Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Cerpen - Aku Adalah Aku


Kejadian akhir-akhir ini membuat aku semakin down karena banyak orang yang merendahkan bahkan menyingkirkan aku. Saat aku mau bergabung mereka menolak. Hinaan, cacian, sikap yang tidak pantas, disingkirkan, direndahkan sudah jadi makananku setiap hari. Mungkin karena aku jelek, miskin, tidak memiliki apapun, dan banyak kekurangan yang aku miliki. Tapi aku yakin suatu saat aku bisa jadi lebih dari mereka, dan mereka bisa melihat siapa aku yang sebenarnya.
“Graaaceee!” teriak seseorang. Siapa itu?
“Aku Iony! Sadar”
“Iya iya, ada apa?”
“Kamu lagi mikirin apa? Bengong terus”
“Orang ngomong itu dijawab dong!” bentak Iony.
“YA! Aku pusing, semua orang bertingkah aneh akhir-akhir ini! Enak ya jadi kamu yang diterima oleh semua orang, sedangkan aku seperti sampah yang sudah gak ada gunanya dan gak dianggap”
“Iya sih, memang banyak yang ngomongin kamu di belakang. Kamu dibilang plagiat, caper dan stalker gadungan, tapi biarin ajalah gak usah dianggap”
“Gak bisa gitu, aku harus cari tau dan aku pasti bisa lebih dari mereka. Aku masih seorang manusia yang mau dianggap bukan sampah yang disingkirkan dari masyarakat!”
Sepertinya Iony memang gak bisa diajak kompromi hari ini. Aku harus tau siapa yang dimaksud Iony. Aku gak terima dengan apa kata mereka. Aku harus lebih dari mereka dan aku harus bisa lebih eksis dari mereka. Siapa juga yang mau kalah dengan ketenaran mereka. Bukan berarti kalau aku lemah aku kalah. Aku juga bisa jadi mereka. Pokoknya hari ini aku harus tau siapa mereka. Aku gak mau jadi orang pinggiran di sekolah, aku mau diterima dan dianggap di sekolah!
Sekarang waktunya mencari tau siapa orang yang sudah ngejatuhin harga diriku di sekolah. Cara yang paling tepat dan paling gampang adalah dengan melihat tingkah mereka di dunia maya. Aku coba membaca dan mencari percakapan mereka di twitter. Aku rasa semua percakapan mereka sudah menunjukkan bahwa mereka memang sedang menyindir, menjatuhkan, mengatai dan menganggap aku rendah di sekolah.
“KRINGGG” tiba-tiba ada bunyi telepon, dan ternyata dari Iony.
“Hallo”
“Grace, Sorry kalau aku ada salah tadi”
“Iony, aku bingung dengan tingkah mereka. Tapi yang pasti aku gak bakal kalah dengan mereka aku juga bisa kok ngelakuin hal yang sama seperti mereka!”
“Udahlah Grace, biarin aja”
“Tapi mereka ngelakuin ini tanpa sebab”
“Ya berarti bukan salahmu, periksa aja dirimu sendiri, gak usah emosi”
“Udahlah kamu juga gak bakal ngerti!” bentakku.
Iony juga gak bisa ngerti perasaanku. Yang pasti aku gak mau kalah dengan mereka. Aku mau diterima, bukan disingkirkan di sekolah. Memangnya cuma mereka yang bisa nyindir aku di twitter? Aku juga bisa! Aku mau tumpahin semua emosiku di sana dan semoga mereka sadar. Aku sebenarnya cuma ingin semua masalah ini clear, aku juga engga mau punya musuh.
Setiap pagi, aku berangkat sekolah dengan wajah lesu tanpa harapan. Rasanya hidup sudah tidak berguna karena semua perilaku teman-teman. Mereka cuma bisa menghina dan menjatuhkan aku setiap hari.
“Grace” sapa iony.
“Ya”
“Kamu kemaren ngetweet lagi macem-macem ngejelekin mereka ya?”
“Iya sih, aku udah gak tahan diperlakukan seperti ini terus. Coba deh kamu yang jadi aku!” jelasku.
“Ya aku tau grace, tapi itu gak akan menyelesaikan masalah, malah tambah besar. Tanpa lo sadari sekarang bukan mereka berdua aja, tapi beny, priciell, reka, sheera dan yang lainnya juga ngomongin kamu. Coba kamu gak ngetweet, tapi diem, pasti gak panjang urusannya”
“Oke lah, terus menurutmu aku salah?”
“Akhir-akhir ini lo memang rada pengen cari temen dengan ngikutin gaya mereka, dan caper!”
“Jadi lo ngebela mereka gitu? Sahabat apaan lo!” bentakku.
“GAK! Dengerin aku, gak ada gunanya lo ngebales tingkah mereka, gak ada gunanya lo mau berusaha EKSIS jadi temen mereka, gak ada gunanya lo ngejelekin mereka di dunia maya. Akhir-akhir ini lo berubah Grace!”
“Lalu? Emang aku harus gimana? Kalau aku diam aku bakal tambah direndahin. Aku harus berbuat dan jadi lebih dari mereka!”
“JADI DIRI LO SENDIRI! Masalah ini masalah sepele, tanpa sebab, tapi kalau kamu tanggapi maka masalah ini akan membesar. Ingat pribadimu yang dulu, jangan berusaha jadi mereka tapi jadilah dirimu sendiri. Coba kamu pikir dan aku berharap kamu mengerti.”
“Terus apa aku harus diam terus menerus? Aku bakal tambah direndahin dan dikata-katai, cukup selama ini aku makan semua cacian itu setiap hari”
“Diam! Itu yang harus kamu lakukan, karena tidaklah penting apa kata manusia tentang kamu, karena yang terpenting adalah apa kata Tuhan tentang kamu”
Air mataku turun, aku baru sadar selama ini aku hanya diperdayakan manusia. Buat apa aku memikirkan omongan mereka. Aku hidup bukan untuk dinilai orang, tetapi aku hidup hanya bagi Tuhan. Aku sadar, dunia boleh mengatakan apapun juga tentang aku tetapi yang terpenting adalah apa kata Tuhan tentang aku. Aku mau jadi diriku sendiri dan melakukan yang terbaik bagi Tuhan dan bagi sesamaku.
Mulai sekarang tidak ada gunanya aku ngomongin mereka lagi, tidak ada gunanya aku nyindir mereka di twitter lagi, tidak ada gunanya lagi aku untuk mencoba menjadi orang lain dan berusaha eksis seperti mereka. Jauh lebih baik aku jadi diri aku sendiri. Mungkin memang sekarang saatnya, saatnya aku menjadi diriku sendiri, karena aku adalah aku.
Dari aku, oleh aku, untuk aku dan untuk semua orang yang aku kasihi.
Jadilah dirimu sendiri. Tidak ada gunanya kamu menjadi orang lain. Sadarilah bahwa kamu istimewa. Tuhan membuat kita semua istimewa. Ada kelebihan dan ada kekurangan. Kelebihan tidak membuat kita menjadi sombong. Kekurangan jangan membuat kita menjadi down dan selalu berusaha menjadi seperti orang lain. Jadilah dirimu sendiri. Kekurangan dan kelebihan kita gunakan untuk saling melengkapi, karena dengan itu hidup ini menjadi INDAH.
Ini dari aku. Untuk menjadi aku dan hidup sebagai aku karena aku adalah aku
Cerpen Karangan: Graciella Eunike Satriyo

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen - Love or Friends


Hoaaaammm.. Aku terbangun seiring dengan bunyi alarm. Aku bangun dengan langkah sempoyongan dan bergegas berjalan ke kamar mandi. Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah ke jenjang berikutnya, SMA, yang berarti menandakan sudah berlalunya proses MOS yang mengerikan itu. Horeee seruku dalam hati. Saking bersemangatnya, aku memakai baju secepat kilat hingga membuat kegaduhan. Tapi karena aku anak tunggal, tidak ada yang mengomeliku karena kegaduhan itu.
Aku bergegas keluar dari kamar dan memakan sarapan ku dengan terburu-buru. Ibu hanya bisa tersenyum sabar melihatku makan yang seperti dikejar monster. Aku bergegas keluar dari rumah dan berlari sekuat tenaga menuju halte yang letaknya lumayan jauh dari rumahku. Tak lama sampai di halte, aku melihat bus yang tujuannya searah dengan sekolahku.
Setibanya di halte dekat sekolah, aku memeriksa jam tanganku yang ternyata masih menunjukkan pukul enam lewat satu menit. Waw pikirku dalam hati pagi sekali. Dari halte ke sekolahku jaraknya hanya sekitar 100 meter. Sekali lagi, aku berjalan dengan langkah yang terburu-buru.
Sesampainya di depan gerbang sekolah baruku itu, aku masih tidak percaya kalau aku dapat bersekolah di sekolah yang terkenal elite ini. Ya tentu saja aku bersekolah di SMA Angkasa yang sangat populer dan elite. Dengan langkah perlahan-lahan, aku mulai memasuki area lapangan sekolah yang luas. Aku berjalan ke arah seorang guru yang tampaknya mengetahui denah kelas-kelas dan bertanya dimana ruangan kelasku dengan muka yang kuharap terlihat sopan. Dengan hati yang deg-degan aku melangkah menuju sebuah kelas yang ditunjuk guru itu. Dengan kepala yang ditundukkan, aku mulai melangkah memasuki kelas. Aku berharap tidak menabrak siapa pun dengan kepala ku yang sedang tertunduk ini. Tetapi, harapanku tidak terkabulkan. Aku menabrak tubuh seseorang, dan orang itu hampir terjatuh kalau dia tidak berpegangan dengan meja terdekat.
“Maaf.. Maaf..”
“Tenang aja. Tidak apa-apa kok,” Orang yang kutabrak itu pun terdiam sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. “Ehmm.. Haloo nama gue Oci. Lo Ella kan?”, pertanyaannya membuatku melihat ke arahnya sambil menelengkan kepalaku ke kanan. Darimana dia tahu namaku?
Seakan dia dapat mengetahui apa yang berputar di otakku dia menjawab, “Lo gak kenal gue? Gue yang duduk di belakang lo pas MOS kemarin..”
Sesaat aku tertegun, Kenapa gue bisa lupa ya? Ckck, “Oh iya.. Maaf maaf. Saking buru-burunya otak gue jadi nge-blank. Hehe maap yak,” ucapku sambil tersenyum kikuk.
“Udah enggak apa-apa,” Oci terdiam sesaat. “Emmm, lo nanti duduk sebangku sama siapa?”
“Mmm gue belum tau. Gimana kalo kita duduk sebangku aja?” ucapku antusias.
“Ooh oke.” ucapnya girang.
Tidak lama kemudian, bel tanda pelajaran berbunyi. Sebelum guru masuk, aku sempat berkenalan dengan beberapa orang lagi. Di belakangku, duduk Della dan Rere. Di serong kiri depanku, ada Ira. Dan di samping kanan Oci, Melly duduk dengan kepala yang ditopangkan pada tangannya. Kelima orang inilah yang akan selalu menghiasi hari-hariku dengan penuh canda dan tawa. Suka duka pun kita bagi bersama. Kami juga membuat sebuah nama, DOREMI, nama yang diambil dari nama depan kami berenam.
2 tahun kemudian
Hari ini hari yang sama seperti dulu pada pertama kali aku benar-benar belajar di SMA. Tapi bedanya, dulu aku masih kelas 10, dan sekarang aku sudah kelas 12 lho…
Karena kebetulan belum ada guru yang masuk ke kelas, aku berjalan keluar dari kelas menuju depan koridor yang menghadap langsung ke depan lapangan dan gerbang. Saat aku menoleh ke arah kanan, kulihat Giri sedang tersenyum ke arahku, dan tak lama kemudian dia sudah berada di sampingku. Aku yakin sekarang kalian sedang menduga-duga siapa Giri. Akan kuperkenalkan kepada kalian. Dia adalah cowokku. Hehe gak nyangka ya. Aku pun sampai sekarang masih tidak menyangka aku bisa berpacaran dengan cowok seganteng dia.
“Ada apa? Keliatannya kamu lagi bete banget.” tanyanya dengan mata yang mulai menyelidiki gerak-gerikku.
“Emang bete banget, karena di kelas gak ada yang bisa diajak ngobrol. Aku juga belum kenal sama orang-orangnya.” ucapku dengan kepala yang kutopangkan ke tangan.
“Ckckck.. Ella.. Ella.. Kalau kamu bete, kamu tinggal sms aku. Aku nanti bakal dateng ke kelas kamu..”
“Serius?!” ucapku tidak percaya.
Sebelum dia sempat menjawab, dari ujung koridor terdengar suara sepatu yang suaranya terdengar nyaring. Ternyata seorang guru. Sepertinya wali kelasku. Setelah melihat sekilas guru itu, Giri bergegas bangkit dan mengucapkan “sampai jumpa nanti” dengan terburu-buru. Aku juga bangkit berdiri dan bergegas ke kelas.
Aku melewatkan bel istirahat pertama hanya dengan duduk-duduk di kelas sambil menyantap bekal yang kubawa dari rumah. Tidak lama kemudian, Rere, Ira dan Melly datang menghampiriku.
“Eh, lo dah tau belum? Kalo ternyata si Oci juga suka ama Gilang.” ucap Rere dengan mata yang dia belalakkan.
“Seriuuusss? Kok bisa? Bukannya katanya si Oci itu mau jadi mak comblangnya Della? Kok malah dia sih yang jadi suka sama Gilang? Sumpah parah banget. Della udah tau belum, tentang ini?” ucapku panik sambil menatap sahabat-sahabatku satu persatu.
Raut muka Rere mengeras saat mengatakan, “Belum. Tapi usahain jangan sampai dia tahu!”
“Iya betuull.. Jangan sampai Della tau. Bisa berabe nanti.” Ira mengatakannya juga dengan raut muka yang mengeras.
Aku sudah menduga dari awal adanya kemungkinan hal seperti ini terjadi. Waktu itu aku sudah mengatakan keberatanku ke Oci agar dia tidak membantu Della dalam urusan se-sensitive ini. Tetapi Della malah marah padaku karena menurutnya aku iri padanya, dan akhirnya aku lebih memilih diam sambil mengawasi kelanjutan kisahnya yang berkembang sesuai dengan dugaanku.
“Ellaaa…jangan bengong dong.. Lo setuju gak?” ucap Rere jengkel.
“Hah? Setuju apaan?” aku bingung karena raut wajah sahabat-sahabatku itu seperti siap membunuhku seketika itu juga.
“Aduuh… lo kebanyakan mikirin Giri sih,” Melly geleng-geleng kepala sambil menatapku. “Gini deh gue jelasin dari awal.” Melly terdiam lagi untuk merangkai kata-kata yang akan cepat untuk langsung kupahami. “Gue ngusul gimana kalau gue, lo sama Rere bicara sama Oci nanti pas istirahat kedua. Pas lagi kayak gitu, si Ira ngajak Della kemana kek untuk ngalihin pikiran Della aja dari kita. Gimana? Lo setuju apa kagak?”
Aku berfikir sesaat sebelum menjawab dengan tegas, “Oke gue setuju!”
Bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi.
“Ingat, La. Jangan ampe lupa.” tegas Rere dan Melly hampir berbarengan.
“Gak bakal lah gue lupa.” ucapku dengan muka cemberut.
Setelah mereka mendapat persetujuanku, mereka beranjak pergi ke kelas masing-masing. Sepertinya hari ini dan seterusnya, bakalan menjadi hari yang panjang dan melelahkan deh, ucapku dalam hati sambil menutup mata untuk menenangkan hati dan pikiranku, walaupun hanya untuk sesaat.
Rencana berjalan dengan mulus. Sukses. Della sama sekali tidak tau kalau sebenarnya kita sedang berbicara serius. Karena beberapa menit sebelum Della datang, ada kejadian lucu yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal.
Sebelum memulai rencana, aku sudah melihat dari jauh Giri sedang berjalan menghampiriku. Tetapi aku hanya dapat menggelengkan kepala. Dia mengerti isyaratku dan berjalan ke arah sebaliknya. Aku tidak mau Giri tau apa yang sedang terjadi. Tapi kalau waktunya sudah tepat aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengatakannya padanya.
Tapi, tidak semudah itu untuk berbicara dengan Oci. Dia benar-benar keras kepala. Saat kami memperingatinya betapa seorang sahabat itu sungguh berarti dan jangan sampai kehilangan orang itu, dia malah berkata, “Bukan salah gue dong, Gilang lebih milih gue. Gilang juga cerita sama gue betapa gak sukanya dia sama Della. Jadi bukan salah gue kan?” dia berkata seperti itu dengan ekspresi tidak peduli.
Sebenarnya perkataannya ada benarnya juga. Tapi kata-kata itu cocoknya diucapkan untuk orang yang gak dia kenal dekat, bukan untuk sahabatnya. Aku malah jadi bingung sendiri.
Sepulang sekolah, aku meminta maaf kepada sahabat-sahabatku itu karena tidak bisa pulang bersama. Ya karena hari itu aku ada les, dan sebelum les Giri mau mengajakku ke sebuah tempat. Dan untuk sementara waktu kusingkirkan persoalan Oci dan Della.
September 2006
Sudah dua bulan berlalu sejak aku, Rere dan Melly berusaha berbicara sama Oci. Tetapi sepertinya hubungan Oci-Gilang semakin dekat saja. Dan dari cerita yang kudengar dari Melly, mereka berdua sudah sering jalan bareng berdua. Kuakui Gilang sebenarnya orangnya asyik dan baik, pasti itu alasan mengapa Oci bisa jatuh cinta juga sama Gilang. Tapi sumpah, aku gak tau kalau aku jadi Della gimana. Pasti sakit banget dikhianati sahabat yang sudah kita percayai.
Aku sudah bercerita tentang kejadian semua ini ke Giri, tepat sebulan yang lalu. “Sebaiknya kamu dan teman-teman kamu itu memberi tahu Della secepat mungkin. Karena biasanya semakin lama dia tidak mengetahui hal itu, hatinya akan semakin sakit lagi. Jadi sebaiknya kamu beritahu dia sekarang, biar dia dapat mempersiapkan dirinya sendiri.” kata Giri waktu itu.
Tetapi setiap kali aku ingin bilang ke Della hal yang sebenarnya sedang terjadi, mulutku malah menjadi kaku. Rere, Melly, Ira, dan aku juga jarang membicarakan hal ini, karena takut tercuri dengar sama Della. Jadinya kami hanya dapat mengamati dari jauh saja.
Sekarang bulan September dan sebentar lagi ulang tahun Della. Pada hari Minggu tepat dua hari sebelum Della berulang tahun, aku dan Rere double date sambil membeli hadiah buat Della. Tetapi kami makan di tempat yang berbeda. Karena Rere dan Indra mau makan di Hoka-Hoka Bento yang kebetulan aku dan Giri tidak menyukai makanan yang disajikan di tempat itu, jadilah kami berpisah.
Saat kami berpisah, aku dan Giri bertemu Oci dan Gilang sedang jalan sambil tertawa-tawa. Dari bahasa tubuh mereka, mereka mirip sekali dengan sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Lagi-lagi setelah melihat hal ini aku jadi teringat pada Della. Seketika itu juga nafsu makanku langsung menghilang. Giri yang melihat kejadian itu juga, tidak berkata apa-apa saat aku menariknya ke toko boneka yang jaraknya tidak jauh dari tempatku berdiri.
Aku memilih salah satu boneka untuk kado buat Della dan bergegas membayarnya di kasir. Aku juga membatalkan kegiatan yang akan kami lakukan pada hari itu. Sebelum aku dan Giri pergi, aku meminta maaf sama Rere dan Indra karena aku dan Giri tidak dapat meneruskan jalan sama mereka berdua. Indra yang periang itu terlihat kecewa karena orangnya berkurang. Tetapi Rere dengan bijaksana memberikan alasan kalau aku sedang sakit, tidak enak badan. Dan Indra dapat memahaminya dan mendoakan aku cepat sembuh.
Giri membawaku ke tempat makan yang biasa kami kunjungi. Para pelayannya pun hafal sama kami. Apalagi menu yang biasanya kami pesan selalu sama. Tempat makan itu juga nyaman dan tenang, sehingga aku dapat menetralkan perasaanku dan otakku yang dari tadi terus bekerja tiada henti.
“Sudah tenang?” Giri bertanya dengan suara prihatin.
Aku mengangguk, “Makasih ya, Gir. Kalau gak ada kamu, mungkin aku sudah melakukan hal bodoh di depan Rere dan Indra.”
“Iya.. Iya..” ujar Giri gemas sambil mengusap-usap rambutku. “Nah makanannya udah dateng. Sebaiknya kita makan. Mumpung masih hangat.” Pelayan datang membawa pesanan kami. Dan dia mendorong nasi goreng yang kupesan ke arahku.
Aku pun makan dengan lahap. Di dalam hati aku berdoa, apabila suatu saat nanti rahasia ini terbongkar, semoga Della masih tetap dapat menjadi Della yang sekarang.
5 September 2006
Ulang tahun Della. Walaupun hari sekolah, aku tetap memberi kado yang kubeli pada hari Minggu itu kepada Della. Setelah memberi kado itu kepada Della, Rere berbisik padaku untuk mengikutinya ke kamar mandi.
“La, lo tau kemaren si Risma ngeliat Oci sama Gilang jalan berdua. Dan parahnya lagi si Risma udah ngasih tau itu ke Della. Gimana ini?” tanya Rere kepadaku dengan muka putus asa.
Sebelum aku sempat menjawab, pintu kamar mandi terbuka dan Melly masuk dengan muka panik.
“Kalian tau?! Si Gilang baru aja nembak Oci tadi di depan anak-anak.”
Mendengar itu, mukaku dan Rere memucat.
“Lo serius Mel?” masih tidak percaya atas informasi yang disampaikan Melly. “Lo gak lagi becanda kan?”
Melly berkata dengan muka putus asa, “Ellaaa… Gak mungkin gue becanda pas lagi kayak begini.”
Sebelum otakku dan sahabat-sahabatku itu mencerna dengan baik, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka lagi. Kali ini yang masuk Ira dengan muka yang sama pucatnya dengan kami.
“Lo, lo pada ada yang ngeliat Della gak?”
“Enggak, Ra. Emang kenapa?” ucap Melly bingung.
“Pas Della tau, Oci sama Gilang jadian, dia langsung kabur entah kemana.” ucap Ira panik.
“Gue tau dia dimana. Biar gue yang kesana.” kata Rere tiba-tiba.
“Lo yakin tau dimana Della sekarang?” tanyaku untuk memastikan.
“Seratus persen gue yakin.” tangan Rere mengepal saat dia berkata seperti itu.
“Oke.. Oke.. Gue yakin ama lo, Re”
Dan Rere pun pergi untuk menyusul Della.
Desember 2009
Sejak saat itu, Della dan Oci saling bermusuhan. Hingga akhirnya mereka mengakhiri hubungan persahabatan mereka. Mereka tidak bisa jadi seperti dulu lagi. Dan semenjak itu juga DOREMI pecah. Kuakui sampai sekarang hubunganku dengan Rere dan Melly tidak pernah terputus, karena kami masih sering pergi shopping bareng atau sekedar ke salon bareng. Sedangkan dari informasi yang kudengar, Oci pindah ke Amerika saat kuliah S1 nya disini selesai, tetapi hubungannya dengan Gilang tetap lanjut. Ira mendapat beasiswa untuk kuliah di Melbourne. Dan Della, kata Rere, dia sudah mendapatkan seseorang yang dapat mendampinginya. Dia kuliah di UI, tetapi beda jurusan denganku yang mengambil jurusan Kedokteran, sehingga aku jarang bertemu dengannya. Hubungan Rere dan Indra pun lancar-lancar saja.
Sedangkan hubunganku dengan Giri…
Kami sempat bertengkar karena perbedaan pendapat. Tapi kami balikkan lagi, karena kami berdua sama-sama tidak tahan untuk marahan lama. Setelah menyelesaikan S1 ku disini, aku pergi menyusul Giri yang sedang kuliah jurusan musik di Harvard.
Dan pada akhirnya seperti inilah DOREMI, terpecah belah. Menurut kalian, apabila kalian mendapat kejadian yang sama dengan yang dialami sahabatku, kalian akan memilih yang mana? Cinta atau Persahabatan?
Cerpen Karangan: Yuka Erawati

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen - Cause Too Much


Saatku mulai membuka mata, tanda akan memulai hal-hal baru yang tidak dapat ku ketebak. Namaku Nia Augustina Valeri. Aku melihat ke jam bekerku, “What, udah jam 6?!”, teriakku. Aku segera bergegas berlari ke wc dan mengambil seragam, dan handukku. Setelah mandi dan berseragam, aku mengambil roti dan selai strawberry. Lalu mengoleskan selai strawberry ke atas roti. Setelah itu, aku pun bergegas pergi ke sekolah menggunakan angkot.
Sekarang aku sudah memasuki kelas 7. Selama hidupku ini aku tidak pernah diantar jemput oleh orang tua ku, orang tua ku sudah meninggal sejak aku masih umur 2 tahun, mereka meninggal akibat tabrakan yang tragis, “ahhh, sudahlah lupakan saja cerita itu, aku ingin melupakannya”, bantah ku. “Tring… tring…”, aku segera berlari menuju pintu gerbang. Terlihat pak satpam segera menutup pintu gerbang, “Tunggu, tunggu pak!”, teriakku. “Akhirnya !sampai juga di sekolah, mari melakukan hal-hal yang menyenangkan”. “Nia.. Nia.., sini-sini, cepetan”. “Ada apa sih?”, tanya ku. “Untung aja kamu gak terlambat, mana papan namamu, hari ini kan kita mos?”, tanya temanku, Silvia Audrey. Aku berteriak, “Mampus gue, lupa bawa, sial banget gue hari ini, udah terlambat bangun, gak bawa papan nama lagi. Haizzz, temani gue bilang ke kakak osis, we, please”, gumam ku. “owwwhhh, baik lah”, kata Silvia.
Sampai di ruang osis aku mengatakan ke kakak osis, lalu meminta maaf ke kakak osis karena tidak membawa papan nama, tapi kakak osis itu malah menghukumku, haizzz. Kakak osis itu menyuruhku push-up 100 kali, tapi tidak apa-apa lah yang penting itu kan salahku, siapa suruh aku gak bawa ya, hahaha. Setelah kami semua mos dan minta tanda tangan dari para guru dan kakak-kakak kelas, kami semua pulang. Keesokannya, aku segera berlari ke sekolah supaya tidak terlambat lagi, mau tau kenapa? Kemarin ada pengumuman dari guru-guru, kalau terlambat masuk sekolah, harus memungut sampah, dan masuk ke buku pelanggaran. Aku sekolah karena mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Di Sd aku mendapat juara umum 1, sampai di kelas, aku termenung, tiba-tiba ada seseorang yang mengagetkan ku dari belakang. “ohhh, hebat ya Mario, suka banget sih jahilin orang!”, teriakku di kuping Mario. Mario adalah teman lamaku dari SD. “Sorry”, katanya.
Saat pulang sekolah, aku mengucapkan sayonara ke kedua temanku. Saat di jalan aku menanyakan dalam hati ku yang paling dalam, “Apakah, tiada yang mengingat hari ini hari apa?”. Hari ini adalah hari spesial ku. Saat melewati perempatan aku melihat seorang kakek-kakek tua, yang meminta sumbangan untuk cucunya yang menderita kanker ginjal. Aku turut berduka dan memeriksa kantongku, hanya ada dua ribu, lalu kusumbangkan ke kakek itu. Lalu aku berjanji kepada kakek itu, setiap kali aku mempunyai uang sisa, aku akan ke tempat itu dan menyumbangkan uang itu. Kakek itu meraih tanganku, dia bilang aku sangat mirip dengan anaknya yang sudah meninggal. Kakek itu memberikan sebuah buku untukku, yang isinya bertuliskan:
Don’t trust too much
Don’t love too much
Don’t hope too much
Cause too much can hurt you
Itu yang di katakan di buku itu.
Apakah kalian mengerti artinya?. Artinya jangan percaya terlalu banyak, jangan menyukai terlalu banyak, jangan berharap terlalu banyak, karena terlalu banyak dapat menyakitimu. Kakek itu bilang padaku supaya mengingat perkataan buku itu, karena buku itu bukan sembarang buku. Buku itu menuntunmu ke arah yang benar supaya nanti kamu tahu jalanmu. Baiklah ku bilang. Sesampai di rumah, aku membuka buku itu, itu semua tentang diary anak kakek itu. “Astaga, kasihan sekali hidup anak kakek itu”, pintah ku. Setelah membereskan barang-barangku, aku pergi untuk mandi. Setelah itu aku memakai baju ku yang di anggap orang lusuh, tapi bagiku itu adalah baju yang paling indah yang pernah ku pakai. Aku segera bertemu janji dengan Silvia, Silvia mengatakan bahwa dia punya surprise untukku. Silvia mengajakku untuk pergi ke mall, disana ia membelikanku baju untuk ultah ku, Silvia juga membeli baju untuknya, mau lihat foto saat kami memakai baju itu, ini dia cantik bukan?
Aku yang berkulit putih, sedangkan yang berkulit coklat di sampingku adalah Silvia, kami cantik bukan, setelah membeli baju dan lain-lain, tiba saatnya untukku untuk pulang ke rumah. Aku mengucapkan terima kasih kepada Silvia.
Keesokannya, para murid di sekolah dibagikan formulir untuk ikut lomba fashion show tapi yang mau ikut saja. Aku berencana untuk ikut lomba itu. Dalam hati aku mengatakan “Bagaimana ya, bajunya? oooh iya pakai saja baju yang di berikan Silvia kemarin, hahaha”. Saat istirahat aku memberikan formulirku ke ibu wali kelas ku. Setelah itu aku menemani Silvia ke kantin. Saat bunyi lonceng aku dan Silvia kembali ke kelas kami.
Saat di pertengahan belajar, ibu guru fisika mengenalkan murid baru dari Surabaya, murid baru itu sangat tampan, semua perempuan di kelas jatuh hati padanya, begitu pula aku. Nama murid baru itu adalah Daniel Trisuci. Saat istirahat kedua semua anak-anak keluar kelas, tinggal aku sendiri deh di kelas, saat itu aku sangat haus, air minum ku sudah habis, huuhhh, sebel deh. Tiba-tiba Daniel menghampiriku sambil membawa fanta untukku, tentu saja aku mengucapkan terimakasih. Daniel bertanya padaku siapa namaku, apakah aku sudah punya pacar?. Aku sambil malu-malu menjawab namaku Nia, Nia Augustina Valeri, aku belum pernah pacaran. Lalu ia menanyakan padaku maukah aku menjadi pacarnya?, dalam hati aku sangat senang sekali. Lalu aku bilang ya ke dia. Dia terlihat senang, lalu pergi meninggalkan ku dari kelas, lalu aku segera berlari pergi menemui Silvia. “Silvia, kamu tau nggak cowok baru itu, tuh, yang baru datang dari Surabaya”, tanyaku senang. Lalu Silvia mengatakan, “Ia, aku kenal kok, aku ini kan dulu sekelas sama dia, aku dulu tinggal di Surabaya, lalu pindah ke sini pada saat memasuki SMP”. Lalu aku bilang bahwa aku ditembak sama dia, lalu aku menerima permintaannya. Silvia terkejut, “Masa ia sih, kamu tau nggak dia itu playboy, dia itu memacari kamu untuk memenangi taruhan dari teman-temannya”, bentak Silvia. Aku tidak percaya pada omongannya itu, baru dia bilang, “Kamu tidak percaya? Harus aku tunjukan?”, teriaknya. Dengan kesal aku teriak ke Silvia, “Gak mungkin orang seperti dia membohongiku!!!”. Tiba-tiba ia menarik tanganku dan membawa ku pergi mengikuti langkah-langkah Daniel. Aku terkejut saat menjumpainya menemui seorang perempuan, dan memeluk Daniel. Aku sangat marah sekali, ternyata benar apa yang di bilang Silvia, Daniel itu playboy, tapi itu masih belum meyakinkan ku bahwa si Daniel taruhan untuk memacariku. Aku dan Silvia sampai bolos dari sekolah karena mengikuti Daniel. Astaga saat kami sampai di halaman rumah Daniel, olala dia diberikan uang oleh kawan-kawannya, “Aktingmu sangat bagus, Raynald”, kata temannya sambil menepuk bahu Raynald. Aku terkejut ternyata ia membohongi kami satu kelas dengan senyum palsunya itu, “Ternyata nama Daniel yang sebenarnya itu adalah Raynald, jadi dia membohongi aku”. “Sabar ya Nia, memang laki-laki itu semua BUAYA DARAT”, ucap Silvia untuk menenangkanku. “maaf ya Sil, aku tuh bego banget sampe nggak tau kalau dia membohongiku”, kataku. “Tidak apa-apa, aku juga minta maaf Nia, sebenarnya waktu aku SD di Surabaya, aku tuh sebenarnya mantan si Raynald, tanpa kusadari esok harinya dia bilang kepadaku bahwa ia ingin putus denganku”, ucap Silvia. “Ooo jadi begitu ya, ceritanya, Sebaiknya besok aku duluan yang minta putus dengannya, biar dia tau betapa sedihnya perempuan yang sudah dikhianatinya”, teriakku.
Esok harinya, aku cepat-cepat berpakaian, dan berlari menuju rumah Raynald, sampai di sana. “Ting… Tong… Ting… Tong”, bunyi bel rumahnya. “Hi, Nia”, ucapnya. Tiba-tiba tanpa sepengetahuan ku tanganku segera menampar wajah Raynald, entah mengapa itu terjadi. “Apa yang kamu lakukan? Aku tidak melukaimu dan berbuat jahat kepadamu?”, ucapnya, seperti tidak tau bahwa ia salah. Lalu aku teriak di depan wajahnya, “Kamu kira aku tidak tau, kamu ini playboy kan. Silvia sudah menceritakan semuannya ke aku”, teriakku. “Hah, Silvia? Siapa dia? apa yang diceritakannya padamu?”, katanya sambil ketakutan. “Ahhh, nggak usah banyak omong deh lu, aku dan Silvia kemarin mengintaimu, dan terbukti bahwa kamu ini taruhan dengan temanmu, dan namamu sebenarnya bukan Daniel kan, namamu itu Raynald kan!!!”, teriakku. “Nggak namaku Daniel!”, bantahnya. “Kalo kamu masih nggak mau ngaku, looh, gue End!!!”, teriakku. Lalu aku berlari meninggalkannya dan pergi ke sekolah.
Sampai di sekolah aku menangis, dan terus menangis sampai istirahat pertama. Tiba-tiba Silvia datang, “Sudahlah, Nia, aku dulu juga seperti kamu menangis terus, tapi setelah beberapa hari, kamu akan melupakannya”, ucapnya untuk menghiburku. “Thanks ya, Sil, udah mau menemaniku”, ucapku. “Gak apa-apa, kita kan BEST FRIENDS, hahahaha”, hiburnya. “Ya, kita kan kawan sejati”, kataku. Setelah beberapa hari berlalu, aku pun melupakannya, Raynald juga sudah menghilang dari hadapanku semenjak satu minggu yang lalu, akhirnya aku dapat mengulang yang baru. Hari itu dimulai ketika fashion show, awalnya sih aku takut banget, bulu ku merinding semua, tanganku mulai dingin, hatiku berdetak kencang.
Acara fashion show itu diadakan di Hotel Prawijaya, tamu-tamunya semua orang tua murid dan anggota sekolah. Nomor urutku nomor 15, aku takut banget, bagaimana kalau di tengah panggung aku terjatuh, atau melakukan gerakan yang salah. Tapi untung Silvia menyemangatiku dan mengingatkanku kalau nanti aku ketakutan dilihat sama para penonton, anggap aja itu semua muka Silvia, lalu anggap saja di panggung itu kita lagi foto-foto seperti biasa, nggak akan terjadi apa-apa disana, penonton gak bakalan makan kamu kok, ucapnya. Aku pun mulai ketawa dan mengingat-ingat kata Silvia. Tiba-tiba, “Nomor urut 15″. Karena mengingat kata-kata Silvia, aku pun dengan santai naik ke atas panggung dan berpose-pose layaknya aku berfoto-foto bersama Silvia, setelah selesai berpose-pose, para penonton bertepuk tangan. Aku pun dengan senang mengucapkan terimakasih kepada para penonton, lalu turun dari panggung dan memeluk Silvia dengan erat, “Silvia, makasih ya atas pemberian baju, kata-katamu dan tepuk tanganmu untukku”, teriakku.
Hari yang menyenangkan. Diakhir acara para juri menilai siapa yang menjadi juara pertama dan menerima uang sebesar 1 juta Rupiah. “Pemenangnnya adalah…”. “Dag.. dug.. dag.. dug.”, jantugku berdetak, berharap aku yang menjadi juara. “Pemenangnya adalah Nia, silahkan naik ke atas panggung”, aku terkejut dan segera naik keatas panggung. Keesokan harinya aku mulai menyombongkan diri karena harapanku kemarin terkabulkan, saat istirahat Silvia mengucapkan selamat kepadaku tapi aku abaikan ucapan itu. Istirahat kedua, aku berharap semua teman-teman di sekolah mengucapkan selamat ke aku, akhirnya harapanku yang itu juga di kabulkan, sampai-sampai aku menjadi terkenal di sekolah dan bergabung dengan grup yang paling terkenal di sekolah. Grup itu hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang terkenal. Tanpa kusadari aku sudah melupakan persahabatan ku dengan Silvia. Sampai akhirnya, guru-guru mengumumkan bahwa yang kemarin Nia yang memenangi acara fashion show itu bukanlah aku, yang memenangi lomba itu adalah Nia Marretalyn. Tentu saja aku malu, satu sekolah menertawakanku, sampai-sampai aku di tendang keluar dari grup terkenal itu, aku jadi yang paling terkenal di sekolah, tapi bukan karena prestasi melainkan aku paling di kenal karena kecerobohanku. Uang dan piagam kemarin segera di kembalikan kepada sang juara. Aku pun menangis dan mengingat-ingat Silvia, disaat aku sedih, aku mendatangi Silvia dan meminta nasehatnya, di saat senang aku sombong dan melupakannya. Akhirnya aku segera berlari ke ruang kelas Silvia dan meminta maaf padanya, dia bilang dia sudah memaafkanku, karena setiap orang pasti sudah pernah melakukan kesalahan. Lalu aku memeluknya dengan erat dan mengingat bahwa kami itu sahabat dan tidak akan melupakan satu sama lain.
Saat pulang aku memeriksa kantongku, tersisa seribu, aku segera berlari ke tempat kakek itu, dan memberikan uang ku untuknya. Lalu aku segera pulang dan bekerja sebagai pencuci piring di Rumah Makan Sulaiman, setelah malam tiba aku bergegas pulang ke rumah dan segera tidur. Keesokannya saat pulang sekolah beredar berita tentang penculikan anak. Aku sih biasa saja sampai aku berjumpa dengan seorang bapak-bapak yang mengatakan bahwa dia dapat panggilan untuku dari bossku, jadi aku percaya, sampai ia membawa ku ke tempat yang sepi, kata bapak-bapak itu disini telpon supaya gak berisik. Tiba-tiba bapak itu mengambil karung dan membungkusku dengannya. Aku berteriak sekuat tenaga tapi, bapak-bapak itu memplester mulutku menggunakan lakban, aku sangat ketakutan, dalam hati aku berdoa kepada TUHAN YANG MAHA ESA, “Tuhanku, berikanlah aku kekuatan agar bisa tetap bertahan, dan bantulah aku dari segala cobaan, bawakanlah seorang malaikat yang akan menyelamatkanku, Amin”. Tiba-tiba mobil penculik itu berhenti dan tiba-tiba seseorang menurunkanku dari mobil pencuri itu, tenyata ada seseorang yang menelepon polisi, tapi siapa? Sampai esoknya aku pun belum tau siapakah orang yang telah menyelamatkanku, saat di sekolah, Mario bertanya padaku, apakah aku baik-baik saja?. Aku mulai heran apakah dia yang menyelamatkanku semalam?, jadi aku menanyakan hal itu ke dia, ternyata benar orang itu adalah dia. Mario bilang bahwa seperti Tuhan YANG MAHA ESA yang memberitahukannya, bahwa ia harus mengikuti Nia, ternyata benar dugaan Mario, ada sesuatu yang terjadi denganku. Aku pun mengucapkan seribu terima kasih kepada Mario, aku berjanji kepada nya bahwa aku akan berhati-hati ketika akan pulang dari sekolah. Saat pelajaran selesai, saatnya pulang, aku memeriksa kocetku ternyata ada uang lima ribu, aku segera pergi ke tempat nya kakek itu, saat sampai di sana aku tidak sama sekali melihat kakek itu, aku heran dan bertanya pada diriku sendiri, kemana kakek itu pergi. Aku berlari ke semua tempat dan tidak menemukan kakek itu dimana-mana, sampai aku kembali ke tempat kakek itu dan terdapat pesan di atas kardus tempat kakek itu duduk meminta sumbangan, bertuliskan:
“Ternyata selama ini buku itu sudah menunjukkan apa yang akan terjadi, kakek.. kakek.. terima kasih ya atas semuanya yang telah kakek berikan”, setelah semua itu aku pun pulang ke rumah dan bekerja dengan giat. “oh iya terima kasih juga kepada Tuhan yang maha esa, ternyata Tuhan sudah memberikan malaikat untuk membantuku, yaitu sahabatku Silvia, Mario, dan kakek. Terima kasih, ya Tuhan Terimakasih. Keesokan harinya Mario datang ke kelas ku dan bilang, “Nia, aku tau kita sekedar teman biasa, cuman aku ingin hubungan kita lebih dari sekedar teman, kamu mau jadi pacarku?”. Aku pun terkejut, “Maa.. Maariioo, apakah kamu serius, kamu tidak sedang lagi taruhan kan?”, tanya ku serius. “Tidak, aku suka sama kamu sejak awal bertemu, aku tidak pernah seserius ini”, kata Mario. Tiba-tiba Silvia datang, lalu bertepuk tangan sambil berteriak, “Terima, terima, terima… terima”, teriak Silvia. Dalam hati aku bertanya, “Bagaimana Silvia tau bahwa Mario sedang menembakku?”. Silvia tiba-tiba bilang, “Mau tau aku tau dari mana Mario nembak kamu? Mario sebenarnya sudah bilang itu sejak awal. Tapi dia takut bilang ke kamu, Jadi dia tunggu saat yang tepat, akhirnya dia bilang juga. Dalam hati, aku seneng banget di tembak Mario, ternyata dia orang yang pantas buatku. “Ya, aku mau kok jadi pacar kamu”. Silvia bilang, “Kita akan selalu bersama selamanya”. Ooo iya dan ingat
CAUSE TOO MUCH CAN HURT YOU…
Good Bye… Seeyou… :)
THANK YOU
Cerpen Karangan: Natasya Des Tang

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen - You


“Jen, dia masih ada nggak?” tanyaku pada teman sebangkuku yang sedang asyik menyisir rambut.
“Masih,” jawabnya sambil menyibakkan poninya.
“Dia ngapain, Jen?” tanyaku lagi penasaran.
“Aduh, gue nggak tau, Cat. Udah lu lihat sendiri aja, daripada penasaran kayak gini,” sarannya.
Aku hanya terdiam. Aku tak berani menolehkan kepalaku ke area belakang kelas yang biasa jadi tempat tongkrongan “dia” dengan beberapa teman sekelasku.
“Ya udah ntar lo tanya aja ke Indri. Dia kan duduk di belakang pasti tau lah kalau si Bagas ngapain aja,” lanjutnya sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Eh, lo mau kemana?”
“Biasa, ke WC. Mau ikut?” tawarnya.
“Mau dong,” aku berdiri dari tempat dudukku dan langsung menyusul Jenny. Ku beranikan diri menoleh ke arah “dia” yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Seulas senyum tergambar di wajahku.
“Kenapa lo, Cat, senyum-senyum aja?” tanya Putri, temanku, setibanya kami di WC. Tepatnya, di kaca WC.
“Hah? Nggak pa-pa,” jawabku gelagapan.
“Biasa, Put, masih terpesona sama Bagas,” sahut Jenny yang baru saja keluar dari WC.
“Ssst! Aduh lo kalau ngomong pelanan dikit dong,” pintaku sambil meletakkan telunjuk di bibirku dan memandang ke sekeliling.
“Hah? Lo masih suka, Cat, sama dia? Katanya udah move on?” Putri memandangku heran.
“Dia lagi move on, gaya doang, Put, padahal mah nggak bisa tuh. Hahahaha…” ledek Jenny.
Aku hanya meringis meratapi kenyataan bahwa aku belum bisa move on dari Bagas, anak kelas sebelah.
“Ck..ck..ck.. Gue kira lo udah bisa move on, habis lo udah nggak bahas dia lagi dan kayaknya lo fine-fine aja liat dia mesra-mesraan sama ceweknya,” ujar Putri panjang lebar.
“Kan kayaknya, Put, padahal? Dia setiap hari ngomongin Bagas mulu. Sampe bosen gue dengernya,” kata Jenny sambil mematut dirinya pada cermin.
“Udah ah, nggak usah bahas dia deh, jadi males kan,” aku berjalan meninggalkan mereka. Aku sudah mulai badmood kalau membahas Bagas dengan ceweknya.
“Males apa galau?” goda Jenny diiringi cekikikan Putri.
“Tahu ah,” kataku cemberut.
Aku membanting diriku ke tempat tidurku. Rasa lelah bercampur emosi menjadi satu. Bagaimana tidak emosi, aku melihat dengan jelas gadis itu naik ke motornya Bagas. Aku yang melihatnya langsung berlari secepat mungkin tanpa menghiraukan teriakan Putri yang memanggilku. Satu yang terlintas di pikiranku adalah aku ingin hilang dari tempat ini. Kini, air mataku tak kuasa lagi aku bendung kala mengingat hal tadi. Sudah cukup bagiku melihat dia kini berstatus pacar orang. Aku menangis terus sampai aku terbawa dalam alam mimpi.
Bangun tidur aku merasakan kepalaku berat sekali. Aku mengambil handphoneku untuk mengecek jam berapa sekarang. 18.50. Sudah hampir malam. Aku melihat diriku masih mengenakan seragam lengkap dengan kaos kaki. Tas sekolah beserta beberapa buku yang biasa kubawa ke sekolah, berserakan di lantai. Dengan cepat aku membereskannya sebelum aku dimarahi oleh orang tuaku.
Setelah mandi dan makan, aku kembali ke kamarku. Seketika seperti sengatan halus namun dalam merasuki tubuhku. Dengan cepat, kenangan indah bercampur pahit bermain di depanku. Saat aku mengenal Bagas. Kami bercanda ria di dalam sebuah bus yang membawaku beserta teman-temanku pergi ke suatu tempat. Saat aku melihat dia dari jauh. Saat aku berhubungan dengannya melalui sebuah pesan singkat. Saat dirinya memanggilku dengan sebutan yang sangat amat kurindukan saat ini. Namun, dengan cepat pula berganti menjadi kenangan pahit saat aku mengetahui hatinya tertuju kepada siapa. Saat aku harus menerima kenyataan bahwa dirinya menyukai temanku sendiri. Saat aku lost contact sekian lamanya. Saat aku harus mendengar dirinya telah menjadi milik temanku. Untuk kesekian kalinya, air mataku turun.
Aku tidak tahan untuk tidak menyimpan cerita ini sendiri. Maka aku menceritakan hal ini kepada Jenny, sahabat baikku.
“Gue nggak bisa move on, Jen,” ucapku lirih.
“Bukan nggak bisa tapi belum, Cat,” katanya lembut. “Iya mungkin lu emang belum bisa buat lupain dia,”
“Gue nggak tahan, Jen, lihat dia sama tuh cewek,”
“Iya gue ngerti ko, Cat, tapi semua itu butuh proses. Ada kalanya kita mencintai seseorang yang emang nggak cinta sama kita. Remember, milikilah hati yang tulus untuk dapat mencintai yang tak bisa mencintai,”
“Tapi gue rasa pasti nggak susah kok buat lupain dia,” sambungnya sambil tersenyum.
“Apa? Cari yang baru? Nggak ah, nggak minat. Hati gue masih di Bagas,” kataku ogah-ogahan.
“Hahaha… Ya udah lah Cat, pokoknya kita kan masih 16 tahun. Masih labil. Jadi kita nggak tau kan perasaan kita ntarnya gimana. Jadi jalanin aja. Nggak selamanya dunia itu berpihak pada kita. Anggap ini pembelajaran buat kita menjadi dewasa,” ucap Jenny bijak.
Aku tersenyum malu. Benar juga ucapan Jenny. Aku masih muda. Masih banyak yang harus aku kerjakan selain memikirkan orang yang tidak memikirkan kita. Yang terpenting juga adalah jika kita mencintai seseorang, kebahagiaannya adalah segalanya untuk kita walau Ia bahagia bukan bersama kita.
Cerpen Karangan: Katharina Retni

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen - Datang Dan Kembali


“Huaaah…” rasa ngantukku kalah dengan semangatnya hari ini.
Namaku Reina. Hari ini adalah hari pertamaku masuk ke dunia SMA. Rasanya benar-benar nggak sabar. Ingin sekali merasakan SMA tuh seperti apa sih. Dan hari ini, aku siap untuk menjalani hari-hari baruku.
Aku mematut diri di depan cermin di kamarku, berharap tidak akan ada kesalahan yang membuatku terhukum hari ini. Untung saja sekolah baruku tidak mensyaratkan hal aneh untuk kupakai saat MOS. Hanya kemeja putih, rok hitam pendek, kaos kaki sebetis dan sepatu kets.
“Kkrrriiinggg…” bel sekolahku berbunyi. Para anak baru berpakaian putih-hitam pun bergegas menuju lapangan untuk upacara. Dalam waktu sekejap, lapangan sudah dipenuhi lautan anak baru berpakaian putih-hitam.
Saat aku menuruni tangga bergegas turun ke lapangan, aku menabrak seniorku. Kami bertatap sejenak lalu aku langsung menunduk malu.
“Maaf kak, saya salah. Saya buru-buru, jadi nggak ngeliat jalan.” kataku sambil menunduk.
“Haha iya gak papa kok. Saya juga salah gak menghindari kamu. Langsung ke lapangan, gih.” katanya.
Aku tertegun melihat wajahnya. Saat tersadar aku langsung menjawab, “Iya, kak.” kataku sambil menuju ke lapangan.
Selama upacara aku tidak konsen mendengarkan amanat pembina karena terbayang seniorku tadi. Aku berharap sekali bisa bertemu dia lagi. Dan tak terasa juga akhirnya upacara selesai. Semua anak-anak MOS segera memasuki ruang kelas yang sudah dibagi oleh anggota OSIS sekolahku dan 1 ruangan kelas itu akan menjadi 1 kelompok selama MOS. Aku mendapat kelas X-E dan langsung mendapat teman baru. Namanya Nisa. Dan aku berharap kita bisa menjadi teman baik.
Setiap kelas mendapat 1 mentor untuk membimbing kami selama mengikuti MOS 3 hari. Aku dan Nisa mengintip ke 2 ruangan sebelah kanan kiri kami. “Semuanya udah dimasukin mentor, kenapa ruangan gue belum ya?” pikirku.
“Nis, mentor kelas kita kok belum ada ya?” tanyaku kepada Nisa.
“Kayaknya telat deh, Rei. Aduh bisa ketinggalan informasi deh kita.”
Tidak lama kemudian, terlihat sesosok laki-laki berjalan ke arah kelasku. “Itu kan… Demi apa… Jangan bilang dia mentor gue..” gumamku melihat lelaki yang berjalan ke arah kelasku.
“Drrkk..” suara pintu terbuka. Dan aku hanya bisa tersenyum memandang wajahnya.
“Kenapa, Rei?” Nisa bertanya heran sambil mengernyitkan dahi.
“Hmmm. Gak papa, Nis hehe gak papa.” kataku sambil memalingkan muka, malu karena terlihat senyum-senyum sendiri.
“Oke, guys. Gue Rian, gue senior kalian yang ditugasin buat jadi mentor di kelompok ini. Gue 11 IPS A dan kalian bisa manggil gue ‘Kak Rian’. Terserah kalian mau manggil apa, tapi tetep sopan ya. Oh iya, maaf ya telat, soalnya ada barang yang ketinggalan di rumah jadi terpaksa pulang dulu.” jelasnya panjang lebar.
“Iya, Kaaaa Riaaan.” kata anak-anak perempuan kelasku serempak.
“Genit.” gerutuku. Dan setelah beberapa saat menangkap semua apa yang dia bicarakan, aku baru mendapat kesimpulan kalau ternyata dia adalah mentor kelompokku.
Rian. Dia adalah mentor kelompokku. Tampan, aktif, easy-going, asik, gak sombong, ya… baik. Dia salah satu anggota basket di sekolahku. Posturnya tinggi atletis. Benar-benar idaman kaum hawa di sini, deh. Pertama kali aku bertemu dengannya saat hendak menuju lapangan untuk upacara. Aku tidak sengaja menabraknya dan… Yah, seperti itulah.
Saat Rian sedang membagikan form di deretan mejaku, mataku bertemu pandang dengannya sejenak. Lalu dia menyapa, “Eh, kamu yang nabrak saya tadi pagi kan? Haha.”
Malu. Aku hanya bisa nunduk dengan muka merah padam sambil berkata, “Iii… iya, kak. Maaf kak saya bener-bener gak sengaja.”
“Hahaha kamu lucu. Gak papa kok, selow aja lagi.”
Lucu? Gak tau harus berekspresi gimana… Malu karena dia bicara dengan suara yang mungkin agak sedikit keras, dan malu karena dia memujiku. Oke, mungkin bukan malu. Senang? Hmmm…
Dia tersenyum melihat ekspresiku. Ya, tersenyum. Entah ini cuma perasaanku saja, atau memang benar pandangan dia berbeda kepadaku. “Dag…dig…dug…” aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku. Apa ya?
Tidak terasa 3 hari MOS sudah kulewati dengan lancar. Seiring waktu, Rian bisa berbaur dengan kelasku. Terlebih, kami berdua bisa akrab. Entah gimana caranya. Tapi dia mulai mengirimkan SMS untukku. Yang tadinya hanya sekedar jarkoman mentor ke menti, sampai ngobrol tentang banyak hal. Dia sudah mulai sering menanyakan aku sedang apa, mengingatkan untuk shalat, mengingatkan untuk makan, dan mengingatkan hal-hal kecil lainnya. Dia memang laki-laki yang baik dan perhatian. Apa aku suka padanya? Sejak kapan?
“Kkkrrkkk…” tiba-tiba Bunda membuka pintu kamarku dan membuyarkan lamunanku. “Reina..” panggilnya.
“Iya, Bun?”
“Lagi apa, hayoo? Kayaknya kaget gitu Bunda masuk.”
“Hehe, gak papa Bun, ada apa?”
“Enggak, lagi iseng aja. Makanya Bunda ke sini. Sekalian mau denger cerita kamu, ah.”
“Cerita apa, Buuun?”
“Cerita kesan awal kamu masuk SMA dong, Sayang..”
“Hmmm, gak ada yang spesial, Bun. Biasa-biasa aja. Em… tapi Bun, Reina lagi deket sama senior Reina. Gak tau sih Bun, ini deket sebagai apa, tapi dia perhatian banget sama Reina.”
“Anak Bunda sudah besar ya ternyata.” ledek Bunda kepadaku. Malu, sih. Tapi mau gimana lagi. Lalu Bunda melanjutkan, “Mungkin itu tanda rasa sayang senior Reina ke Reina. Reina kapan kenal senior Reina itu?”
“Dia mentor Reina waktu MOS itu, Bun.”
Dan cerita pun berlanjut hingga larut. Memang tenang rasanya kalau sudah cerita sama Bunda. Rasanya setiap masalah pasti akan selesai karena saran Bunda.
Kami semakin dekat, dekat sekali. Rasa sayang pun muncul dengan sendirinya seiring waktu yang sudah kita lewati bersama. Dia mengantarku pulang setiap hari, dan kadang dia main di rumahku. Tapi status kami masih belum jelas. Aku juga tidak tahu gimana perasaan dia yang sebenarnya kepadaku. Sampai suatu ketika dia bilang sayang kepadaku, lalu aku bertanya, “Sayang sebagai apa, Yan? Sebagai adik kecil yang ngangenin ya? Hahaha.” tanyaku yang tentu saja dengan nada bercanda.
“Iya, Rei. Kamu udah aku anggep kayak adik kecilku sendiri yang harus aku jagain terus.” katanya sambil mengacak-acak rambutku.
‘Adik’ ya, ‘adik’. Udah jelas sekarang semuanya. Dia hanya menganggapku sebagai adik kecilnya yang harus dia lindungi. Nggak lebih.
Mulai saat itu, kami menjauh. Entah dia yang mulai menjauh duluan, atau aku yang mulai menjauh duluan. Pokoknya kami menjadi jauh. Awalnya aku masih menghubunginya, sesekali menanyakan kabar sekedar basa-basi dan mencoba mencairkan juga membalikkan suasana seperti dulu. Tapi gak bisa. Kita sudah benar-benar jauh. Dan aku katakan padanya kalau aku sedih dengan keadaan seperti ini. Tapi nggak ada respon dari dia.
Sampai akhirnya aku dekat dengan seorang teman laki-laki. Namanya Rendy. Dia teman sekelasku. Dia juga anggota basket di sekolahku, sama seperti Rian. Dia baik, perhatian, dan lama-lama dia juga menunjukkan rasanya padaku. Walaupun dia tidak terus terang. Tapi rasanya aneh kalau gak ada rasa apa-apa. Dia terus menunjukkan perhatiannya padaku. Ya, realistis sih perempuan ga akan bisa nolak kalau dikasih perhatian terus-menerus, kan?
“Rei, gue anter pulang ya? Sekalian ada yang mau gue omongin sama lo.” hari ini tiba-tiba saja Rendy ingin mengantarku pulang dan ingin mengatakan sesuatu kepadaku.
“Oh iya, Ren. Mau ngomong apa emang?” tanyaku penasaran.
“Nanti aja, Rei. Gue tunggu di parkiran, ya?”
“Oke.” jawabku singkat, mengiyakan. Aku jadi penasaran sendiri apa yang mau dia katakan.
“Gue sayang sama lo, Rei.” katanya tiba-tiba sambil menggenggam tanganku.
“Apa?” jawabku kaget. Sangat kaget. Karena tidak menyangka dia akan mengatakan hal ini secepat ini.
“Iya, gue sayang sama lo, Rei. Gue gak tau gimana cara mengungkapkan yang baik. Gue cuma mau lo tau gimana sayangnya gue ke elo. Gue berharap lo bisa kasih gue kesempatan buat buktiin seberapa sayangnya gue ke elo.” jelasnya.
“Ren.. Kenapa bisa?”
“Gue gak tau mulai kapan gue ngerasain ini, Rei. Tapi yang jelas, sejak pertama kali kita deket, gue ngerasa gue harus ngejagain lo. Reina Azzahra, mau kan jadi pacar gue?”
Speechless. Aku benar-benar gatau apa yang harus aku lakuin. Di sisi lain, aku masih ada perasan sama Rian walau hanya sedikit. Tapi di sisi yang lainnya, aku juga merasa aman dan nyaman di dekat Rendy. Aku berpikir dan memantapkan hatiku. Dan akhirnya…
“Ya, Ren. Gue mau.”
“Apa, Rei?” tanyanya tidak percaya.
“Gue mau jadi pacar lo. Kurang jelas, nih?”
Dan Rendy langsung memelukku sejenak tanda kegembiraan, lalu langsung melepaskannya. “Sorry Rei, gue seneng banget. Gue gak tau harus ekspresiin lewat apa. Janji, gue akan berusaha buat gak nyakitin lo.”
“Janjinya gue pegang, ya?” kataku menggodanya.
“Gue sayang lo, Rei.” katanya sebelum bergegas pulang. Dan aku hanya bisa mengangkat jempolku menandakan aku menerima pernyataannya.
Tak terasa sudah 1 tahun aku menjalani hubungan dengan Rendy. Dia laki-laki yang luar biasa. Dia bisa mengerti setiap keadaan yang aku alami. Dia laki-laki yang memiliki pengertian yang juara terhadapku. Dia juga laki-laki yang tau dan bisa menerima sifatku yang paling jelek. Dia pernah bilang, “Kalo aku gak sayang sama kekurangan kamu, aku bakal banyak ngatur kamu, Rei. Aku suka diri kamu apa adanya.” Dan itu yang selalu aku ingat. Dia adalah teman laki-laki paling dewasa yang pernah aku temui.
Tapi pada suatu hari, Rian datang kembali ke kehidupanku. Kami tidak sengaja bertemu di kantin saat aku menunggu untuk dijemput, karena kebetulan tidak pulang bersama Rendy. Dia menyapa dan menanyakan kabarku, lalu duduk di sebelahku. Entah apa maksudnya. Aku hanya berpikir, “Ah.. mungkin cuma mau basa-basi.” pikirku sekenanya. Aku meresponnya. Merespon obrolan basa basi itu dengan rasa sedikit senang, karena dalam hatiku yang paling kecil, aku merindukannya. Merindukan obrolan-obrolan kecil seperti ini. Merindukan sosok ‘kakak’ dalam dirinya terhadapku. Dan seketika aku kembali mengingat masa-masa dulu. Masa-masa dimana kami dekat sekali.
“Hai, Rei. Belum pulang?” sapanya.
“Belum, Yan. Belum dijemput.” balasku sambil tersenyum.
“Gak pulang bareng Rendy?”
Dan kami terus membicarakan hal basa-basi sampai akhirnya dia berkata, “Aku kangen kamu, Rei.”
Dug… dug.. tiba-tiba jantungku terasa berdetak lebih cepat. Dan respon yang bisa kuutarakan hanyalah, “Haha, becanda ya. Tapi emang sih kita udah lama ga ketemu. Aku juga kangen sama kamu.”
“Coba kamu dengerin lagu ini..” katanya sambil memberikan headsetnya padaku.
“Lagu apa, Yan?”
“If You’re Not The One.”
“Loh? Kamu nyuruh aku dengerin ini? Kenapa?”
“Iya Rei. Aku Cuma mau jelasin sesuatu lewat lagu ini.” seketika dia menggenggam tanganku. “Rei, aku tau aku sama sekali gak berhak buat begini ke kamu sekarang karena kamu udah milik orang lain. Aku juga gak punya maksud apa-apa selain ingin kamu tau yang sebenarnya soal aku, soal kita.”
“Soal kita?” tanyaku tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti lalu aku langsung melepas genggamannya.
“Soal kita dulu. Ada sesuatu yang belum kamu tau. Aku tau pasti banyak pertanyaan di otak kamu soal kedekatan kita dulu, dan soal kenapa kita menjadi jauh kan?”
Lalu ekspresiku langsung berubah. “Iya, Yan.” jawabku singkat dengan rasa penasaran.
“Aku tau aku terlambat buat bilang ini sekarang. Tapi mungkin ini udah gak berarti lagi buat kamu makanya aku coba jelasin semuanya sekarang. Dulu, waktu kita deket, aku beneran suka sama kamu, Rei. Kita deket dan lama-lama aku jadi sayang sama kamu. Tapi aku gak yakin kamu ngerasain hal yang sama ke aku. Aku sadar kamu nunjukin perhatian lebih ke aku, tapi dulu aku pikir kamu cuma nganggep aku sebagai ‘kakak’ kamu.”
“Aku nyoba buat menghindar dari kamu, tapi gak bisa, Rei. Aku terlalu sayang sama kamu. Saat kamu nanya aku sayang kamu sebagai apa, aku gak ngerti harus jawab apa. Dan saat kamu bilang ‘sebagai adik ya’, aku cuma bisa mengiyakan. Karena kalau aku bilang enggak, berarti aku membohongi kamu dan diriku sendiri. Sedangkan aku belum ada keberanian untuk ngomong sejujurnya ke kamu, Rei.” jelasnya panjang lebar.
Aku hanya bisa menatapnya dan menunduk sesekali. Aku kaget dia langsung bicara seperti itu. Jauh dari yang kuduga. Lalu tiba-tiba dadaku terasa sesak. Entah apa yang aku rasakan.
“Dan untuk yang terakhir kali aku nyoba buat menghindari kamu setelah percakapan itu, karena aku ngerasa cupu banget gak bisa nyatain yang sebenernya. Tapi kamu terus nyoba buat hubungin aku, masih tetap ngingetin aku hal-hal kecil. Sampai kamu bilang kamu sedih dengan keadaan kita saat itu, disitu aku bisa ngerasain perasaan kamu, Rei. Gak tau darimana asalnya, pokoknya aku bisa ngerasain kamu sayang sama aku.”
Aku masih terdiam kaget mendengar pernyataannya. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Aku sengaja tetap menjauh dari kamu karena aku lagi ngerencanain kapan aku ngomong terus terang sama kamu soal perasaanku, supaya waktu ngomong perasaanku ke kamu jadi semacam surprise. Saat aku udah memantapkan kapan aku akan ngomong sama kamu, temenku ngasih kabar kalau kamu udah jadian sama Rendy. Kaget Rei. Sama sekali gak ada di bayangan aku kalau kamu bakal jadian sama dia. Dan yah, ternyata hari itu emang ada surprise, bukan dari aku ke kamu, tapi sebaliknya.” lanjutnya.
Aku menangis. Ya, aku menangis di depan dia. Air mata yang tak dapat ku bendung, jatuh membasahi pipiku. Aku menangis mendengar semua pernyataannya. “Kenapa harus menangis? Apa aku menyesali itu? Apa yang aku sesalkan? Tidak peka terhadap perasaannya, atau aku menyesal telah jadian dengan orang lain? Apa maksud dia menjelaskan ini semua?” beribu-ribu pertanyaan menghampiri otakku. Dan tidak ada satupun dapat menenangkan. Aku bingung apa yang harus aku lakukan.
“Rei,” diraihnya pipiku oleh kedua tangannya dan menghapus air mataku. “Kamu kenapa?”
Aku menepis tangannya lalu berdiri dari posisi dudukku, “Kenapa baru bilang, Yan? Kamu anggep apa perasaanku? Kamu pikir perasaanku udah ilang gitu aja ke kamu? Enggak, Yan, enggak! Dari dulu aku mikir kamu yang udah jahat sama aku. Kamu yang gak peka, kamu gak respon apa-apa. Dan kamu ngebiarin aku mikir kayak gitu? Aku punya hati, Yan, aku punya perasaan!”
Rian pun terbangun dari duduknya dan menjatuhkanku ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkanku dari tangisanku. Aku mencoba melepaskan tapi tidak bisa. Tenaganya jauh lebih besar dariku. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dalam peluknya. Lalu dia berkata, “Maafin aku, Rei. Semuanya salahku dari awal. Harusnya aku gak usah sok-sok menjauh dari kamu. Dan harusnya aku gak lakuin ini sekarang dan buat kamu nangis. Sakit liat kamu begini, Rei.”
“Sakit, Yan. Sakit menghadapi kenyataan kamu dulu. Sakit menghadapi kenyataan kamu sekarang. Sakit menghadapi kamu. Maafin aku, Yan.” jawabku dalam pelukannya.
Rian melepaskanku dalam peluknya lalu mengajakku pulang bersamanya. Tapi aku menolak. Aku butuh waktu untuk menerima semuanya. Aku langsung pergi meninggalkan Rian. Entah sudah dijemput atau belum, yang penting aku jauh dari dia.
Sesampainya aku di rumah, aku benar-benar bingung. Rasanya sakit sekali dihadapkan dengan kenyataan seperti ini. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku milik orang lain sekarang. Tapi disisi lain aku tidak bisa menyangkal kalau aku masih sayang padanya. Hal ini terus mengganggu pikiranku. Aku nggak tahu harus bersikap gimana ke Rian dan Rendy. Rasanya benar-benar butuh waktu sendiri.
Aku memikirkan Rendy. Gimana kalau dia tahu soal ini? Aku sudah benar-benar jahat padanya. Aku tidak membalas perasaannya sebesar rasa sayangnya padaku. Aku marah. Tapi tidak tahu harus marah pada siapa. Rendy nggak seharusnya dapat balasan seperti ini dariku.
“Rei?” chat Rendy membuyarkan lamunanku.
“Kenapa, Ren.” jawabku datar, tanpa ekspresi.
“Kamu kenapa? Chatnya beda.” tanyanya heran karena nada chatku tidak seperti biasanya.
“Gak papa.” jawabku singkat.
“Serius, Rei. Kamu berubah. Aku khawatir sama kamu.”
“Aku mau sendiri, Ren.”
“Kenapa?”
“Gak papa.”
“Cerita, Rei, kamu kenapa. Biar aku bisa ngerti.”
“Dibilang aku butuh waktu sendiri. Aku pasti cerita tapi gak sekarang.”
“Ya udah, kamu maunya apa?”
Saat membaca isi chat itu, aku tidak memikirkan hal lain. Perasaanku campur aduk. Rasa bersalah, sedih, kecewa, bimbang, penyesalan, marah tapi tidak tahu harus marah pada siapa.
“Aku mau putus.” jawabku setelah beberapa saat. Singkat dan cukup jelas. Lalu setalah beberapa saat, tiba-tiba dia sudah berada di depan rumahku. Menemuiku dan menanyakan semua hal yang belum dia mengerti. Dan aku bilang padanya, “Aku bakal cerita kalau aku udah tenang. Kamu sabar aja. Tapi buat sekarang aku bener-bener mau pisah dari kamu.”
“Aku buat salah apa, Rei? Aku sayang banget sama kamu.”
“Aku cuma butuh waktu buat sendiri, Ren. Makasih atas semuanya. Makasih udah mau ngerti keadaanku.” dan aku langsung membalikan badan, tapi dihalangi olehnya.
“Izinin aku meluk kamu buat yang terakhir kalinya, Rei.”
Aku mengiyakan. Dia memelukku untuk terakhir kalinya. Lumayan lama, aku segera melepaskannya dan masuk ke dalam kamarku. Aku menangis sejadinya. Kesal, menyesali, kenapa kejadian seperti ini harus terjadi di hidupku. Aku benar-benar merasa sendiri sekarang.
Hari ini hari senin. Waktunya sekolah dan itu menandakan aku harus bertemu dengan Rian dan Rendy. Ya Tuhan.. Aku benar-benar tidak ingin bertemu mereka. Semoga saja aku diberi kekuatan kalau aku sampai bertemu mereka.
Saat aku berjalan di lorong sekolahku, aku berpapasan dengan Rian. Kami bertemu pandang sejenak, lalu aku langsung memalingkan wajah. Sakit sekali melihatnya. Dan aku tidak ingin dia melihatku menangis lagi karenanya.
Lalu saat aku ingin menaiki tangga menuju kelasku. Aku berpapasan dengan Rendy. Dan seketika rasa bersalah muncul di benakku. Aku langsung lari menghindarinya.
Aku masuk ruang kelas dengan tidak bersemangat. Aku masih tidak percaya mengenai kehidupanku. Nisa yang melihat keadaanku langsung menghampiriku dan menanyakan kabarku.
“Rei? Ya ampun, lo kenapa?” tanya nya kaget.
“Gak papa, Nis.” jawabku untuk menahan air mataku. Karena kalau aku berbicara banyak, air mataku pasti akan tumpah.
“Jangan boong, Rei. Gue kenal lo bukan dari kemarin.”
Aku tidak bisa menahan. Tadinya aku berusaha untuk menyimpan masalahku sendirian. Tapi tidak bisa. Ya, karena aku memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari Nisa. Sampai akhirnya aku menangis sejadinya. Aku menceritakan semua yang aku alami beberapa hari lalu dengan Rian dan juga Rendy.
Nisa memelukku dan mencoba menenangkanku. “Lo gak salah, Rei. Wajar kalo lo minta waktu. Gue tau ini gak mudah kan buat lo, meskipun gue belom pernah ngerasain ini. Tapi percaya sama gue, Rei, everything will be okay soon. Sekarang lo boleh nangis. Puas-puasin aja, Rei. Tapi janji abis ini jangan nangis lagi ya.” katanya, masih dengan terus memelukku.
Mereka kembali. Rian dan Rendy. Mereka kembali mencoba untuk masuk ke dalam hidupku lagi. Rian yang berusaha untuk memperbaiki masa lalu kami, dan Rendy yang berusaha untuk memperbaiki hubungan kami. Dan aku sadar kalau aku masih menyayangi keduanya.
Rian sangat perhatian padaku. Membuatku seolah-olah wanita paling beruntung. Tetapi selama kedekatan kami kali ini, aku tidak merasakan hal senyaman dulu. Sebelum dia menjauh dariku. Yang aku rasakan hanyalah, ada batas di antara kita. Entah apa.
Rendy juga melakukan hal yang sama. Nggak ada yang berubah sejak kita berpisah. Dia juga sangat perhatian padaku. Dan aku masih tetap merasa beruntung pernah mengenal dan masuk dalam hidupnya.
Masa sulit saat Rian menyatakan semua perasaannya dan saat aku pisah dengan Rendy sudah hampir kulewati seiring berjalannya waktu. Tapi kini datang masalah lain disaat 2 orang yang aku sayangi, menyayangiku juga dan keduanya mengharap lebih. Kebimbanganku muncul. Dimana aku kembali tidak tahu harus berbuat apa. Tapi lambat laun, aku menyadari perbedaan perasaanku kepada keduanya.
Aku cerita kepada Nisa soal tentang apa yang sedang aku pikirkan jika aku lebih dekat dengan Rian atau Rendy. “Jadi gue harus gimana, Nis?” tanyaku.
“Lo harus milih, Rei. Lo gak bisa mau milikin keduanya. Hidup itu kan pilihan. Kalo lo mau lebih deket sama Rian, lupain Rendy. Jauhin dia. Tapi kalo lo ngerasa lebih nyaman sama Rendy, jauhin Rian. Jangan bikin dia berharap sama kedekatan kalian sekarang. Lo tau mana yang terbaik buat lo, tapi lo takut buat melangkah. Yakin, Rei.”
Tiba-tiba air mataku sudah menggenang di pelipis mataku. “Gue gak bisa, Nis. Mereka baik banget sama gue. Gue ga bisa tegas sama mereka. Rian mau UN, Nis. Gue takut banget gue ganggu konsentrasinya dia. Tapi gue gak bisa ngejauhin Rendy gitu aja. Dia baik banget sama gue, Nis. Dia nunjukin rasa sayangnya ke gue yang mungkin ga bisa gue dapetin dari orang lain.”
Setelah pembicaraan itu, aku banyak berpikir mengenai ini. Nisa juga bilang lebih baik sakit sekarang daripada sakit belakangan. Dan akhirnya aku memutuskan untuk bilang pada Rian yang sebenarnya. Karena ternyata aku masih sangat menyayangi Rendy.
Aku bertemu dengannya di suatu tempat. “Ada yang mau aku omongin, Yan.” kataku memulai percakapan.
“Apa, Rei?”
“Yan, aku gak bisa gini terus. Aku gak mau dibilang mainin kamu ataupun Rendy. Aku gak mau ngasih kamu harapan apa-apa karena aku gak tau apa yang akan terjadi nanti. Aku gak bisa bohongin perasaan aku, Yan. Aku kehilangan Rendy. Bukan maksud aku bilang kalo aku putus gara-gara kamu, aku cuma mau utarain apa yang aku rasain. Aku sayang sama kamu sebagai kakak ku, Yan. Hatiku kebagi, tapi akhirnya kita harus memilih, kan?”
Terlihat ekspresi kaget dari wajahnya. Aku tahu pasti sakit mendengar kalimat seperti itu dari orang yang kita sayangi. Makanya, sebisa mungkin aku menjaga kalimat-kalimatku. Dan dia berkata, “Kamu masih sayang sama dia? Iya, Rei, gak apa-apa. Aku gak bisa maksa kamu. Maafin aku kalo aku udah ganggu kamu. Aku cuma mau kamu tau kalo cuma kamu orang yang bakal aku sayang.”
“Yan, sadar ga sih kamu tuh masih terlalu muda banget buat berkomitmen kayak gitu? Mending kamu tarik komitmennya. Lupain aku. Kamu gak akan tau apa yang akan terjadi kedepan. Aku ga mau kamu nungguin aku yang gak bisa janjiin apa-apa, Yan..”
“Aku akan lakukan apapun, Rei. Tapi kalo pikiran dan hati aku belum bisa terlepas dari kamu, ya aku ga tau. Logika dan hati ga bisa sejalan, Rei. Logika aku dari dulu udah nyuruh buat ninggalin kamu, tapi hati aku bilang gak bisa.”
“Sama-sama belajar ya, Yan. Aku yakin kamu bisa. Toh, aku gak bener-bener ninggalin kamu. Kamu tetep kakakku yang paling aku sayang, Yan. Ya udah, cuma itu yang mau aku bilang. Sukses UN dan semuanya ya, Yan.” kataku mengakhiri obrolan kami dan ingin segera meninggalkannya.
Saat aku ingin meninggalkannya, tiba-tiba dia menarik tanganku dan berkata, “Izinin aku bilang ini sekali lagi, Rei… Aku sayang sama kamu.”
Aku hanya bisa membalas kalimatnya dengan senyuman, lalu segera pergi meninggalkannya. Aku lega karena akhirnya aku bisa mengeluarkan isi hatiku tentangnya. Aku juga lega karena mungkin sedikit demi sedikit dia bisa menerima semuanya.
Sekarang aku sudah kembali bersama Rendy meskipun aku masih menyayangi Rian sebagai kakakku yang paling hebat. Aku mengutip sebuah kalimat dari jejaring sosialku yang bertuliskan, “Rasa sayang ada dalam persahabatan. Rasa sayang ada dalam percintaan. Tapi ada satu yang membedakannya yaitu rasa ingin memiliki.”
Aku menyayangi 2 orang sekaligus dalam waktu yang sama. Dan pada akhirnya aku menyadari bahwa ada perasaan yang berbeda terhadap keduanya. Rasa sayangku terhadap Rian hanya sebatas adik ke kakaknya. Lalu Rendy, dia memang juara dalam segala hal. Nggak berubah dari penilaian awalku tentang dia. Konsisten. Dan itu yang membuatku sangat menyayanginya.
Dan aku baru menyadari sekarang. Inilah fase yang disebut sebagai masa-masanya remaja labil. Perubahan dari remaja SMP labil menjadi remaja SMA yang sudah bisa menentukan mana yang baik dan yang buruk. Dan semua akan menjadi indah pada waktunya.
Cerpen Karangan: Ifmanandha Siti Fauziah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS