjo tertawa jahil dari belakang kemudian berbalik dan memperbaiki ekspresi wajahnya seperti biasa.
“Saya janji deh, pak. Saya kan lelaki yang selalu nepatin janji, iya ga, pak?,”
“Tapi… elu serius kan kalau Emak lu mau datang bawain makan siang? lu kaga boong, kan? atau jangan-jangan elu punya modus, nih?,”
“Ya ela, pak. Masih aja yah su’uzon sama saya. Liat dong muka tanpa dosa ini,” kata Karjo sambil menunjuk wajahnya. “saya kaga boong, kok. Percaya, deh,”
“Ya udah, masuk sono! muka tanpa dosa kata lu? gue baru tahu ada muka jerawatan dibilang muka tanpa dosa?,”
“Jangan menghina dong, pak. Yah, walaupun emang bener sih, muka saya jerawatan, hihi. Okelah kalau begitu! saya masuk dulu, ya… dah…,” ucap Karjo kemudian masuk ke dalam lapangan sekolah dan berlari menuju kelasnya. Satpam hanya menatapnya kecut kemudian menutup gerbangnya lagi.
Karjo mengintip dari balik pintu kelasnya. Yang dilihatnya sosok guru berkacamata dan memiliki tatapan tajam setajam silet dengan tompel yang menempel di dagunya. Yap! dia Bu Yunita, guru matematika Karjo yang terkenal killer. Dia dijuluki wanita dengan tatapan seperti mata Elang dan tompel gede. Karjo kebingungan dan mencari cara agar bisa masuk ke dalam kelas tanpa diketahui Bu Yunita. Karjo kan tidak mau lagi dihukum berjemur di panas matahari hanya karena dirinya terlambat masuk kelas. Kulit sudah item, kalau dijemur lagi ntar kulit saya jadi gosong, pikirnya. Eh, ujung-ujungnya aksi nekat Karjo masuk kelas dengan mengendap-endap kayak maling ayam ketahuan juga kan dengan Bu Yunita. Dan kali ini Karjo meminta sedikit keringanan hukuman dari Bu Yunita. Awalnya Bu Yunita menolak mentah-mentah, namun berkat jurus merayu jitu yang dikeluarkan Karjo, maka keinginan Karjo dipenuhi. Karjo memang tidak jadi dijemur di lapangan sekolah, tetapi ia harus berlutut sambil mengangkat tangan ke atas di samping kelas. Meskipun begitu, ia bersyukur kulitnya tidak tersengat sinar matahari lagi. Karjo, Karjo… sudah kayak cewek yang lagi perawatan aja…
Lagi dihukum, tiba-tiba seorang cewek berjilbab cantik lewat. Langsung saja mata Karjo terperanjat dan bertanya-tanya, siapakah cewek secantik bidadari ini? dia juga bertanya-tanya emang ada juga cewek cantik di sekolahnya? mata Karjo tak lepas dari wajah cewek itu. Kulitnya bersinar menyilaukan mata, gumam Karjo. Cewek itu terlihat sangat anggun dan lembut dengan jilbab putih yang menutupi kepala hingga hanya wajahnya saja yang terlihat. Tak terpikirkan olehnya, cewek itu berhenti di depannya kemudian tersenyum. “Ya ampun, anugerah apa yang telah Engkau berikan kepadaku di pagi ini, Ya Allah? Subhanallah, cantik sekali wanita ini. Soleha lagi. Mau gak ya dia taaruf sama saya?,” pikir Karjo. Emang dasar si Karjo suka ngayal ngga jelas.
“Assalamu’alaikum. Mas, numpang nanya. Kelas 3 Ipa 2 yang ini?,” tanya cewek itu sambil tersenyum kecil dan menunjuk ruangan kelas Karjo. Karjo kembali terpesona mendengar tutur kata cewek itu. Suaranya lembut sekali seperti wajahnya dan orangnya kelihatannya sopan dan sangat feminim. Kayaknya pas dengan kriteria wanita impian Karjo.
“Maaf, mas. Saya nanya, kelas 3 Ipa 2 kelasnya yang di sini, kan?,” tanyanya lagi masih dengan suara yang begitu lembut.
“Oh, em.. he, iya.. maaf, yah saya terpesona..,” ucap Karjo tak sadarkan diri. Dengan cepat Karjo menutup mulutnya karena tersadar dengan apa yang sudah dikatakannya.
“Iya? terpesona? maksudnya apa, ya?,”
“Oh ngga, ngga kok. Oh, ya kenalin saya Karjo Budiman,” ucap Karjo sambil menyerahkan tangannya ke depan seperti orang yang ingin berjabat. Cewek itu tersenyum lembut.
“Saya Mutia. Mutia Anggraeny, siswi baru di sini. Maaf, mas. Tangannya..?,” katanya tanpa membalas jabatan tangan Karjo. Dengan cepat Karjo menurunkan tangannya menyadari maksud cewek itu.
“Tapi.. Kok mas Karjo duduk di sini? kenapa ngga masuk?,” tanya Mutia sambil melongok ke dalam kelas.
“Oh, itu… anu… saya lagi dihukum gara-gara terlambat masuk kelas,” jujur Karjo sambil menampilkan deretan giginya. Mutia tersenyum lucu kemudian berpamitan untuk masuk ke kelas. Pandangan Karjo tak lepas dari Mutia. Beribu-ribu kali ia mengakui kalau Mutia itu cantik seperti bidadari di dalam hatinya. Sudah kayak pernah liat bidadari aja si Karjo. Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Lama, Karjo tahu kalau dia ternyata jatuh cinta pada Mutia pada pandangan yang pertama. Padahal selama ini Karjo tidak pernah suka sama cewek dan tidak pernah berpacaran. Ternyata oh ternyata Mutialah cinta pertama dan cinta pada pandangan yang pertamanya. Belum pernah ia merasakan rasa seperti yang ia rasakan ketika melihat cewek cantik. Apalagi selama ini Karjo sering melihat cewek cantik tapi perasaannya biasa saja. Nantilah ketika melihat Mutia barulah perasaannya terasa aneh dan jantungnya berdegup tak karuan. Tapi apa Mutia juga punya perasaan yang sama kepada Karjo?
Sejak jatuh cinta kepada Mutia, Karjo mulai berubah sedikit demi sedikit. Dulu dia paling jarang ngerapihin badan sendiri. Sekarang dia mulai mencukur rambut gondrongnya dan mencukur kumis dan janggutnya yang mulai tumbuh. Bahkan Karjo mandi dua kali sehari yang awalnya ia mandi paling ke sekolah saja, itupun kalau lagi libur bisa-bisa Karjo ngga mandi-mandi, katanya mubazir air. Emang dasar si Karjo, paling banyak alasannya. Dia juga beli berbagai macam obat jerawat buat ngilangin jerawatnya yang sudah bertahun-tahun setia menempel di wajahnya. Karjo jadi suka bangun pagi dan sekarang Karjo jadi rajin beribadah, tiap hari sholat berjamaah di masjid kampung. Emak saja sampai kebingungan dengan perubahan drastis sikap Karjo. Emak sampai ngabarin Saprin tentang perubahan drastis sikap adik satu-satunya itu. Si Saprin hanya tersenyum dan mengatakan itu hal yang baik karena ia juga sudah lama menginginkan Karjo berubah menjadi lebih baik. Pokoknya Karjo sudah beda banget dengan Karjo yang dulu. Nilai pelajaran Karjo pun mulai meningkat paling tidak udah ngga pernah dapat merah lagi. Apa ini karena cinta pertamanya? you know well, lah…?
Sikap Karjo yang tidak pernah berubah adalah setia dengan vespa putihnya. Walau sekarang Karjo sudah ganteng dan bersih, vespa putih masih setia membawanya ke manapun ia pergi. Bahkan Karjo sering curhat tentang Mutia kepada vespanya yang dia beri nama “Vejo (VEspa KarJO)”. Karjo tetap masih sayang saja sama vespa putihnya. Tiap hari dimandiin sampai mengkilap seperti baru. Vejo selalu mendapat perawatan rutin di bengkel dekat sekolahnya. Bagi Karjo, Mutia dan Vejo sama-sama istimewa untuknya.
Namun siapa sangka? awalnya Mutia hanya menganggap Karjo sebagai seorang teman yang kekanak-kanakan dan lucu. Mutia senang dengan Karjo karena Karjo pandai melawak dan suka menghiburnya di sekolah. Mutia selalu tertawa dan merasa terhibur jika berada di dekat Karjo. Karjo bahkan sudah mengungkapkan perasaannya kepada Mutia lewat lawakannya namun Mutia tidak sadar kalau sebenarnya Karjo serius dengan lawakannya tersebut. Lama kelamaan, Mutia mulai menaruh hati sedikit demi sedikit kepada Karjo. Mutia juga sampai bingung kok bisa ia suka sama Karjo? padahal wajah Karjo tidak setampan laki-laki yang selama ini pernah menaruh hati padanya. Tapi ia sadar, yang membuat dirinya menyukai Karjo bukan karena tampangnya tapi karena kepribadian Karjo yang baik, pandai menghibur dan selalu membuat Mutia tertawa. Mutia juga merasa nyaman berada di dekat Karjo. Dia merasa kalau Karjo itu laki-laki tulus yang berbeda dengan laki-laki di luar sana yang hanya menganggapnya wanita cantik biasa.
Suatu hari Karjo menghampiri Mutia yang sedang duduk di bangku halaman sekolah. Seperti biasa, sebelum bertemu Mutia, pasti rambut dirapihin dulu sama ngecek napas bau apa kaga.
“Assalamu’alaikum, Mutia,” sapa Karjo sambil tersenyum. Mutia sedikit terkejut dengan kehadiran Karjo kemudian menjawab salam Karjo.
“Kamu kenapa, Mut? kok murung gitu? ada masalah, ya?,” tanya Karjo. Mutia menggeleng pelan.
“Terus? kok ngelamun sendirian aja? senyum dong, Mut. Biar aku bisa liat wajah cantik kamu, hehe,” goda Karjo sambil tersipu malu. Mutia tersenyum kecil.
“Karjo, aku boleh nanya sesuatu ngga sama kamu? tapi kamu ngga boleh nanya balik, kamu cukup tinggal jawab aja, kok,” kata Mutia. Karjo mengangguk kemudian duduk di depan Mutia dengan jarak yang sedikit jauh.
“Menurut kamu, aku ini wanita seperti apa sih?,” tanya Mutia. Karjo mengerutkan kening keheranan mendengar pertanyaan Mutia yang secara tiba-tiba.
“Maksud kamu nanya seperti itu..?,”
“Udah aku bilang kamu ngga perlu nanya balik. Dijawab aja cukup, kok,” sahut Mutia masih dengan suaranya yang lembut.
“Oke. Menurutku… kamu itu wanita yang baik, lembut, sopan lagi. dan yang utama kamu itu cantik lho,” kata Karjo sambil tersenyum. Mutia mengangkat pandangannya tapi dengan raut wajah yang sedikit berubah.
“Cantik?,”
“Iya. Waktu pertama kita ketemu saat aku dihukum dulu, aku itu terpesona banget lho sama kecantikan kamu. Aku sampai bertanya-tanya ini bidadari dari mana, yah? ini anugerah dari Allah yang luar biasa. Aku sampai niat banget berubah menjadi lebih baik karena kamu lho. Supaya aku bisa dekat sama kamu,” tutur Karjo. Mutia langsung berdiri dengan tatapan kesal. Karjo terlihat bingung melihat Mutia yang tiba-tiba berdiri.
“Oh, jadi kamu dekat sama aku hanya karena terpesona aja sama wajahku? kamu ngga tulus kan berteman sama aku? hanya karena aku cantik seperti yang kamu bilang, kamu jadi mau dekat-dekat aku. Kamu bahkan terpesona hanya karena wajah ini? aku pikir kamu itu melihatku bukan sekedar wanita dengan wajah cantik, ternyata kamu sama aja, Jo!,” timpal Mutia sedikit kesal dan nada bicaranya sedikit lebih tinggi. Karjo jadi kebingungan dengan sikap Mutia.
“Lho, Mut? bukan gitu. Bukan itu maksudku..,”
“Karjo. Aku kecewa sama kamu. Aku pikir kamu mau berteman denganku karena tulus, tapi hanya karena wajahku saja? aku itu sudah nyaman banget di dekat kamu karena aku itu ngelihat kamu bukan dari tampang. Aku kira kamu juga gitu ternyata aku salah besar,” ucap Mutia berlalu pergi dengan linangan air mata. Karjo hanya terdiam melihat Mutia berlalu. Sebenarnya Karjo senang mendengar kalimat yang barusan diucapkan Mutia, namun dia kebingungan karena Mutia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Apa karena Mutia diam-diam juga suka sama dia?
Selama di kelas, Mutia tidak menegur atau sekedar melempar senyum kepada Karjo. Karjo sendiri merasa aneh karena selama ini Mutia tidak pernah mengacuhkannya. Rejo, teman sebangku Karjo sampai keheranan melihat keduanya yang tadinya akrab menjadi asing seperti itu. Rejo kemudian mendatangi Karjo dan mempertanyakannya. Tapi sepertinya Karjo sedang tidak mood membicarakannya dengan orang lain. Untuk memancing sikap Karjo, Rejo punya ide.
“Karjo. Gue pinjem si Vejo, yah? bentar aja, lu kaga cemburu, kan kalau si Vejo gue pinjam entar aja,” kata Rejo. Sontak mendengar nama Vejo, Karjo melotot ke arah Rejo.
“Kaga bisa! awas aja lu kalau sampai ngapa-ngapain si Vejo. Lu ga boleh nyentuh dia. Dia itu spesial, ngga boleh seorang pun yang dekat-dekatin si Vejo kecuali aku,” Bentak Karjo sedikit keras. Rejo sampai menutup telinganya dengan wajah yang menahan tawa mendengar bentakan Karjo yang lebay minta ampun. Guru Bahasa Indonesia saja sampai berbalik menegur Karjo karena berteriak di kelas. Lebih parahnya lagi si Karjo ditertawain satu kelas karena tiba-tiba berteriak. Mutia yang mendengarnya merasa sedikit cemburu. Dia mengira Vejo adalah seorang gadis di sekolah ini, ternyata Vejo itu adalah motor vespanya Karjo.
Sepulang sekolah, Karjo berjalan di belakang Mutia sambil menatapnya. Lama-lama, Karjo memutuskan memberanikan diri ngomong langsung sama Mutia. Saat mereka melewati tempat parkir, Karjo memanggil Mutia.
“Mutia. Tunggu,” panggil Karjo. Mutia berhenti sejenak kemudian berjalan lagi. karjo pun segera berlari ke depan dan menghadang Mutia. Mutia sontak terkejut dengan tindakan Karjo.
“Mutia. Aku mau ngomong sama kamu. Sekarang!,”
“Maaf, Karjo. Aku buru-buru pulang. Assalamu’alaikum,” pamit Mutia. Karjo menahannya lagi.
“Aku bener-bener minta maaf kalau perkataan aku nyinggung perasaan kamu. Tapi kamu salah paham, Mut. Aku ngga berteman sama kamu karena kamu cantik, kok. Aku juga terpesona bukan hanya karena kamu cantik,”
“Karjo, kita ngga usah bahas ini lagi, yah? lupain aja,”
“Harus dibahas, Mut! aku ngga mau kamu salah paham sama aku. Kamu diemin aku kayak tadi udah buat aku ngga enak, lho, beneran. Nih aku kasih tau. Kalau memang aku berteman dan terpesona sama kamu hanya karena kamu cantik kenapa harus sama kamu aja yang aku dekat. Banyak kok di luar sana cewek yang cantik tapi aku ngga tertarik tuh. Kalau aku berteman dengan orang lain hanya karena kecantikannya, aku pasti udah dekat sama semua cewek bukan hanya sama kamu doang. Kamu itu spesial, Mut. Aku ngga bisa nemuin wanita kayak kamu di luar sana,” tutur Karjo.
“Bisa, kok. Ada, kan wanita yang spesial di mata kamu selain aku? aku tidak sangka aja, lawakan kamu kalau bilang kamu suka sama aku itu beneran, ternyata cuma lelucon saja. Maaf, Karjo. Aku harus pergi. Assalamu’alaikum,”
“Mutia! aku beneran suka sama kamu. Sejak pertama kali. Dan pertama kalinya aku suka sama cewek yaitu kamu. Tapi aku ngga bisa ngungkapin dengan serius takut kamu nolak. Makanya aku buat lewat lawakan, tapi aku sebenarnya berharap lho kamu nganggapnya serius. Aku tahu kamu itu wanita yang soleha, aku ngga bakal minta kamu jadi pacarku kok. Toh kita juga masih sekolah, kan? aku cuma minta kamu jadi orang yang aku sayang. Itu aja cukup. Kamu percaya, yah?,” pinta Karjo sambil menatap Mutia. Mutia tetap menunduk tidak berani menatap wajah Karjo.
“Kamu beneran mengatakannya? kamu serius?,”
“Iya, aku serius. Aku ngga boong, beneran. Percaya, yah?,” pinta Karjo.
“Tapi, kan bukan hanya aku yang spesial di mata kamu. Ada wanita lain, kan?,”
“Wanita lain? ngga ada, Mut. Itu cuma kamu aja. Aku berteman dengan kamu itu tulus, kok. Aku ngga punya maksud apa-apa dekat sama kamu,”
“Tapi tadi.. di kelas.. aku denger kamu sama Rejo ngerebutin cewek yang namanya Vejo, iya, kan?,” tanya Mutia kembali dengan suaranya yang lembut. Karjo terkejut mendengar pertanyaan Mutia. Perlahan-lahan Karjo tertawa keras membuat Mutia kebingungan dengan reaksi Karjo.
“Hahahaha… oh, jadi karena itu toh? kamu cemburu, ya? ngaku aja, deh. Kamu juga suka, kan sama aku. Ayo ngaku,” goda Karjo dengan raut wajah merasa lucu. Mutia terkejut mendengar perkataan Karjo. Mutia menggeleng cepat sambil tertunduk malu.
“Udah lah, Mut. Kamu ngga usah boong, dosa lho !tinggal bilang kamu suka sama aku aja ribet?,” godanya.
“Aku ngga cemburu, kok,”
“Oh, yea? terus, kamu kok ogah banget gara-gara bukan hanya kamu aja yang spesial tapi si Vejo juga?,”
“Karjo, kamu jangan buat aku kikuk dong. Aku ngga cemburu, aku cuma nanya kalau ada, kan cewek lain yang namanya Vejo spesial di mata kamu?,” elak Mutia. Karjo kembali tertawa.
“Kamu tau ngga Vejo itu siapa? vejo itu… ini!,” tunjuk Karjo. Telunjuk Karjo tepat mengenai motor vespa putihnya yang terparkir rapi di parkiran sekolah. Mutia terkejut dan terlihat kebingungan.
“Vespa?,” tanya Mutia.
“Iya. Vejo itu motor vespa aku, hadiah dari Almarhum Ayahku dulu. Vejo (VEspa KarJO). Kalian berdua sama-sama spesial. Yang satu vespa kesayanganku dan yang satu lagi… wanita pujaanku. Hehehe,” goda Karjo lagi. Mutia tersenyum malu mendengarnya.
“Udah ngga ada lagi yang disalah pahamkan, kan? mulai sekarang jangan salah paham lagi, yah? yang paling penting, kamu jangan cemburu lagi, yah?,” godanya.
“Ih, Karjo apaan sih. Siapa yang cemburu? aku ngga cemburu,” elak Mutia. Karjo tertawa melihat ekspresi Mutia yang tersipu malu.
“Ya udah, sekarang kita pulang, yuk. Aku antarin kamu pulang, yah? kita pulang bareng sama si Vejo, ok?,” kata Karjo sambil memakai helmnya. Mutia mengangguk sambil tersenyum.
Kemudian mereka berdua pulang bersama dengan mengendarai Vejo dan saat itu hati Karjo bahagia sekali bisa pulang bersama dengan wanita yang menjadi cinta pada pandangan pertamanya. Dalam hati Karjo berdoa agar berjodoh dengan Mutia suatu hari nanti dan membangun rumah tangga bersama (khayalan tingkat tinggi Karjo).
Sayangnya kisah cinta satpam sekolah dan Emak tidak berjalan mulus seperti Karjo karena ternyata Emak tetap eneg dengan satpam sekolah. Terpaksa satpam sekolah harus memiliki cinta bertepuk sebelah tangan. Si Saprin juga rencananya mau pulang ke kampung halaman dan memiliki berita gembira karena jabatan Saprin bukan sebagai karyawan biasa lagi tetapi jabatannya telah dinaikkan sepenuhnya. Hingga kini, di mata Karjo “My Girl and My Vespa” sama-sama spesial dan itu semua tidak membuat Mutia cemburu lagi. di perjalanan pulang, karjo mengatakan kepada Mutia yang membuatnya kembali tersipu malu:
“You are my Girl, I’am your Boy and Vejo is my Vespa “
Cerpen Karangan: Rizka Dwigrah. P

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS